Demokrasi Transaksional, Dr Herdi Sahrasad: Diperlukan Reformasi Kultural

Politik36 Views

 

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Demikian ditakatan Dr Sahrasad dalam sebuah diskusi panel yang digelar LP3ES dan Universitas Paramadina Dengan tema “Demokrasi Internal dan Oligarki Partai” melalui zoom meeting, Jumat, (27/9/2024).

Dalam diskusi tersebut hadir para pembicara antara lain Wijayanto (Direktur Pusat Media dan Demokrasi LP3ES), ⁠Herdi Sahrasad (Dosen Universitas Paramadina), ⁠Aisah Putri Budiarti (Associate Researcher LP3ES) dan Septa Dinata (Dosen Universitas Paramadina) sebagai moderator.

Dr Herdi Sahrasad, Dosen Universitas Paramadina mengatakan bahwa sebenarnya pikiran-pikiran yang mengkhawatirkan tidak adanya demokrasi internal di parpol sudah sejak awal reformasi disuarakan. Tapi suara-suara tidak cukup kuat untuk mengubah budaya yang telah terlanjur terbentuk di dalam partai.

“Semakin ke sini, jadi nampak bahwa tidak adal lagi etika dan nilai-nilai yang dihormati dan menjadi landasan dalam pelaksanaan perpolitikan di Indonesia oleh elit-elit partai politik.” Ujar Herdi.

Sehingga, lanjutnya,  oleh sebab tidak adanya etika dan nilai-nilai yang dihormati di dalam partai politik dari hulu sampai hilir, maka meskipun ada struktur dalam partai tapi tidak mengandung muatan etik dan nilai-nilai demokratis.

“Demokrasi internal di dalam parpol saat ini hampir mustahil karena yang bermain adalah oligarki.” Ucapnya.

Herdi dalam diskusi tersebut mengutip Olle Tornquist bahwa parpol memang dipimpin oleh ketua partai tapi ketua parpol itu tunduk kepada oligarki modal atau para bohir yang bisa memaksakan kepentingannya kepada para elit partai dan jajarannya.

Hal itulah tambah Herdi, yang membuat demokrasi kepartaian selama 20 tahun terakhir menjadi tanpa moral etik dan nilai juga tanpa rule of law.

“Jadi di masyarakat kita sedang terjadi krisis multidimensi, dan tiadanya demokrasi internal parpol itu sukar diobati meskipun dibantu dengan teknologi. Teknologinya bisa jadi murah, tapi karena yang bermain adalah para elit partai maka kemungkinan berubah menjadi kecil.” Ujarnya.

Demokrasi kita sekarang lanjut Herdi,  menjadi demokrasi transaksional bahkan demokrasi kriminal karena hanya memainkan uang dan uang saja. Akibatnya, pergerakan ekonomi nasional menjadi tidak terkontrol dan parlemen pun menjadi disfungsional, peran kontrolnya.

“Kemudian terjadilah korupsi yang luar biasa, KKN dan utang yang sangat tinggi hampir 10.000 triliun.” Ujar Herdi.

Dia menambahkan, civil society memang sejak orde baru dulu selalu dalam posisi lemah. Harkat dan martabat rakyat nyaris tidak ada lagi, karena penguasa mengabaikan nilai-nilai dan etika moral. Ideologi juga hanya slogan, praktiknya semua dilanggar para elit partai itu sendiri.

Krisis multidimensi ini seperti penyakit latent yang tersembunyi, tapi dapat dirasakan oleh civil society. Sehingga negara karena sudah tidak punya lagi dana karena korupsi dan terlalu banyak utang maka yang diperas adalah rakyat.

Kelas menengah semakin tergerus dan kelas bawah tidak lagi punya daya beli. Ini bukan demokrasi, tapi demokrasi yang tidak jelas lagi bentuknya. 10 tahun terakhir demokrasi adalah demokrasi abal-abal. Semuanya transaksional dan tidak ada lagi harapan bagi munculnya cahaya perbaikan.

Itulah sebabnya lanjut Herdi, sekarang orang berharap pada pemerintahan baru Prabowo yang akan mengubah situasi demokrasi menjadi kembali kondusif. Hal itu tergantung juga pada dukungan masyarakat termasuk check and balance yang berfungsi optimal.

“Kampus dan para mahasiswa serta masyrakat luas adalah ujung tombak check and balance itu di luar parlemen. Tapi bisa sebagai kelompok penekan yang kuat.” Ucapnya.

Dengan demikian tambah Herdi, demokrasi kini membutuhkan prasyarat-prasyarat yang tidak mampu kita penuhi. Di mana harus ada parpol yang baik, civil society yang kuat, pembangunan ekonomi yang inklusif dan berkeadilan, rule of law tanpa pandang bulu, dan pers/media independen, pemilu yang fair dan jurdil. Itu semua tidak lagi ada.

Sepertinya, kata Herdi, saat ini butuh revolusi kultural untuk memperbaiki semuanya. Reformasi sudah tidak mampu lagi! Reformasi ekonomi sturktural kemarin telah menghasilkan kebijakan ekonomi politik yang tidak berpihak pada rakyat banyak. Akibatnya muncul oligarkisme dan demokrasi bukan lagi substansial tapi demokrasi transaksional dan abal-abal.

Menurut Herdi, berhasil tidaknya revolusi kultural itu berpulang pada civil society dan rakyat banyak karena para ketua partai telah tergangtung sekali kepada para big boss pemodal.

“Selama 20 tahun ini tidak ada iuran partai-partai. Karenanya parpol tidak punya kemandirian ekonomi dan selalu meminta bantuan dari para oligarki kapital.” Imbuh Herdi.[]

Comment