Eskatologi Pendidikan dan Darurat Kepemimpinan Pendidikan Nasional 

Opini45 Views

 

 

Penulis: Dr. H. J. Faisal | Dosen Prodi PAI UNIDA Bogor/ Director of Logos Institute for Education and Sociology Studies (LIESS) / Pemerhati Pendidikan dan Sosial/ Anggota PJMI

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA–  Eskatologi adalah cabang teologi yang mempelajari tentang peristiwa-peristiwa akhir dalam sejarah dunia atau umat manusia. Menurut data dari beberapa literatur yang ada, istilah eskatologi ini berasal dari bahasa Yunani kuno, yaitu “ἔσχατος” (éskhatos) yang berarti “terakhir” dan “-logi” yang berarti “ilmu”.

Dalam berbagai agama, eskatologi sering kali berkaitan dengan konsep akhir zaman, kebangkitan dari kematian, penghakiman terakhir, dan kedatangan era mesianik. Misalnya, dalam agama Kristen, eskatologi mencakup kedatangan kedua Yesus Kristus dan penghakiman terakhir. Dalam Islam, eskatologi mencakup hari kiamat dan kebangkitan setelah kematian. Sementara itu, dalam agama Hindu dan Buddha, eskatologi sering kali terkait dengan siklus kelahiran kembali (reinkarnasi), dan akhir dari satu siklus dunia.

Menggabungkan eskatologi dengan ilmu pendidikan untuk membentuk konsep “Eskatologi Pendidikan” dapat memberikan perspektif baru dalam memahami tujuan dan arah pendidikan.

Eskatologi, yang berfokus pada akhir zaman atau tujuan akhir, bisa memberikan kerangka filosofis untuk mempertimbangkan tujuan jangka panjang dari pendidikan itu sendiri.

Berikut beberapa sinkronisasi bagaimana eskatologi bisa relevan dalam konteks pendidikan:

1. Eskatologi bisa membantu mendefinisikan tujuan akhir dari pendidikan. Misalnya, apakah tujuan pendidikan hanya untuk mempersiapkan siswa untuk pasar kerja, atau ada tujuan yang lebih besar seperti membentuk karakter, etika, pemikiran, adaptasi dengan teknologi, dan pemahaman spiritual.

2. Eskatologi sering kali berkaitan dengan nilai-nilai moral dan etika yang tinggi. Dalam pendidikan, ini bisa diterjemahkan menjadi penekanan pada pendidikan karakter dan pengembangan moral siswa.

3. Dengan mempertimbangkan eskatologi, pendidikan bisa diarahkan untuk tidak hanya fokus pada hasil jangka pendek seperti nilai ujian, tetapi juga pada pengembangan jangka panjang seperti kebijaksanaan, pemahaman mendalam, dan kontribusi positif kepada masyarakat.

4. Eskatologi bisa mendorong pendekatan pendidikan yang lebih holistik, yang tidak hanya mencakup aspek akademis tetapi juga emosional, sosial, dan spiritual.

5. Eskatologi bisa membantu siswa mempersiapkan diri untuk masa depan yang tidak pasti dengan memberikan mereka keterampilan berpikir kritis, adaptabilitas, dan ketahanan.

Eskatologi Pendidikan Nasional

Berdasarkan pemikiran di atas, pernahkah kita berpikir bagaimana nasib pendidikan bangsa ini dalam 10 atau 20 tahun ke depan jika, para pemimpin yang berkecimpung dalam sistem pendidikan nasional tidak mampu melihat easkatologi yang terjadi dalam dunia pendidikan global saat ini dan yang akan datang, baik eskatologi yang terjadi dalam bidang teknologi, maupun dalam bidang sosial.

Ada banyak pertanyaan yang terus ‘mengganggu’ dalam benak kita semua tentunya, dalam melihat eskatologi pendidikan global saat ini, dan apa yang harus kita lakukan agar kita sebagai anak bangsa dapat memahami eskatologi tersebut, sehingga kualitas pendidikan nasional kita tidak semakin tertinggal lebih jauh kedepannya.

Pokok permasalahannya bagi bangsa ini adalah, bagaimana mungkin para pemimpin pendidikan yang tidak paham tentang eskatologi pendidikan tersebut mengatakan bahwa Indonesia harus mampu bersaing dalam industry 5.0, sedangkan kemampuan berpikir para pemimpinnya dan mayoritas rakyat bangsa ini masih berada di angka ‘0.5’?

Apakah kita pernah menyadari bahwa sebenarnya bangsa-bangsa yang berpikiran maju telah berusaha lama untuk meninggalkan sumber daya alam fosil konvensional, dan telah beralih menggunakan rekayasa teknologi dengan memanfaatkan sumber daya alam non fosil, seperti angin, sinar matahari, dan air laut, sebagai sumber energi terbarukan yang berkelanjutan?

Mengapa nikel kita tidak akan laku lagi di pasaran dunia sebentar lagi? Ya karena rekayasa teknologi sumber energi terbarukan saat ini, seperti bahan baku yang diolah menjadi baterai untuk kendaraan listrik, dapat menggunakan sodium ion yang bersumber dari air laut, yang jauh lebih mudah proses produksinya dan ekonomis tanpa perlu melalui rantai proses pertambangan yang mahal dan merusak lingkungan. Belum lagi, sudah banyak dikembangkan prototipe kendaraan-kendaraan masa depan yang berbasis pada sumber energi matahari dan angin.

Atau apakah para pemimpin dalam bidang pendidikan nasional kita dan mayoritas rakyat bangsa ini menyadari, bahwa dalam 10 atau 20 tahun ke depan, kehidupan manusia di dunia dapat diwakilkan oleh robot-robot humanoid (surrogate) berbasis Artificial Intelligence (AI), sehingga kita hanya berdiam saja di rumah, sambil ‘mengendalikan’ robot-robot representasi diri kita sendiri tersebut di luar?

Atau apakah kita pernah berpikir bahwa suatu saat nanti, gadget handphone smartphone yang kita gunakan saat ini akan menjadi sangat kuno di waktu 10 atau 20 tahun yang akan datang, dan fungsinya berganti dengan chip yang diimplan ke dalam jaringan syaraf luar tangan kita, yang langsung terhubung dengan neuroin-neuron di otak kita, sehingga kita dapat melihat tampilan layarnya di telapak tangan dan mengirim chat pesan cukup dilakukan dengan sensor motorik audio dari suara kita saja?

Dalam bidang teknologi pembaharuan sumber energi misalnya, apakah kita pernah memikirkan ide, bagaimana seandainya jika jalan raya yang ada saat ini digabungkan material dasarnya dengan papan-papan ion yang dapat menyerap energi matahari, dan mobil-mobil atau kendaraan listrik yang berjalan di atasnya dapat dengan mudah menyerap ion-ion energi tersebut, sehingga mobil atau kendaraan listrik lainnya tersebut dapat terus berjalan tanpa harus takut untuk kehabisan tenaga listriknya.

Apakah kita pernah memikirkan bahwa pada 10 atau 20 tahun mendatang, yang namanya Perusahaan Listrik Negara (PLN) sebagai penyedia ketersediaan listrik bagi masyarakat Indonesia dapat mengalami kebangkrutan total, jika PLN tidak mengalihkan ketersediaan sumber energi listriknya kepada sumber energi alternatif yang lebih bersih dan lebih berkelanjutan (Sustainable Clean Energy Resources), seperti solar cell, sodium ion, angin, air, nuklir, dan beberapa sumber energi terbarukan lainnya, dikarenakan sumber energi pembangkit listrik tidak lagi diandalkan dari energi fosil dari Batubara?

Bukan tidak mungkin pula, jika dalam waktu 10 atau 20 tahun ke depan tersebut, seluruh rumah di Indonesia sudah menggunakan papan solar cell sendiri untuk memenuhi kebutuhan listriknya, atau atap seluruh rumah di Indonesia akan berganti dari atap genting menjadi atap papan solar cell, sebagai penangkap sinar matahari yang diolah menjadi sumber tenaga kelistrikan mandiri.

Jadi, apakah pemimpin pendidikan nasional kita atau sekalipun kita sebagai pendidik anak-anak bangsa yang akan hidup dan berkembang di masa yang akan datang, yang notabene teknologinya jauh lebih canggih dari kita saat ini, mempunyai pandangan eskatologi yang bisa menghasilkan pemikiran, inovasi dan kreasi produk-produk yang kira-kira akan ramai digunakan oleh masyarakat dunia dalam 10 atau 20 tahun mendatang? Atau kita hanya mengandalkan negara-negara maju saja yang menciptakan dan mengembangkannya, dan kita hanya akan menjadi pengguna saja, seperti biasanya?

Itu baru dalam hal perubahan teknologi yang begitu cepat. Bagaimana dengan perubahan pola tingkah laku dan pola pemikiran manusia dalam bidang sosial? Di mana telah nampak berbagai macam penyimpangan sosial yang sangat cepat juga akibat dari ‘efek samping’ kemajuan teknologi tersebut, tidak terkecuali dalam cakupan sosial pendidikan.

Terbukti ketika teknologi sudah menjadi ‘guru’ yang sangat cerdas bagi mereka yang ingin mengetahui berbagai macam informasi dengan cepat. Terjadilah pergeseran nilai dan norma sosial pendidikan, di mana dalam proses pembelajaran, guru tidak lagi berfungsi sebagai ‘pusat pembelajaran’, melainkan hanya sebagai pembimbing dan pengarah anak didik – yang berarti keteladanan guru lebih ditekankan lagi di sini. Namun celakanya, justru banyak guru yang juga ‘terseret’ dengan efek negatif dari trend perkembangan teknologi saat ini.

Misalnya, banyak guru yang justru membuat konten saat sedang melaksanakan tugas mengajarnya di kelas, padahal siswanya justru sangat mengharapkan keseriusan guru tersebut dalam mengajar mereka.

Atau juga kita bisa lihat juga bagaimana sepertinya perilaku bullying antar siswa yang divideokan oleh para pelakunya sesama siswa, sepertinya sudah dianggap biasa karena dapat menjadi tontonan di media sosial yang dapat menghasilkan ketenaran dan cuan, meskipun itu dilakukan dengan cara-cara yang keji.

Artinya telah dan akan terjadi pergeseran nilai dan norma yang berlaku di masyarakat, di mana pergeseran nilai dan norma tersebut pastinya akan mempengaruhi juga pola interaksi sosial, menjadi pola interaksi yang lebih mementingkan kepentingan individu yang justru menjurus kepada pola kerusakan karakter baik manusia secara permanen.

Darurat Kepemimpinan Pendidikan Nasional

Dari seluruh eskatologi tentang pendidikan nasional dan global di atas, maka pertanyaan besarnya adalah, apakah permasalahan mendasar yang sebenarnya dari sistem pendidikan nasional Indonesia saat ini, sehingga pendidikan nasional kita sangat sulit sekali untuk maju dan berkembang, baik dalam pengembangan kemampuan pola pikir siswa, karakter baik siswa, dan mengembangkan teknologi secara umum?

Padahal sudah 43 Menteri Pendidikan dan 11 kali perubahan kurikulum nasional sudah terjadi di negeri ini, sejak 79 tahun yang lalu. Apakah kita mampu mencapai semua eskatologi yang kemungkinan besar akan terjadi, seperti yang sudah saya contohkan di atas melalui sistem pendidikan nasional kita saat ini?

Jawaban yang sama pasti akan diberikan oleh mayoritas para ahli pendidikan nasional, yaitu permasalahan dalam peningkatan kualitas dan kesejahteraan guru, akses pendidikan yang tidak merata dan terbatas, kurikulum yang kurang relevan, rendahnya tingkat literasi dan numerasi (berdasarkan hasil PISA/ Programme for International Student Assessment performa siswa Indonesia dalam bidang matematika, sains, dan membaca masih berada di peringkat buncit), belum adanya blueprint pendidikan nasional yang jelas, sampai kepada permasalahan ekonomi dan sosial, di mana tingkat ekonomi dan pengetahuan masyarakat yang rendah juga berkontribusi pada rendahnya partisipasi dan kualitas pendidikan.

Misalanya, banyak anak yang harus bekerja untuk membantu ekonomi keluarga sehingga tidak bisa fokus kepada pendidikan.

Menurut para ahli pendidikan tersebut, solusi untuk mengatasi masalah ini, diperlukan pendekatan holistik dan berkelanjutan, termasuk peningkatan kesejahteraan guru, perbaikan kurikulum, dan peningkatan akses pendidikan di seluruh wilayah Indonesia.

Bahkan integrasi nilai-nilai keislaman dalam pendidikan nasional juga bisa menjadi salah satu cara untuk membentuk karakter dan moral siswa yang lebih baik, sesuai dengan prinsip-prinsip yang kita yakini bersama.

Berbagai pendapat dan praktik solutif pun akhirnya bermunculan bahkan dijadikan sebagai landasan kebijakan dari Kementrian Pendidikan negeri ini, yang disesuaikan dengan ‘keinginan’, ‘pemikiran/ ide’ dan ‘kemampuan’ para menteri-menteri pendidikan tersebut selama ini, misalnya antara lain:

1. Penggunaan teknologi dalam pendidikan, dengan memanfaatkan teknologi untuk meningkatkan akses dan kualitas pendidikan, seperti e-learning dan aplikasi pendidikan yang interaktif. Hal ini dianggap dapat membantu menjangkau daerah terpencil dan memberikan materi yang lebih menarik bagi siswa.

2. Melakukan kolaborasi dengan dunia industri, misalnya dengan membangun kemitraan antara sekolah dan industri untuk memastikan kurikulum relevan dengan kebutuhan pasar kerja (konsep Link and Match). Program magang dan pelatihan langsung di dunia industri diharapkan dapat memberikan pengalaman praktis bagi siswa.

3. Menerapkan model pendidikan karakter dan moral, yaitu dengan mengintegrasikan pendidikan karakter dan moral yang kuat, termasuk nilai-nilai Islam, dalam kurikulum, yang diharapkan dapat membantu membentuk generasi yang tidak hanya cerdas secara akademis, tetapi juga memiliki integritas dan etika, serta moral yang baik.

4. Membuat program pelatihan guru yang berkelanjutan, misalnya dengan menyediakan program pelatihan dan pengembangan profesional yang berkelanjutan bagi guru untuk memastikan mereka selalu up-to-date dengan metode pengajaran terbaru agar lebih termotivasi.

5. Melakukan pendekatan dengan berbagai komunitas yang ada di masyarakat, misalnya dengan komunitas pecinta teknologi, komunitas pecinta lingkungan, komunitas sosial, dan komunitas lainnya dalam proses pendidikan, seperti membuat berbagai macam program mentoring oleh tokoh masyarakat atau alumni yang sukses. Ini diharapkan dapat memberikan inspirasi dan dukungan tambahan bagi siswa.

Kepemimpinan Pendidikan yang Cerdas dan Stabilisasi Kebijakan Politis Pendidikan

Namun berdasarkan fakta nyata yang terjadi di lapangan selama ini, saya melihat berbagai macam solusi tersebut belumlah membawa perubahan yang signifikan terhadap peningkatan kualitas pendidikan nasional, khususnya dalam kurun waktu 25 sampai 30 tahun terakhir ini.

Mengapa demikian? Karena pangkal dari semua permasalahan pendidikan di Indonesia selama ini tidak dapat dipecahkan, yaitu belum adanya kepemimpinan pendidikan yang mumpuni dalam hal manajerial, ide, dan kemampuan melihat eskatologi pendidikan nasional dan global secara keseluruhan. Dengan kata lain, tidak adanya kepemimpinan yang cerdas dalam membuat kebijakan tentang arah pendidikan nasional selama ini.

Artinya dibutuhkan nahkoda yang benar-benar paham tentang ‘isi dan permukaan lautan’ pendidikan nasional. Dan yang kedua, adalah faktor politik dari pemerintah itu sendiri.

Ya, faktor politik juga memainkan peran besar dalam hal ini. Kebijakan pendidikan bangsa ini sering kali dipengaruhi oleh dinamika politik yang bisa menghambat atau mempercepat perkembangan sistem pendidikan. Oleh karena itu, diperlukan komitmen politik yang kuat untuk mendukung reformasi pendidikan yang berkelanjutan dan tidak hanya bersifat jangka pendek.

Artinya, dengan pendekatan yang lebih terfokus dan kolaboratif, kita bisa berharap untuk melihat perubahan yang lebih signifikan dalam sistem pendidikan Indonesia.

Kembali lagi, sayangnya pula, banyak kepemimpinan pendidikan yang sudah silih berganti di negeri ini yang masih terjebak dengan hal-hal teknis yang sesungguhnya hanyalah membereskan dahan dan ranting tetapi tidak memperbaiki akarnya. Misalnya masalah kesejahteraan guru, dan masalah sarana dan prasarana Pendidikan, di mana menurut saya hal itu hanyalah masalah teknis keuangan dan kemauan politisasi dari pemerintah saja.

Dengan kata lain, banyak masalah teknis dalam pendidikan yang sebenarnya bisa diatasi dengan kebijakan yang tepat dan alokasi anggaran yang memadai. Namun, tanpa kepemimpinan yang kuat dan visi yang jelas, juga dorongan politis etis tentang pendidikan dari pemerintah, maka solusi teknis ini sering kali tidak berjalan efektif.

Agar lebih jelasnya, berikut beberapa poin analisa terhadap pandangan saya di atas, yaitu antara lain:

1. Masalah kesejahteraan guru sering kali terkait dengan kebijakan keuangan dan politisasi. Meskipun ada upaya untuk meningkatkan kesejahteraan melalui tunjangan sertifikasi, masih ada kesenjangan antara guru ASN dan non-ASN. Ini menunjukkan perlunya kebijakan yang lebih adil dan merata.

2. Dalam hal sarana dan prasarana, di mana masih banyak sekali sekolah di Indonesia yang masih kekurangan fasilitas yang memadai, seperti bangunan yang rusak, kurangnya media pembelajaran, dan laboratorium yang tidak memadai.

Pemerintah pusat dan daerah sebenarnya bisa mengalokasikan anggaran untuk memperbaiki ini namun sering kali terhambat oleh birokrasi dan prioritas yang tidak tepat. Sudah dapat dipastikan, anggaran untuk pendidikan akan dinomer-buncitkan karena dianggap tidak memberikan keuntungan langsung kepada pemerintah.

Beberapa saran saya untuk solusi yang kiranya dapat dilakukan oleh pemerintah, antara lain:

1. Melakukan pemilihan kepemimpinan pendidikan nasional maupun daerah yang kompeten dengan memastikan bahwa posisi strategis dalam kementerian pendidikan diisi oleh individu yang benar-benar memiliki latar belakang dan pemahaman mendalam tentang pendidikan.

2. Melakukan stabilitas kebijakan jangka panjang, dengan membuat blueprint pendidikan nasional, dan dengan mengurangi perubahan kebijakan yang terlalu sering terjadi akibat pergantian pemerintahan atau pejabat, terutama dalam kebijakan tentang kurikulum nasional dan program kesejahteraan guru, sehingga program-program pendidikan keseluruhan bisa berjalan dengan lebih konsisten dan efektif.

3. Harus melakukan sistem yang transparan dan akuntabel, dengan meningkatkan transparansi dalam pengambilan keputusan dan pelaksanaan kebijakan pendidikan, serta memastikan akuntabilitas dan kapabilitas dari para pemangku kepentingan.

4. Menambah porsi partisipasi publik, dengan melibatkan berbagai pihak, termasuk masyarakat, guru, akademisi, dan praktisi kependidikan lainnya, dalam proses perumusan kebijakan untuk memastikan kebijakan yang dihasilkan benar-benar sesuai dengan kebutuhan dan kondisi di lapangan. Dan bukan kebijakan yang berdasarkan proyek atau berdasarkan kepentingan dan kemauan pimpinan semata.

Fokus pada kepemimpinan yang kompeten dan stabilitas kebijakan dari pemerintah (politik) adalah kunci untuk memperbaiki sistem pendidikan kita. Tanpa pemimpin yang benar-benar memahami dan peduli terhadap pendidikan, serta komitmen politik yang kuat, upaya perbaikan sering kali hanya menjadi wacana.

Selain itu, mengawasi dan menuntut transparansi serta akuntabilitas dari pemerintah juga penting agar kebijakan yang dibuat benar-benar berdampak positif.

Jadi, untuk memperbaiki akar permasalahan, kita membutuhkan pemimpin yang memahami dan peduli terhadap pendidikan, serta komitmen politik yang kuat untuk mendukung kebijakan yang berkelanjutan. Dengan demikian, solusi teknis yang ada bisa diimplementasikan dengan lebih efektif dan berdampak nyata.

Kepemimpinan yang cerdas dan berwawasan luas dalam bidang pendidikan memang menjadi sangat krusial untuk mengarahkan kebijakan yang efektif dan berkelanjutan. Seorang pemimpin yang memahami seluk-beluk pendidikan dan eskatologinya, dapat membuat keputusan yang tepat dan strategis untuk mengatasi berbagai tantangan yang ada.

Karena itulah perlunya kepemimpinan pendidikan nasional yang dapat menyatukan semua hal tersebut, dan dapat menciptakan sebuah sistem yang komprehensif, mulai dari sistem untuk meningkatkan sumber daya pendidik, menciptakan kurikulum yang dapat mengembangkan pola pikir anak didik menjadi lebih berkembang, dan dapat menghasilkan anak didik yang cerdas dan bertaqwa kepada Allah Ta’alla, sesuai dengan amanat UUD 1945, dan UU Pendidikan No. 20/2003, serta juga dapat memahami apa yang harus dilakukan oleh para pendidik, akademisi, dan seluruh stakeholder pendidikan nasional, agar bangsa ini dapat meraih masa keemasannya, sehingga tidak harus menunggu di 100 tahun usia kemerdekaan negara di tahun 2045 nanti, tetapi jika bisa lebih cepat dari itu, kenapa tidak?[]

Dosen Prodi PAI UNIDA Bogor/ Director of Logos Institute for Education and Sociology Studies (LIESS) / Pemerhati Pendidikan dan Sosial/ Anggota PJMI

Comment