Ketika Kenyataan Keluarga Tak Seindah Harapan

Opini112 Views

 

Penulis: Lila Gusti, S.Pd | Aktivis Dakwah Muslimah

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – Harta yang paling berharga adalah keluarga. Itulah penggalan lagu dari sinetron yang pernah menghiasi layar kaca kita. Sebuah cerita yang menggambarkan suasana keluarga penuh kehangatan, saling mendukung dan peduli satu sama lain. Sebuah gambaran keluarga ideal yang memang seharusnya kita miliki.

Namun sayangnya, gambaran keluarga yang harusnya menjadi harta yang paling indah ini sepertinya bagi sebagian orang masih sulit bahkan tidak didapatkan. Seperti yang baru-baru ini terjadi pada sebuah keluarga di daerah Kalimantan.

Warga dikejutkan dengan meninggalnya seorang ibu rumah tangga berinisial Hj. RK. Wanita yang bertempat tinggal di Jalan Sepakat RT 46 Kelurahan Baru Tengah, Kecamatan  Balikpapan Barat pada Jumat (23/8/2024) itu sekitar pukul 21.13 Wita menghembuskan nafas terakhirnya di tangan sang anak kandung durjana berinisial AR.

Pelaku diduga mengalami gangguan jiwa, menebas leher ibunya menggunakan parang. Setelah melakukan perbuatan keji, tersangka AR  melarikan diri. Sontak warga sekitar geger. Dari kabar berantai lewat WAG, warga merasakan keresahan. Karena pelaku melarikan diri masih menenteng sebilah parang.

Lalu ada juga kasus pembunuhan bocah berinisial A (6) yang dibunuh ibu tirinya, I (24) hingga mayatnya ditemukan dalam karung di Pontianak, Kalimantan Barat (Kalbar). Korban ternyata mengalami retak pada tulang tengkorak kepalanya.

“Adanya trauma benda tumpul pada bagian kepala menyebabkan retaknya tulang tengkorak sebelah kiri,” ujar Kabid Humas Polda Kalbar Kombes Raden Petit Wijaya kepada detikcom, Rabu (28/8/2024).

Petit mengatakan dari pemeriksaan Tim Dokter Forensik, trauma tersebut menyebabkan terjadinya pendarahan dan pembengkakan pada otak.

Akibatnya, terjadi peningkatan darah dalam rongga otak dan masih banyak kasus mengerikan lainnya yang melibatkan anggota keluarga.

Ini menunjukkan bahwa tatanan kehidupan sebagian keluarga di Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Kehangatan yang seharusnya muncul dari terbentuknya sebuah keluarga, justru “jauh panggang dari api”.

Tentu ini sangat ironi. Keluarga yang semestinya menjadi benteng pertama dan utama dalam mencegah tindakan kejahatan malah kehilangan fungsinya bahkan (seakan) menjadi pemicu petaka.

Tak Lagi Berperan Aktif

Jika melihat realitas itu tentunya kita bertanya-tanya, mengapa fenomena seperti itu terus bermunculan? Bahkan kuantitas dan kualitas kengeriannya semakin menjadi-jadi?

Setidaknya penulis menyimpulkan, hal itu terjadi karena keluarga tak lagi berperan aktif sebagai pencegah kejahatan yang berpotensi bisa dilakukan oleh salah satu anggota keluarga.

Itu terjadi karena seorang Kepala Keluarga sudah kehilangan kendali untuk mengarahkan kendaraan yang ditumpangi istri dan anak-anaknya.
Kondisi itu terjadi bisa jadi karena seorang Kepala Keluarga itu tak memiliki pemahaman dan kemampuan untuk menjadi “pengemudi” yang baik.

Dia berani mengendarakan keluarga hanya modal nekat atau hanya melihat cara orang orang sekitarnya “berkendara”. Dia tak memiliki maklumat yang cukup, untuk membandingkan apakah cara berkendara orang-orang yang ia contoh itu sesuai dengan petunjuk “berkendara” yang baik atau tidak.

Ketidaktahuannya itu bisa jadi karena mereka kemungkinan tidak mendapatkan akses ilmu itu atau juga karena kemalasannya untuk mencari tahu ilmu tersebut. Padahal, Islam telah terang benderang mengajarkan perkara tersebut.

Kemiskinan juga menjadi faktor utama pemicu tidak berfungsinya keluarga sebagaimana mestinya. Bagaimana tidak, kemiskinan menyebabkan Ayah dan Ibu tersibukkan mencari nafkah sehingga melupakan perannya dalam mendukung pertumbuhkembangan anak, Mereka lupa bahwa seorang anak butuh untuk dipeluk dan didengarkan juga dikawal pemahamanya tentang berbagai hal.

Jika orang tua sudah sangat sibuk mencari uang, tentu sudah merasa sangat terlalu lelah jika harus menyiapkan waktu lagi untuk bermain dengan anak. Karena kondisi itu, maka orang tua mengambil jalan pintas memberikan anaknya gadget sebagai teman bermainnya.

Langkah ini, terlebih tanpa ada pengawasan dari orang tua akan membawa dampak buruk pada anak anak. Mereka akhirnya menjadi anak yang lalai pada tugas dan tanggung jawabnya sebagai seorang anak.

Pada saat itu anakpun menjadi pribadi yang sulit diarahkan, sementara keberadaan orang tua pun cenderung mereka abaikan. Inilah saat orang tua akhirnya kehilangan kendali atas keluarga.

Campur Tangan Negara

Kondisi buruk itu tentunya sangat mengkhawatirkan, tidak hanya bagi keluarga tetapi juga bagi tatanan masyarakat bahkan sebuah peradaban. Maka perlu upaya serius untuk menyikapi hal tersebut.

Mengembalikan fungsi keluarga menjadi sesuatu yang sangat urgen. Dalam hal ini, upaya tersebut tak hanya bisa dilakukan oleh seorang Kepala Keluarga bersama seorang ibu. Bahkan sekumpulan masyarakat pun tak akan mampu melakukannya sendiri. Perlu peran negara untuk mengatasinya.

Negara harus campur tangan, setidaknya dengan memastikan kekayaan terdistribusi kepada setiap masyarakat sehingga para orang tua tidak terlalu sibuk hanya menghabiskan waktu untuk memenuhi nafkah keluarga.

Tidak boleh lagi ada orang tua yang terlalu sibuk mencari nafkah hingga melupakan tanggung – jawabnya sebagai pendidik generasi yang utama.

Negara juga harus terlibat untuk memastikan setiap dua insan yang akan memasuki gerbang pernikahan memahami tugas dan tanggung jawabnya sebagai suami maupun istri.

Mereka juga harus mendapatkan pemahaman yang benar tentang fungsi dan perannya sebagai orang tua. Kita bisa mencontoh bagaimana Rasulullah Muhammad Saw ketika menjadi Kepala Keluarga. Bagaimana sikap beliau terhadap anak anaknya.

Sementara para pemimpin semestinya juga meniru Rasulullah ketika bertindak sebagai Kepala Negara. Kemudian bagaimana para sahabat juga meneruskan Sunnah Rasulullah dalam memimpin.

Bagaimana para sahabat senantiasa berpatroli untuk melihat kondisi masyarakat dari dekat.

Bagaimana juga sahabat Umar bin Khattab ketika menerima pengaduan dari seorang anak yang tidak dididik dengan agama oleh orang tuanya, maka Umar berkata pada ayah anak itu bahwa sebelum anaknya durhaka maka ayahnya sudah lebih dulu durhaka kepada anak tersebut karena tidak menjalankan kewajibannya sebagai ayah dengan baik. Wallahu a’lam.[]

Comment