Penulis: Nurul Soraya Saragih | Ibu Rumah Tangga
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Setelah pemilihan umum terlaksana, para calon terpilih menjalani pelantikan. Pada tanggal 4 September lalu, calon anggota DPRD terpilih resmi dilantik.
Terkait hal ini, ada fenomena yang cukup menggelitik. Dilansir dari Republika (4/9/24), puluhan anggota DPRD Subang periode 2024-2029 menggadaikan SK ke bank sebagai jaminan untuk meminjam uang.
Tak tanggung-tanggung, pinjaman diketahui mulai dari Rp 500 juta hingga Rp 1 Miliar. Cicilan dibayarkan selama rentang 5 tahun sesuai dengan masa jabatan dengan potongan 50% dari gaji sebagai anggota DPRD per bulannya.
Pengamat politik Universitas Brawijaya (UB) Prof Anang Sujoko (detik.com, 7/9^24) menyatakan bahwa fenomena tersebut terjadi karena mahalnya pengeluaran sebagai bakal calon anggota legislatif. Perkiraan dana yang dikeluarkan bukan hanya ratusan juta.
Dia memperkirakan modal yang dikeluarkan bahkan hingga melebihi Rp 1 miliar. Dana yang tidak sedikit ini bisa saja diperoleh dengan meminjam, sehingga butuh untuk mengembalikannya.
Biaya pencalonan wakil rakyat dalam sistem demokrasi memang dirasakan sangat mahal. Terlihat dari para calon yang rela menggelontorkan dana yang tak sedikit demi terpilih untuk duduk di kursi wakil rakyat.
Menjadi sebuah pertanyaan, benarkah para calon begitu besar harapannya untuk menjadi penyalur aspirasi rakyat ataukah ambisi kekuasaan semata? Dalam sistem demokrasi, tentu tidak ada makan siang gratis. Jadi untuk apa dan untuk siapa “perjuangan” mereka?
Keberadaan wakil rakyat yang terpilih, harusnya siap melayani, menerima aspirasi dan mengupayakan kepentingan rakyat. Namun, berdasarkan fakta-fakta, masih terjadi kenaikan harga kebutuhan pokok, kriminalitas yang meningkat, kemaksiatan, korupsi dan banyak perkara lain yang seolah berdesakan menghiasi kolom media online maupun offline. Pertanyaannya, di mana para wakil rakyat?
Tampaknya, mengharap pelayanan dan penyelesaian yang benar dalam sistem demokrasi terasa mustahil. Alih-alih bekerja untuk kepentingan rakyat, yang ada hanyalah penyalahgunaan jabatan, budaya korupsi yang semakin merebak serta gaya hidup hedon dengan segala privilige yang didapat.
Hal ini berbeda dalam Islam. Islam menegaskan bahwa jabatan adalah amanah yang harus dijalankan sesuai dengan syariat. Setiap calon memiliki kesadaran dan berlandaskan pada aqidah Islam, sehingga menjadikan halal dan haram sebagai standar dalam berbuat.
Jabatan dalam Islam tidak diperoleh dengan pencitraan yang mengeluarkan biaya yang mahal, namun diperoleh dengan kepercayaan yang tampak dari kepribadian dan kemampuan yang dicalonkan.
Dalam Islam, terdapat Majelis Umat yang berfungsi sebagai perpanjangan atas aspirasi rakyat yang nantinya akan diproses untuk ditangani oleh khalifah. Tdak ada aspirasi rakyat yang terabaikan. Masalah yang terdapat di masyarakat tidak sampai berbelit dan terbengkalai.
Islam mengatur seluruh aspek kehidupan manusia dengan segala problematikanya secara praktis dan sesuai fitrah manusia. Sehingga, hanya Islamlah yang dapat mencetak pejabat yang amanah dan bekerja untuk kepentingan rakyat.[]
Comment