Marak Kasus Pembunuhan, Tidak  Berhargakah Nyawa Manusia?

Opini116 Views

 

Penulis: Rizki Utami Handayani, S.ST | Pengajar Ma’had Cinta Quran Center

 

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Berita pembunuhan oleh keluarga dekat kembali menghebohkan jagat maya. Setiap hari rasanya pekak telinga mendengar kabar-kabar mengenaskan seperti ini.

Kini kabar itu datang dari Kelurahan Baru Tengah, Kecamatan Balikpapan Barat, seorang ibu dibunuh oleh anak kandungnya yang diduga mengalami gangguan jiwa dengan menggunakan parang. Setelah melakukan kejahatannya, pelaku melarikan diri.

Kabar berikutnya datang dari Pontianak-Kalimantan Barat. Seorang anak berusia 6 tahun ditemukan tewas di dalam karung dengan terduga pelaku adalah ibu tiri anak tersebut.  Sebelum dimasukan ke dalam karung, korban sempat dikurung dan tidak diberi makan oleh pelaku.

Berita lainnya datang dari Desa Kasugengan Kidul  Kecamatan Depok – Kabupaten Cirebon. Seorang anak tega menghabisi nyawa seorang ayah setelah sebelumnya menganiaya adik kandungnya. Tiga kasus ini hanya sebagian kecil dari kasus-kasus yang terlaporkan.

Keluarga menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), merupakan orang yang memiliki hubungan darah, hubungan kekerabatan yang mendasar pada masyarakat – terdiri dari ayah sebagai kepala keluarga, ibu dan juga anak. Rumah yang di dalamnya terdapat anggota keluarga seharusnya menjadi tempat pulang dari segala penat, tempat untuk mendapat energi agar bisa kembali berkiprah di masyarakat. Keluarga yang sehat dan penuh kehangatan tentunya akan menghasilkan orang-orang yang memiliki energi penuh untuk kembali menebar manfaat kepada sekitarnya.

Namun bagaimana jadinya jika keluarga tidak lagi menjadi support system yang baik dan justru menjadi malapetaka berujung hilangnya nyawa. Tentu ada alasan, kenapa bisa terjadi kasus-kasus pembunuhan yang justru pelakunya adalah orang terdekat. Belum lagi kasus pembunuhan lain yang kian menambah panjang catatan kriminal di negeri ini.

Dikutip dari situs www.pusiknas.polri.go.id, ada 3000 jiwa tewas karena kasus pembunuhan selama 4 tahun. Mereka menjadi korban pembunuhan dengan beragam motif, karena perampokan, hubungan asmara, dan masih banyak lagi.

Data itu didapat dari e-MP Robinopsnal Bareskrim Polri yang diakses pada Jumat 13 Januari 2023. Data menunjukkan jumlah korban pembunuhan sejak 2019 hingga 2022 mencapai 3.335 orang. Sebagian besar korban berjenis kelamin laki-laki.

Adapun jumlah kasus yang ditangani kepolisian dalam empat tahun terakhir yaitu 3.347 perkara. Tindak pembunuhan terbanyak terjadi pada 2021 yaitu 1.076 perkara. Saat itu, pemerintah tengah memberlakukan status pandemi Covid-19.

Namun, pada 2022, jumlah tindak pidana terhadap kasus pembunuhan cenderung menurun menjadi 843 kasus. Data periode 1 Januari- 10 Me 2024 dari 5 Polda dengan jumlah penindakan terbanyak di tahun 2024, yaitu Polda Jatim 42 kasus, Polda Papua 32 kasus, Polda Sumut 31 kasus, Jabar 26 kasus, Sumsel 25 kasus, maka total ada 156 kasus.

Di Indonesia, Polri menjerat pelaku pembunuhan dengan beberapa pasal di KUHP. Sebagai informasi, Polri masih menggunakan KUHP yang diterbitkan pada 1918. DPR RI mengesahkan RUU KUHP pada 6 Desember 2022 namun pemberlakuannya baru dapat dilakukan tiga tahun setelah pengesahan.

Dalam Pasal 338, pelaku yang merampas nyawa lain diancam pidana penjara paling lama 15 tahun. Sementara pembunuhan berencana, sesuai Pasal 340 KUHP, pelaku dipidana dengan penjara seumur hidup.

Berbagai analisa muncul terkait faktor-faktor yang menyebabkan seseorang melakukan tindak pidana pembunuhan, mulai masalah psikologis berupa emosi yang tidak terkontrol, masalah dendam, atau dilatar belakangi masalah ekonomi seperti misalnya hutang piutang, atau konflik keluarga yang berujung cekcok dan mengakibatkan hilangnya nyawa.

Faktor lain ada juga yang terkait dengan masalah pencurian atau pembegalan dan mengakibatkan kematian. Ada pula faktor asmara, seperti perselingkuhan atau kecemburuan.

Seperti dilansir oleh media www.nasional.okezone.com, hasil wawancara dengan kriminolog Universitas Indonesia Achmad Hisyam, hal yang membuat kasus pembunuhan semakin meningkat karena masyarakat saat ini semakin sakit.

Faktor utama kasus ini adalah masalah ekonomi dan finansial. Ketika ekonomi macet dan tidak sehat akan berdampak pada yang lain. Kebutuhan finansial tidak bisa berhenti akan tetapi lapangan kerja tidak memadai sehingga mendorong terjadinya ada tindakan kriminal seperti pembegalan, pencopetan, atau perampokan.

Tidak bisa dipungkiri bahwa hari ini kita hidup di era sekulerisme dan sangat kapitalistik yang memisah agama dari lini kehidupan. Segala sesuatu di landaskan pada materi dan keuntungan. Kondisi masyarakat yang jauh dari penerapan hukum syariat menjadikan hubungan keluarga kalah dengan materi. Emosi memuncak tak terkendali  kerap membuat lupa hubungan antar keluarga.

Negara seharusnya membangun  mekanisme pencegahan yang optimal dan bertanggung jawab secara menyeluruh terkait hal ini. Pemerintah harus berperan dalam upaya meredusir faktor faktor dan  hal-hal yang merusak hubungan antar anggota keluarga.

Perlu mengambil langkah evaluasi mendasar terhadap sistem pendidikan,  ekononi dan hukum.

Sepanjang sejarah kaum muslimin dari era Rasulullah saw hingga era Turki Utsmani, aturan Islam diimplentasikan  dalam seluruh aspek kehidupan, termasuk bagaimana mekanisme negara mengatasi kasus pembunuhan. Namun hukum dari luar Islam masuk di era Tanzimat. Mulailah satu demi satu hukum Islam tidak lagi diberlakukan, diantaranya adalah hukuman mati bagi orang yang murtad, juga hukuman qishas bagi pelaku pembunuhan, digantikan oleh hukum pidana dari luar Islam (Prancis).

Islam adalah agama yang sempurna, mengatur seluruh aspek kehidupan dan memiliki solusi terhadap setiap permasalahan. Islam memiliki maqoshid syariah yang salah satunya adalah menjaga jiwa. Nyawa dalam Islam merupakan sesuatu yang teramat berharga. Membunuh seorang manusia tanpa hak termasuk ke dalam dosa besar.

Dalam Quran Surah An-Nisa:93 Allah berfirman: “Siapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya ialah Jahanam, ia kekal di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutuknya serta menyediakan azab yang besar baginya.” (Q.S An-Nisa :93, )

“Siapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya.” (QS Al-Maidah: 32).

Rasulullah SAW bersabda, “Hilangnya dunia, lebih ringan bagi Allah dibanding terbunuhnya seorang mukmin tanpa hak.” (HR. Nasai 3987, Turmudzi 1455, dan dishahihkan al-Albani).

Namun manusia tidak semua bisa menerima ketentuan yang sudah ditetapkan. Allah memerintahkan dalam surat Al-Baqarah ayat 178, hukuman qishas (hukuman mati ) bagi pelaku yang melakukan tindakan kriminal dan atau pembunuhan, membayar diyat  senilai 1000 dinar (4250 gram emas), atau 100 ekor unta, atau 200 ekor sapi, jika pihak keluarga memberikan maaf.

Seharusnya negara bertindak sebagai penggembala rakyat dengan membangun mekanisme agar fungsi dan peran keluarga berjalan dengan maksimal. Islam juga memilki sistem pendidikan berkualitas dan berasas aqidah sehingga hubungan keluarga tetap terjaga dan harmonis.

Negara menerapkan Islam secara menyeluruh sehingga terwujud sistem kehidupan keluarga yang baik dan harmoni tetap terjaga. Negara mewujudkan maqashid syariah sehingga kebaikan terwujud dalam lingkup keluarga, masyarakat serta negara.

Hukum manakah yang lebih layak diterapkan? Hukum yang telah ditentukan oleh Sang Pembuat Hukum yaitu Allah, atau hukum buatan manusia yang serba tak sempurna? Wallahu’alam bishowab.[]

Comment