Darurat Demokrasi atau Demokrasi Darurat?

Opini123 Views

 

 

Penulis: Nurfaidah | Mahasiswi dan Aktivis Muslimah

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA–Beberapa waktu lalu, masyarakat dihebohkan mengenai imbauan darurat demokrasi berlatar biru yang beredar di berbagai platform sosial media.

Kondisi ini dipicu oleh DPR yang akan melakukan revisi putusan MK tertanggal 20 Agustus 2024 terkait ambang batas dan usia pencalonan kepala daerah. Keesokan harinya Badan Legislasi (Baleg) DPR justru menggelar rapat revisi UU Pilkada yang hasilnya bertentangan dengan keputusan MK. Merespon hal ini  masyarakat sipil, aktivis, dan akademisi turun ke jalan untuk menyuarakan keadilan demi menjaga masa depan demokrasi Indonesia.

Berkaitan dengan hal tersebut, pada 21 Agustus 2024 Presiden Jokowi Dodo (Jokowi) menyatakan bahwa pemerintah menghormati kewenangan dan Keputusan masing-masing Lembaga negara melalui unggahan video di Instagramnya.

Namun, melihat pernyataan ini masyarakkat justru beranggapan bahwa Presiden seolah berpihak pada Keputusan DPR yang bertentangan dengan Keputusan MK. Keputusan ini dinilai sangat pragmatis oleh masyarakat, terutama terkait kemungkinan pencalonan putra bungsu Presiden Jokowi, Kaesang Pangarep, dalam pilkada 2024.

Demokrasi yang pada dasarnya lahir dari gagasan bahwa manusia berhak mengatur dirinya sendiri. Manusia berhak membuat aturan sesuai kemauannya dan Allah sebagai pencipta hanya berhak mengatur kehidupan individual atau spiritual saja.

Seolah-olah, agama tidak boleh mengatur seluruh kehidupan manusia. Ketika manusia yang penuh syahwat kekuasaan dan memiliki kepentingan yang berbeda-beda diberikan keluasan untuk membuat aturan tentu saja akan melahirkan aturan yang menguntungkan kalangan mereka saja.

Selain itu, demokrasi juga tidak mempunyai standar dan kepastian hukum yang jelas benar salah dan halal haramnya sehingga aturan yang lahir dari sistem ini sering kali merugikan rakyat dengan praktik kolusi contohnya.

Mengapa demikian? Karenakan aturan ini dibuat manusia, maka mudah saja diubah, terutama oleh pemilik kepentingan. Alhasil, terjadi keputusan yang saling bertentangan seperti yang terjadi antara Keputusan MK, MA dan DPR.

Berbeda halnya dalam Islam, aturannya memiliki standar yang jelas dalam perkara benar – salah dan halal-haram karena aturan tersebut bukan berasal dari manusia melainkan langsung dari Allah sebagai al-Khaliq yang menciptakan manusia dan tidak mempunyai kepentingan.

Sehingga aturan yang lahir tidak hanya baik atau menguntungkan salah satu pihak saja melainkan baik untuk semua ciptaan-Nya.

Islam juga mempunyai objektifitas hukum dengan standar yang jelas dalam al-Qur’an dan sunnah sehingga aturannya tidak berubah-ubah.

Jika terdapat aturan atau keputusan yang saling bertentangan dalam islam, seorang khalifah (pemimpin) akan segera menetapkan keputusan yang berlaku bukan dengan mendukung semua keputusan dengan dalih menghormati. Sehingga tidak akan didapati aturan yang bertentangan satu sama lain di tengah-tengah masyarakat yang semakin membingungkan.

Oleh karena itu, solusinya bukan dengan memperbaiki demokrasi karena demokrasi itu sendiri tidak akan memberi kebaikan dan keadilan kepada seluruh masyarakat.

Solusi terbaik adalah dengan kembali menjadikan Islam sebagai sistem kehidupan seperti satu abad yang lalu. Dengan menerapkan nilai – nilai Islam secara kaffah dan menjadikannya sebagai peraturan dalam seluruh lini kehidupan bukan terbatas dalam kehidupan individu saja.

Satu abad yang lalu islam mampu berjaya selama 13 abad dan berhasil menguasai 2/3 dunia. Islam membuat manusia hidup dalam kedamaian dan kesejahteraan karena aturan yang diterapkan berasal dari Pencipta  sehingga dapat bertahan dan tak lekang dimakan waktu Wallahu ’alam.[]

Comment