Demokrasi Liberal Antara Kepentingan Oligarki dan Nasib Rakyat

Opini207 Views

 

Penulis: Atika Nasution S.E | Pendidik

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Dominasi elite partai politik menentukan calon kepala daerah membuat ruang partisipasi publik semakin menyempit. Konsensus petinggi parpol di tingkat pusat dikhawatirkan turut abai terhadap suara kader di level daerah.

Jelang pendaftaran calon Pilkada 2024 pada 27 hingga 29 Agustus 2024 mendatang, ketua parpol terus melakukan pertemuan untuk menjajakan jagoan masing-masing.

Manuver petinggi parpol untuk membangun koalisi yang kuat dan gemuk bisa terlihat di daerah-daerah strategis. Namun, andil ketua umum parpol dan para pejabat teras masih cukup kental menentukan calon kepala daerah yang bakal diusung.

Dalam Pilkada Jakarta 2024 misalnya, gerbong parpol di Koalisi Indonesia Maju (KIM) sering kali menuturkan bahwa penentuan calon kepala daerah bakal ditentukan para ketua umum. KIM merupakan gerbong parpol yang mengusung presiden dan wakil presiden terpilih Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.

Ada wacana bahwa mereka menggaet parpol lain di luar pendukung Prabowo-Gibran dengan membentuk KIM Plus di daerah pilkada strategis.Tirto.id. (10 Agustus 2024).

Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia (PPI) menyatakan prinsip utama politik adalah mendapat keuntungan pribadi dan kelompok. Tujuannya, mendapat kekuasaan dengan cara apapun.

Adi seperti ditulis liputan6 (11/8/2024) mengungkap, apa yang terjadi di Pilkada hari ini adalah fenomena demokrasi elit. Sebab, yang bisa menentukan seseorang bisa maju adalah murni kehendak elit partai.

Suara rakyat adalah suara Tuhan, demikian kredo demokrasi liberal yang kerap terdengar. Hal ini menciptakan keyakinan bahwa rakyat memiliki kedaulatan dalam menentukan jalannya sistem politik dan kepemimpinan satu negara.

Hanya saja, satu hal yang tidak boleh dilupakan bahwa demokrasi liberal ala Barat ini lahir dari sekularisme sempit yang memisahkan agama dari kehidupan. Konsekuensi hal ini meniscayakan kebebasan pada manusia untuk berbuat termasuk dalam praktik politik yang mereka lakukan. Sekularisme adalah titik kritis bagi demokrasi liberal kapitalistik hari ini.

Pada faktanya, demokrasi liberal ini tidak hanya menciptakan praktik politik yang mempertontonkan kebohongan secara nyata, tetapi juga menciptakan industri politik yang hanya memanfaatkan suara rakyat, alih-alih mewujudkan kemaslahatan mereka.

Dengan begitu,  demokrasi liberal sejatinya telah meneguhkan dirinya sebagai sistem yang hanya menguntungkan kaum elite, sementara kehidupan rakyat tetap saja sulit.

Di dalam masyarakat sekuler, kapitalisme adalah spirit segala interaksi manusia baik politik, ekonomi, hukum, sosial, pergaulan dan sebagainya. Hal ini meniscayakan realitas bahwa siapapun yang memiliki kapital (modal), ia berpeluang memiliki kuasa bahkan mengendalikan sistem tata sosial yang berjalan di tengah masyarakat.

Atas dasar itu, kekuasaan adalah jalan untuk mengamankan kepentingan, menanamkan pengaruh sekaligus membentuk oligarki kekuasaan. Bahkan, memasuki wilayah politik adalah bekal untuk melipatgandakan bisnis.

Fenomena seperti ini sudah bukan rahasia lagi dalam sistem demokrasi liberal. Prinsip “power is money and money is power” lahir dari kapitalisme. Ini menegaskan bahwa sistem politik bertemu dalam industri politik demokrasi kapitalisme.

Praktik inilah yang terjadi secara vulgar di sekitar kita. Sistem ini juga telah menyingkirkan nilai nilai moral dan agama dalam kehidupan. Oleh karena itu, praktik politik yang menghalalkan segala cara demi meraih kepentingan adalah konsekuensi logisnya.

Sistem yang memisahkan agama dari kehidupan ini telah menciptakan sistem politik liberal yang tidak mengenal hukum halal-haram dalam bertindak. Sungguh, ini adalah sebuah realitas politik yang nyata terjadi hari ini.  Praktik politik yang menghalalkan segala cara ini menciptakan persaingan politik ala hukum rimba.

Dalam sistem demokrasi kapitalis, kita menyaksikan banyak parpol bermutasi menjadi korporasi. Bedanya, transaksi yang terjadi di dalamnya adalah transaksi politik.

Para petinggi parpol acapkali melakukan lobi-lobi melalui safari politik atau semacamnya. Tujuannya, tidak lain untuk membentuk koalisi yang mempertemukan kepentingan mereka. Bagi mereka, mbentuk koalisi ibarat satu strategi di atas papan catur perpolitikan.

Oleh karena itu, pembentukan koalisi akan didasarkan atas pertimbangan mengenai seberapa besar peluang kemenangan dapat diraih. Dalam koalisi inilah, kita akan menyaksikan pragmatisme politik parpol.

Meski mereka berbeda ideologi atau pandangan politik pada masa sebelumnya, koalisi kepentingan itulah yang akan menyatukan mereka. Selain itu, fokus pemilihan figur calon yang akan mereka usung dalam pentas politik semata pada perhitungan peluang kemenangan, bukan pada kapabilitas apalagi integritas calon kepala daerah. Kondisi ini akan meniscayakan praktik politik uang. Hitung-hitungan kekuataan parpol bukan semata pada dukungan massa, tetapi juga modal yang mereka persiapkan. Seluruh drama politik ini adalah strategi untuk meraih kekuasaan bersama.

Dalam proses meraih kekuasaan itu, cara-cara kotor, curang, dan penuh kebohongan pun mereka pertontonkan tanpa malu. Begitu kekuasaan mereka peroleh, dengan episode selanjutnya yakni bagi-bagi jatah kekuasaan.

Jika kita berharap mereka mampu menghadirkan pemimpin yang dapat mendengar suara rakyat, itu jelas omong kosong. Dalam praktiknya, pemimpin-pemimpin yang lahir dari demokrasi liberal itu tidak lain bekerja untuk melayani kepentingan para oligarki. Rakyat hanyalah partisipan pasif yang kontribusi riilnya dalam politik semata hadir saat proses pencoblosan saja.

Slogan demokrasi dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat adalah utopis belaka. Terbukti, dalam pegelaran pesta demokrasi hampir dipastikan para elite menuai untung, sementara rakyat malah buntung.

Praktik politik dalam Islam jauh dari politik oportunis. Para pemegang kekuasaan pun tidak lahir dari hasil koalisi yang mempertemukan kepentingan para elite.

Dalam Islam, kekuasaan bukanlah sesuatu yang lepas dari pertanggung-jawaban di hadapan Allah. Oleh karena itulah, Islam memiliki pandangan yang khas mengenai kekuasaan.

Imam Al-Ghazali mengungkapkan dengan sangat bijak mengenai hubungan kekuasaan dan agama. Beliau berkata, “Kekuasaan (pemerintah) dan agama adalah saudara kembar. Agama adalah fondasi dan kekuasaan (pemerintah) adalah penjaga. Sesuatu yang tidak berfondasi akan roboh, dan sesuatu yang tidak memiliki penjaga akan lenyap/hilang.”

Hal ini secara jelas menunjukkan bahwa kekuasaan berperan besar dalam menegakkan syariat di tengah-tengah masyarakat. Atas dasar ini pula, para pemimpin dipilih untuk menjalankan apa yang menjadi perintah Allah dan Rasulullah saw.

Di sisi lain, makna politik tidak sesempit fakta seperti saat ini. Politik dalam Islam bermakna ri’ayatusy syu’unil ummah, yakni mengurus urusan umat. Dengan definisi ini, penguasa berperan sebagai pelayan dan pengurus rakyatnya.

Kapabilitasnya dalam mengelola negara bukan hanya berdasarkan kemampuan seorang politisi tetapi juga lahir dari keimanan yang kukuh. Rakyat pun merasakan atmosfer politik yang kental dengan spirit keimanan.

Inilah rahasia peradaban Islam dalam mewujudkan konsep-konsep Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam. Kekuasaan adalah amanah.

Namun dalam kaca mata kapitalisme demokrasi liberal hari ini, kekuasaan ibarat jalan tol untuk meraih segala kemewahan dunia.

Pandangan Islam justru sebaliknya. Kekuasaan adalah perkara berat yang membutuhkan kapabilitas dan rasa tanggung jawab. Inilah yang tergambar dalam percakapan Rasulullah saw. bersama Abu Dzar.

Dari Abu Dzar, ia berkata, “Saya berkata, ‘Wahai Rasulullah, tidakkah Engkau menjadikanku sebagai pejabat?’

Abu Dzar berkata, ‘Kemudian beliau menepuk bahuku dengan tangan beliau seraya bersabda, ‘Wahai Abu Dzar, kamu ini lemah (untuk memegang jabatan) padahal jabatan merupakan amanah.

Pada hari kiamat ia adalah kehinaan dan penyesalan, kecuali bagi siapa yang mengambilnya dengan hak dan melaksanakan tugas dengan benar.’.” (HR Muslim). Inilah sebabnya Rasulullah saw. juga mengingatkan umat Islam tentang kekuasaan. Beliau bersabda, “Jika urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah kehancuran itu.” (HR Al-Bukhari).

Sudah saatnya umat Islam kembali merujuk pada konsep Islam mengenai politik dan kekuasaan. Di tengah bobroknya sistem politik sekuler demokrasi kapitalistik yang serba oportunis, kembali kepada syariat adalah satu-satunya solusi.

Siapapun tentu tidak ingin larut dalam kesempitan hidup yang disebabkan sistem politik yang jauh dari tuntunan syariat.

Sudah saatnya, umat mencampakkan sistem politik sekuler demokrasi liberal ini karena telah menciptakan sistem politik yang batil dan menyesatkan. Selain itu, kedaulatan hanyalah di tangan Sang Khalik sekaligus pembuat aturan yang layak bagi manusia.

Sistem saat ini telah terbukti bobrok dan hanya menciptakan kekuasaan para elite yang menyengsarakan rakyat. Wallaahualam bisshawab.[]

Comment