Penulis: Dr. M. Imam Syamsi Ali, Lc., M.A., Ph.D | Direktur Jamaica Muslim Center, New York, Amerika Serikat
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Dalam beberapa hari terakhir ini terjadi kekerasan-kekerasan dan kekisruhan di beberapa kota di Inggris (United Kingdom). Menurut informasi yang diterima hal ini dipicu oleh sebuah rumor tentang kekerasan yang dilakukan oleh seorang imigran asal Afrika ke seorang warga Inggris kulit putih. Belakangan diketahui bahwa rumor itu memang hanya rumor yang tidak pernah terjadi.
Terlepas dari benar tidaknya rumor tersebut, kekerasan dan serangan yang dilakukan keada Komunitas Muslim di Inggris sangat disesalkan. Selain karena harusnya sebagaimana masyarakat yang beradab perlu melakukan klarifikasi sebelum bereaksi. Selain itu karena Inggris dikenal sebagai negara yang mengedepankan mengedepankan “the rule of law”. Bukan negara yang mengandalkan “the rule of jungle” (hukum rimba dan main hakim sendiri).
Terlebih lagi tentunya karena Inggris mengklaim diri sebagai mbah demokrasi dan champion of human rights and religious freedom (pembela HAM dan kebebasan beragama). Kenyataannya, kalaupun tuduhan kekerasan yang dilakukan oleh seorang imigran dari Afrika itu benar, Inggris gagal melindungi warganya dari kekacauan social (social chaos) ini. Dengan terbuka kelompok garis keras warga putih (white supremacy) Inggris melakukan penyerangan dan kekerasan ke warga Muslim dan merusak beberapa rumah ibadah (Masjid).
Hal yang kini menjadi pemandangan memalukan di Inggris ini hanya menguatkan kembali minimal dua hal: satu, kerapuhan fondasi demokrasi yang seharusnya menjunjung tinggi kemerdekaan masyarakat, termasuk kemerdekaan beragama. Dua, kemunafikan-kemunafikan pengakuan (claim) Inggris yang seolah lebih beradab dan dengan nilai-nilai universal (HAM; kebebasan, keadilan dan kemuliaan manusia).
Lebih dari itu, ledakan kekerasan-kekerasan ini juga mengekspos Islamophobia dan kebencian yang sangat mengakar di kalangan masyarakat Eropa dan Barat. Islamophobia dan kebencian yang selama ini sengaja ditutupi dengan berbagai propaganda “nilai-nilai” (values) itu ternyata kenyataannya banyak bersifat“lip service” semata. Kalaupun benar adanya, fondasi nilai-nilai itu sangat rapuh. Dalam bahasa Al-Quran: “maa lahaa min qaraar” (tidak memiliki fondasi).
Pengakuan Eropa dan Barat (termasuk Amerika) dengan nilai-nilai itu; seperti demokrasi, kemerdekaan, keadilan, penghormatan kepada hak-hak dasar manusia dalam kenyataannya, selain seringkali mengalami pencorengan dengan standar ganda (double standard) juga tidak memiliki akar yang kuat dan meyakinkan dalam realita kehidupan mereka. Pengakuan itu sangat rapuh, mudah goyah, bahkan tumbang.
Untuk memahami semua itu kita bisa ikuti berbagai peristiwa yang melibatkan negara-negara Barat, termasuk Amerika. Kita masih ingat peristiwa kekerasan-kekerasan yang dialami oleh rakyat sipil di Afghanistan dan Irak. Mungkin yang paling heboh beberapa tahun lalu adalah peristiwa Abu Ghuraib di Irak.
Bahkan dalam beberapa bulan terakhir karakter ganda dan kerapuhan pengakuan nilai (kebebasan dan keadilan) itu semakin terbuka (exposed). Pembunuhan massal dan genosida yang dilakukan penjajah Israel kepada bangsa Palestina tidak saja dibiarkan oleh mereka yang mengaku pembela dan pahlawan HAM, kebebasan, keadilan dan kemuliaan manusia (human dignity) itu. Justeru mereka menjadi bagian dari pelanggaran HAM yang paling nyata itu.
Karenanya apa yang terjadi hari-hari ini di Inggris kembali membuktikan karakter ganda, kemunafikan dan pengakuan nilai-nilai universal Barat yang rapuh itu. Mungkin masanya bangsa Barat mengakui bahwa mereka memang perlu belajar dari dunia lain, termasuk belajar dari dunia Islam. Dunia yang seringkali menjadi korban permainan persepsi dan kepentingan.
Dunia Barat juga harus belajar sejarah. Bahwa jauh sebelum mereka eksis dan dikenal, Islamlah yang hadir membawa dan mengusung peradaban yang meteka akui sebagai “western values and civilization”.[]
Comment