Penulis: Dr. M. Imam Syamsi Ali, Lc., M.A., Ph.D | Direktur Jamaica Muslim Center, New York, Amerika Serikat
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Tentu banyak hal yang dikategorikan sebagai kekurangan (shortcomings) Amerika. Dari ragam permasalahan sosial, drug, persenjataan, hingga ke ragam imoralitas yang hampir tak lagi terkendalikan. Amerika banyak tidak sadar jika permasalahan-permasalahan sosial di negeri ini, termasuk masalah-masalah keluarga, adalah pintu bagi kemungkinan ambruknya negara adidaya ini.
Namun sejak saya tinggal di negara ini hingga saat ini, belum ada yang paling mengecewakan dan memalukan lebih dari undangan Kongress dan Senate Amerika kepada Benjamin Natanyahu, a killer and war criminal war, untuk menyampaikan pidato di hadapan majelis bersama (joint session) Kongres/senat di gedung Capitol Hill Amerika.
Undangan kepada penjahat perang dan kehadirannya di negara ini adalah tamparan, bahkan menginjak-injak Konstitusi dan nilai-nilai Amerika (American values); human life and rights, human dignity, dan tentunya kemerdekaan dan keadilan untuk semua (justice for all).
Betapa tidak, hampir semua negara di dunia menyepakati jika Benjamin Natanyahu dan pemerintahannya adalah penjahat perang. Bahkan vonis sebagai penjahat perang itu telah dijatuhkan kepadanya oleh ICJ (International Court of Justice). Hampir semua negara menerima vonis itu termasuk Francis dan Jerman. Hanya Amerika yang tetap bersikukuh membelanya bahkan kini dihadirkan sebagai pahlawan.
Saya tidak ingin lagi membahas konten pidato atau mengomentari tepuk tangan dan standing ovation anggota Senate/kongres. Selain memalukan, juga hampir semua isi pidato Benjamin adalah “buhtaan adziim” (kebohongan besar) dan cenderung merendahkan/menghina Amerika.
Bagaimana tidak begitu nyata pembantaian massal dan penghancuran total Gaza, tapi Benjamin menyampaikan “almost none” (hampir tidak ada yang terbunuh dari kalangan sipil).
Bagaimana Benjamin merendahkan Amerika seolah tanpa Israel Amerika tak akan mampu menghadapi siapa yang disebut musuh terbesar dan abadi Amerika, Iran.
Satu hal yang ingin saya bahas singkat adalah bagaimana kecenderungan posisi kedua kandidat Presiden Amerika; Kamala Harris dan Donald Trump.
Sebagaimana kita ketahui keduanya akan bertemu dengan penjahat perang itu setelah ketemu dengan Presiden Biden siang ini, 25 Juli 2024. Pada hari yang sama Penjahat perang Benjamin akan ketemu dengan Kamala Harris.
Pertemuan dengan Kamala ini lebih kepada posisinya sebagai capres ketimbang sebagai Wakil Presiden. Lalu keesokan harinya, 26 Juli, Donald Trump akan bertemu dengannya di Mara Lago, kediaman Trump di Florida.
Pertemuan dengan Capres Kamala Harris.
Mungkin hal pertama yang perlu kita ingat tentang Kamala Harris adalah bahwa dia adalah salah seorang petinggi politik, sebagai Wapres Amerika, yang menyerukan gencatan senjata di Gaza.
Mungkin hal ini tidak terdengar luas. Tapi seruan itu dapat ditemukan di berbagai jejak digital media sosial. Tentu hal ini mengejutkan karena banyak hal.
Satu, karena Kamala adalah isteri dari seorang suami Yahudi (Kamala sendiri beragama Kristen Methodist).
Dua, karena dia adalah Wapres dari Presiden Biden yang mendeklarasikan diri sebagai non Jewish Zionist (Biden beragama Katolik).
Tiga, kenyataan bahwa lobby politik Yahudi di Amerika dipandang sebagai penentu kemenangan atau kekalahan dalam pilihan politik Amerika.
Karenanya pertemuan antara Kamala dan war criminal (penjahat perang) Benjamin itu menjadi sangat krusial bagi langkah-langkah politik Kamala Harris ke depan. Posisi Kamala Harris dalam mendukung Israel tetap conventional (seperti yang lain). Bahwa Israel baginya adalah sekutu Amerika yang harus didukung dan dibela.
Hal itu dikarenakan Israel mengaku sebagai “they only Democratic nation in the Middle East”. Tapi uniknya, Kamala termasuk kalangan minoritas yang menyerukan gencatan senjata bagi penyelesaian perang Hamas-Israel.
Tentu bagi para pendukung perjuangan bangsa Palestina, termasuk Komunitas Muslim, hal ini bagaikan setetes air di tengah padang pasir di musim panas. Ada apresiasi dengan posisi Kamala itu. Apalagi Kamala Harris sebagai Presiden Senate (posisi Wapres juga sebagai Ketua senate) tidak hadir di acara pidato Penjahat perang itu di gedung Capitol Hill.
Ketidak hadiran itu tentunya memiliki makna yang penting bagi politik Amerika yang saat ini mencapai tingkat sensitifitas yang tinggi. Ketidak hadiran Kamala telah dianggap oleh para politisi Republikan sebagai sikap anti Yahudi dan Israel.
Sebaliknya bagi Komunitas Muslim ketidak hadiran Kamala itu dan beberapa petinggi dan anggota Senat dan Kongres di acara pidato itu, termasuk Barnie Sanders dan Ilhan Omar, dihargai sebagai sebuah harapan.
Harapan seperti itulah yang diharapkan kiranya dalam pertemuan antara capres dan war criminal itu akan menjadi forum bagi Kamala untuk menegaskan siapa dirinya sebagai politisi “non convensional” Amerika.
Satu, kiranya Kamala Harris kembali menegaskan posisinya bahwa pembunuhan yang masih terus berlangsung di Gaza dan berbagai kawasan lainnya di Palestina dihentikan sekarang juga. Jika tidak, Amerika memutuskan semua bantuan finansial dan militer ke Israel.
Dua, menarik pasukan Israel dari Gaza dan daerah-daerah pendudukan lainnya. Dan memastikan bahwa tanah Palestina diserahkan sepenuhnya kepada bangsa Palestina untuk mengelola (memerintah).
Tiga, membuka pintu seluas-luasnya bagi bantuan kemanusiaan untuk masuk ke Gaza menyelamatkan bangsa Palestina dari ancaman pemusnahan masal dengan cara “starvation” (kelaparan).
Empat, menekankan pentingnya kembali ke meja perundingan dengan agenda pendirian negara Palestina yang merdeka sesuai kesepakatan perjanjian tahun 1967 dan jaminan keamanan bagi negara Israel. Hanya dengan dua hal ini konsep solusi dua negara (two states) dapat terwujud.
Lima, menekan Israel menerima keputusan organisasi-organisasi internasional seperti PBB dan ICJ, termasuk di dalamnya keputusan ICJ tentang penjahat perang dan illegalitàs pendudukan Israel di tanah Palestina.
Semua poin-poin di atas oleh Capres Kamala harus dijadikan pra-kondisi (persyaratan) bagi semua bantuan Amerika ke Israel. Jika Israel menolak maka semua bentuk kerjasama dan bantuan harus dihentikan.
Tentu hal di atas tidak muda bagi seoarang politisi, apalagi pada level nasional Amerika. Kita juga sadar bahwa di negara ini ada “invisible hands” (kekuatan tersembunyi) yang mengendalikan perpolitikan dan kebijakan publik.
Minimal dua yang ingin saya sebutkan. Satu, lobby zionis Yahudi. Dan dua, Kristen garis keras evangelicals. Tak seorang capres/cawapres kecuali bertekuk lutut mengharapkan dukungan untuk memenangkan bahkan pencapresan sekalipun dari kedua group itu.
Pertemuan dengan Capres Donald Trump.
Penjahat perang (Natanyahu) juga akan bertemu dengan capres dari Partai Republican Donald Trump. Bagi Israel Donald Trump bukan orang asing. Donald Trumplah yang melicinkan jalan bagi pembukaan hubungan diplomatik antara beberapa negara Islam/Arab dengan Israel.
Di masanya Israel membangun hubungan diplomasi dengan Emirate, Bahrain, Sudah, dan lain-lain. Bahkan di zaman Donald Trump American untuk pertama kalinya secara resmi mengakui Jerusalem Timur sebagai Ibukota Israel, sekaligus memindahkan Kedutaan Amerika ke Kota yang dideklarasikan sebagai Ibukota Palestina. Kedua kebijakan Trump itu merupakan pelanggaran nyata ke berbagai resolusi PBB.
Keberhasilan di atas tentu tidak lepas dari peranan Utusan Khusus Trump untuk Timur Tengah, termasuk Israel-Palestina, sekaligus menantunya Jared Kushner. Suami Ivanka Trump ini memang dikenal sebagai pengusaha muda sukses dan zionis ekstrim. Bahkan disinyalir sangat dekat dengan Pangeran Saudi Arabia Bin Salman. Sehingga dalam waktu empat tahun itu begitu banyak accomplishment (keberhasilan) yang dicapai.
Maka pertemuan yang akan terjadi antara Trump dan penjahat perang itu hanya semakin menambah kekhawatiran banyak orang. Bahwa jika nantinya Trump memenangkan pertarungan pilpres di Nopember mendatang, Israel akan semakin menjadi-jadi.
Apa yang selama ini disebut Trump sebagai “menyelesaikan peperangan” diartikan sebagai “habiskan orang Gaza” dan ambil alih daerah itu. Apalagi Jared Kushner berkali-kali menyampaikan bahwa pantai lautan Gaza memiliki prospek ekonomi jika dibangun hotel-hotel dan pusat Kegiatan ekonomi. Tentu termasuk membangun kota judi seperti Las Vegas.
Pada akhirnya seperti yang sering saya sampaikan berkali-kali, selama konstalasi politik dalam negeri Amerika tidak berubah maka kebijakan luar negerinya akan memiliki warna yang sama. Yang berbeda hanya style saja. Tapi secara substansi dan tujuan sama. Apalagi jika itu berhubungan dengan Israel, pasti nyanyiannya sama: “Israel adalah sekutu yang tak akan ditinggalkan”.
Secercah harapan itu ada pada Kamala Harris saat ini. Jika tidak semua keinginan (lima poin) di atas dipenuhi minimal ada political will dan keberanian (courage) untuk menghentikan bantuan militer dan finansial kepada Israel yang terus membantai rakyat sipil, khususnya anak-anak dan wanita.
Saya yakin Kamala Harris, walau tidak punya anak biologis, masih memiliki rasa keibuan (motherhood). Merasakan kesedihan dan keperihan Ibu-Ibu Gaza melihat anak-anak terbantai tanpa rasa kemanusiaan oleh Israel.
Kamala, you have that opportunity to do difference and better. Cease the momentum. Not only that you will be the first American woman to be elected. More importantly you can create your own unique history in America. That America is and can be better than what’s been shown so far. Do better!.[]
Comment