Kecam Putusan ICJ, Netanyahu: Israel Bukan Penjajah di Tanah Air Sendiri

Internasional172 Views

 

 

RADARINDONESIANEWS.COM,  TEL AVIV – Perdana Menteri (PM) Israel Benjamin Netanyahu mengecam keputusan Mahkamah Internasional (ICJ) yang menetapkan pendudukan Tel Aviv atas wilayah Palestina adalah ilegal dan harus diakhiri segera.

Netanyahu menegaskan orang-orang Yahudi tidak bisa dianggap sebagai penjajah di tanah air mereka sendiri.
Seperti dilansir AFP dan Al Arabiya, Sabtu (20/7/2024), Netanyahu dalam tanggapannya juga menyebut putusan Mahkamah Internasional yang dijatuhkan di Den Haag, Belanda, pada Jumat (19/7) waktu setempat sebagai “keputusan kebohongan”.

“Orang-orang Yahudi bukanlah penjajah di tanah mereka sendiri — tidak di ibu kota abadi kami Yerusalem, atau di warisan leluhur kami di Yudea dan Samaria (merujuk pada Tepi Barat),” tegas Netanyahu dalam pernyataannya.

“Tidak ada keputusan kebohongan di Den Haag yang akan memutarbalikkan kebenaran sejarah ini, dan demikian pula, legalitas permukiman Israel di seluruh wilayah tanah air kami tidak bisa disangkal,” ujarnya.

Putusan Mahkamah Internasional ini menarik perhatian karena dilatarbelakangi oleh perang yang terus berkecamuk antara Israel dan Hamas di Jalur Gaza, sejak dimulai pada Oktober tahun lalu.

Netanyahu juga memimpin gelombang kecaman terhadap keputusan Mahkamah Internasional, yang merupakan pengadilan tertinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), dari politisi konservatif, sayap kanan dan bahkan kalangan sentris di Israel.
Menteri Keamanan Nasional Israel, Itamar Ben Gvir, yang seorang pemukim Yahudi menyebut Mahkamah Internasional sebagai “organisasi politik dan anti-Semit yang terang-terangan”.

Dia bahkan menyerukan Israel untuk menegaskan “kedaulatan” atas wilayah pendudukan melalui aneksasi.

“Keputusan di Den Haag membuktikan sekali lagi — ini merupakan organisasi politik dan anti-Semit yang terang-terangan,” kritik Ben Gvir pada Mahkamah Internasional yang berkantor di Den Haag.

“Kami tidak akan menerima ceramah moral dari mereka,” tegasnya.

Kecaman juga datang dari Menteri Keuangan Israel, Bezalel Smotrich, yang dikenal kontroversial. Sama seperti Ben Gvir, Smotrich dalam pernyataannya turut menyerukan langkah-langlah menuju aneksasi wilayah Tepi Barat.
“Jawaban terhadap Den Haag — kedaulatan sekarang,” cetusnya dalam pernyataan via media sosial X.

Tak ketinggalan, pemimpin oposisi Israel, Yair Lapid, yang berhaluan sentris juga mengkritik keputusan Mahkamah Internasional tersebut. Lapid menyebut keputusan itu “tidak berkaitan, sepihak, tercemar dengan anti-Semitisme dan kurang memahami realitas di lapangan”.

Mahkamah Internasional, dalam putusan pada Jumat (19/7) waktu setempat, menyatakan pendudukan Israel atas wilayah Palestina yang berlangsung selama puluhan tahun adalah ilegal. Mahkamah Internasional menyerukan agar pendudukan oleh Israel itu diakhiri sesegera mungkin.

“Pengadilan telah memutuskan… bahwa kehadiran Israel yang terus berlanjut di wilayah Palestina adalah ilegal,” tegas hakim ketua Mahkamah Internasional, Nawaf Salam, saat membacakan putusan panel beranggotakan 15 hakim di Peace Palace — yang merupakan tempat kedudukan Mahkamah Internasional.

“Israel berkewajiban untuk mengakhiri kehadirannya yang melanggar hukum sesegera mungkin,” ujarnya.

Dalam putusannya, Mahkamah Internasional juga menetapkan permukiman Yahudi di Tepi Barat dan Yerusalem Timur sebagai pelanggaran hukum internasional.

“Permukiman Israel di Tepi Barat dan Yerusalem Timur, dan rezim yang terkait dengannya, yang telah didirikan dan dipertahankan dengan melanggar hukum internasional,” sebut Salam saat membacakan putusan.

Ditambahkan juga oleh putusan Mahkamah Internasional tersebut bahwa Israel “berkewajiban untuk segera menghentikan semua aktivitas permukiman baru dan mengevakuasi semua pemukim” dari wilayah-wilayah yang diduduki.

Kebijakan dan praktik Israel, termasuk pemeliharaan tembok antar wilayah, menurut putusan Mahkamah Internasional, “sama saja dengan aneksasi sebagian besar” wilayah pendudukan.

Putusan Tidak Mengikat

Putusan Mahkamah Internasional ini, yang disebut sebagai “advisory opinion”, bersifat tidak mengikat. Namun kemungkinan putusan ini akan meningkatkan tekanan diplomatik terhadap Israel, yang sedang berperang melawan Hamas di Jalur Gaza dalam beberapa bulan terakhir.

Putusan ini muncul sebagai tanggapan atas pernyataan Majelis Umum PBB tahun 2022 mengenai konsekuensi hukum dari “pendudukan, permukiman, dan aneksasi berkepanjangan Israel atas wilayah Palestina yang diduduki sejak tahun 1967”.

PBB sebelumnya menyatakan pendudukan Israel atas wilayah Palestina adalah ilegal.

Sementara itu kepada Bergelora.com di Jakarta dilaporkan, sambutan baik diberikan oleh Otoritas Palestina terhadap putusan Mahkamah Internasional (ICJ) yang menetapkan pendudukan Israel atas Palestina selama beberapa dekade terakhir adalah ilegal.
Kantor Presiden Palestina Mahmoud Abbas menyebutnya sebagai putusan “bersejarah” oleh Mahkamah Internasional.

Menteri Luar Negeri (Menlu) Palestina Varsen Aghabekian Shahin, dalam komentar terpisah, menyebut putusan yang dijatuhkan Mahkamah Internasional di Den Haag, Belanda, pada Jumat (19/7) waktu setempat itu sebagai “hari yang luar biasa bagi Palestina”.

“Kepresidenan menyambut baik keputusan Mahkamah Internasional, menganggapnya sebagai keputusan bersejarah dan menuntut agar Israel dipaksa untuk menerapkannya,” demikian pernyataan kantor kepresidenan Otoritas Palestina, seperti dikutip kantor berita WAFA dan dilansir AFP, Sabtu (20/7/2024).

“Keputusan pengadilan tersebut merupakan kemenangan bagi keadilan, karena menegaskan bahwa pendudukan Israel tidak sah,” imbuh pernyataan tersebut.

Kementerian Luar Negeri Palestina, dalam tanggapannya, menyebut keputusan Mahkamah Internasional itu sebagai “momen penting bagi Palestina, bagi keadilan dan hukum internasional”.

“Israel mempunyai kewajiban untuk mengakhiri upaya kolonial ilegal ini tanpa syarat, dan dalam pandangan kami, hal itu berarti segera dan secara total,” sebut Kementerian Luar Negeri Palestina.

Dalam pernyataan kepada AFP, Menlu Palestina Shahin menyebutnya sebagai “hari yang luar biasa bagi Palestina” setelah Mahkamah Internasional, yang merupakan pengadilan tertinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), menetapkan pendudukan Israel selama puluhan tahun adalah ilegal.

“Ini adalah hari yang luar biasa bagi Palestina, secara historis dan secara hukum,” cetusnya saat berbicara kepada AFP pada Jumat (19/7) waktu setempat.

“Ini merupakan badan peradilan tertinggi di dunia dan telah menyajikan analisis yang sangat rinci tentang apa yang terjadi selama pendudukan dan penjajahan Israel yang berkepanjangan atas wilayah Palestina yang melanggar hukum internasional,” imbuh Shahin.

Mahkamah Internasional, dalam putusan pada Jumat (19/7), menetapkan pendudukan Israel atas wilayah Palestina yang berlangsung selama puluhan tahun adalah ilegal dan harus diakhiri sesegera mungkin.

Parlemen Israel Menolak Negara Palestina

Sementara itu, parlemen Israel atau Knesset resmi mengeluarkan resolusi yang menolak pembentukan negara Palestina pada Kamis 18 Juli 2024.

Partai-partai dari koalisi Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan partai-partai ekstremis sayap kanan dari oposisi, termasuk partai State Camp yang dipimpin Benny Gantz, ikut mensponsori resolusi tersebut.

Sementara itu, Menteri Keuangan Bezalel Smotrich, salah satu tokoh ekstremis Israel, mengatakan di Knesset, “Negara Palestina tidak dapat didirikan karena tidak ada bangsa Palestina.”

Resolusi ini boleh jadi sebagai pembangkangan Israel terhadap Amerika Serikat yang menginginkan penyelesaian konflik dengan Solusi Dua Negara.

Lebih dari tujuh bulan setelah perang Israel-Hamas yang paling mematikan ini, Amerika Serikat mengatakan bahwa tidak ada cara untuk menyelesaikan masalah keamanan Israel dan tantangan untuk membangun kembali Gaza tanpa langkah-langkah menuju negara Palestina.

Netanyahu mengatakan bahwa ia tidak akan berkompromi dengan kontrol keamanan Israel secara penuh di sebelah barat Yordania dan bahwa hal ini bertentangan dengan negara Palestina yang berdaulat, yang menurutnya akan menimbulkan “bahaya eksistensial” bagi Israel.

Berbagai hambatan telah lama menghalangi Solusi Dua Negara, yang membayangkan negara Israel dan Palestina hidup berdampingan satu sama lain.

Konflik terjadi di Palestina yang dikuasai Inggris antara orang Arab dan Yahudi yang bermigrasi ke daerah itu, mencari rumah nasional karena mereka melarikan diri dari penganiayaan di Eropa dan mengutip ikatan alkitabiah dengan tanah tersebut.

Pada 1947, Perserikatan Bangsa-Bangsa menyepakati sebuah rencana untuk membagi Palestina menjadi negara-negara Arab dan Yahudi dengan pemerintahan internasional atas Yerusalem. Para pemimpin Yahudi menerima rencana tersebut, yang memberi mereka 56% dari tanah tersebut. Liga Arab menolaknya.

Negara Israel dideklarasikan pada tanggal 14 Mei 1948. Sehari kemudian, lima negara Arab menyerang. Perang berakhir dengan Israel menguasai 77% wilayah.

Sekitar 700.000 orang Palestina melarikan diri atau diusir dari rumah mereka, berakhir di Yordania, Lebanon dan Suriah serta di Jalur Gaza, Tepi Barat dan Yerusalem Timur.

Pada perang 1967, Israel merebut Tepi Barat, termasuk Yerusalem Timur, dari Yordania dan Gaza dari Mesir, sehingga menguasai seluruh wilayah dari Mediterania hingga lembah Yordan.

Orang-orang Palestina tetap tidak memiliki kewarganegaraan, dengan sebagian besar hidup di bawah pendudukan Israel atau sebagai pengungsi di negara-negara tetangga. Sebagian – kebanyakan keturunan Palestina yang tetap tinggal di Israel setelah negara itu didirikan – memiliki kewarganegaraan Israel.

Solusi Dua Negara

Solusi dua negara merupakan landasan proses perdamaian yang didukung oleh Amerika Serikat, yang diawali dengan Perjanjian Oslo 1993, yang ditandatangani oleh Yasser Arafat dari Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) dan Perdana Menteri Israel Yitzhak Rabin.

Perjanjian ini membuat PLO mengakui hak Israel untuk eksis dan meninggalkan kekerasan serta pembentukan Otoritas Palestina (PA). Warga Palestina berharap ini akan menjadi langkah menuju sebuah negara merdeka, dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kotanya. Proses ini dihantam penolakan dari kedua belah pihak.

Hamas, sebuah gerakan Islamis, melakukan serangan bunuh diri yang menewaskan sejumlah warga Israel, dan pada 2007 merebut Gaza dari PA dalam sebuah perang saudara yang singkat.

Piagam Hamas 1988 menganjurkan kehancuran Israel meskipun dalam beberapa tahun terakhir Hamas menyatakan akan menerima negara Palestina di sepanjang perbatasan 1967. Israel mengatakan bahwa perubahan Hamas adalah tipu muslihat.

Pada tahun 2000, Presiden AS Bill Clinton membawa Arafat dan Perdana Menteri Israel Ehud Barak ke Camp David untuk mencapai kesepakatan, namun upaya tersebut gagal.

Nasib Yerusalem, yang dianggap oleh Israel sebagai ibu kotanya yang “abadi dan tak terpisahkan”, menjadi hambatan utama.

Konflik meningkat dengan intifada (pemberontakan) Palestina kedua pada 2000-2005. Pemerintah AS berusaha untuk menghidupkan kembali upaya perdamaian – namun tidak berhasil, dengan upaya terakhir yang gagal pada tahun 2014.

Pendudukan Israel sejak 1967 dan perluasan permukiman di Tepi Barat membahayakan negara Palestina yang layak, menghalangi solusi dua negara dan meningkatkan ketegangan regional.
Para pendukung solusi dua negara telah membayangkan Palestina di Jalur Gaza dan Tepi Barat yang dihubungkan dengan sebuah koridor yang melintasi Israel.

Dua dekade yang lalu, rincian tentang cara kerja solusi ini telah dituangkan dalam sebuah cetak biru yang dibuat oleh para perunding Israel dan Palestina.
Dikenal sebagai Kesepakatan Jenewa, membuka lembaran baru, prinsip-prinsipnya mencakup pengakuan atas lingkungan Yahudi Yerusalem sebagai ibu kota Israel, dan pengakuan atas lingkungan Arab sebagai ibu kota Palestina, dan negara Palestina yang didemiliterisasi.

Israel akan mencaplok permukiman-permukiman besar dan menyerahkan tanah lainnya sebagai ganti rugi, serta memukimkan kembali para pemukim Yahudi di wilayah kedaulatan Palestina di luar sana.

Hamas Gagalkan Solusi 2 Dua Negara

Rintangan semakin bertambah seiring berjalannya waktu. Ketika Israel menarik para pemukim dan tentaranya dari Gaza pada tahun 2005, permukiman meluas di Tepi Barat dan Yerusalem Timur, populasinya meningkat dari 250.000 orang di tahun 1993 menjadi 695.000 orang tiga dekade kemudian, demikian menurut organisasi Peace Now.

Selama Intifada Kedua, Israel juga membangun apa yang disebutnya sebagai penghalang untuk menghentikan serangan Palestina. Palestina menyebutnya sebagai perampasan tanah. PA yang dipimpin oleh Presiden Mahmoud Abbas mengelola pulau-pulau di Tepi Barat yang diselimuti oleh zona kontrol Israel yang terdiri dari 60% wilayah tersebut, termasuk perbatasan Yordania dan pemukiman-pengaturan yang diatur dalam Perjanjian Oslo.

Politik internal telah menambah kerumitan. Pemerintahan Netanyahu adalah yang paling berhaluan kanan dalam sejarah Israel dan termasuk di dalamnya kaum nasionalis religius yang menarik dukungan dari para pemukim. Menteri Keuangan Bezalel Smotrich mengatakan tahun lalu bahwa tidak ada yang namanya rakyat Palestina.

Hamas memenangi pemilihan umum pada 2006 dan setahun kemudian mengusir pasukan yang setia kepada Abbas dari Gaza, sehingga memecah belah Palestina.

Apakah Ada Jalan ke depan?

Nasib Gaza adalah pertanyaan yang paling mendesak. Israel bertujuan untuk memusnahkan Hamas dan mengatakan bahwa mereka tidak akan menyetujui kesepakatan apa pun yang membuat Hamas tetap berkuasa.

Netanyahu mengatakan bahwa Gaza harus didemiliterisasi dan berada di bawah kendali keamanan penuh Israel. Dia mengatakan bahwa dia tidak ingin Israel memerintah Gaza atau membangun kembali pemukiman di sana.

Hamas mengatakan bahwa mereka berharap untuk bertahan dan mengatakan bahwa setiap kesepakatan yang mengecualikan Gaza adalah sebuah ilusi. Dan kini, parlemen Israel sepakat untuk menolak Negara Palestina.[

Comment