Penulis: Dr. M. Imam Syamsi Ali, Lc., M.A., Ph.D | Direktur Jamaica Muslim Center, New York, Amerika Serikat
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Ketika umat telah terkonsolidasi secara internal secara baik, maka untuk selanjutnya Islam harus melakukan consolidarsi eksternal (dengan non Muslim). Apalagi dalam konteks masyarakat Madinah yang sangat plural, tidak saja dengan pluralitas agama dan keyakinan. Tapi kota ini sangat plural secara etnis dan suku. Di Madinah ketika itu, selain masyarakat Muslim, juga ada Yahudi, Kristen bahkan kelompok musyrik Arab. Ada dua suku Arab yang terkenal ketika itu; Suku ‘Aus dan suku Khazraj.
Madinah kemudian menjadi institusi kebangsaan bersama (negara). Dan karena Umat Islam adalah mayoritas maka secara otomatis juga secara konsensus Rasulullah diakui sebagai pemimpin bangsa (raja, sultan, presiden, atau apapun namanya) Madinah. Bagi umat Islam Muhammad SAW bukan hanya seorang nabi dan Rasul. Tapi juga pemimpin negara (Presiden atau raja) seperti yang disebutkan di atas.
Di sini kembali fathonah beliau dibuktikan. Bahwa dalam mengelolah masyarakat yang sangat ragam tentu sangat tidak mudah. Bahkan sesungguhnya sangat sensitif dan mudah membawa kepada konflik dan friksi. Oleh karena itu diperlukan pengelolaan yang elegan, inklusif dan merangkul semua pihak.
Hal yang terpenting dan mendasar dalam kehidupan bernegara dan berbangsa adalah adanya sebuah acuan kehidupan publik bersama. Acuan kehidupan publik inilah yang akan menjadi pegangan bagi semua penduduk atau warga negara dengan semua latar belakang yang ada. Acuan bersama itulah yang disebut Konstitusi negara. Maka Rasulullah kemudian menginisiasi pembentukan Konstitusi negara Madinah. Konstitusi inilah yang dikenal sebagai Konstitusi sipil (civic constitution) pertama dalam sejarah manusia.
Selain keunikan butir-butir Konstitusi itu, juga menjadi unik karena prosesnya yang sangat elegan dan inklusif. Rasulullah yang bukan sekedar raja atau Presiden (pemimpin negara) tapi juga nabi dan rasul (pemimpin agama) tidak serta merta memutuskan segala hal dengan sendirinya.
Dalam proses pembuatan Konstitusi itu Rasulullah SAW melibatkan semua segmen masyarakat; Yahudi, Nasrani, bahkan kaum Arab musyrik dari kalangan Khazraj dan ‘Aus maupun lainnya.
Saya tidak bermaksud mengutipkan kandungan Konstitusi Madinah itu. Hanya saja perlu ingatkan sekali lagi bahwa Konstitusi Madinah yang disebut “Ahd Madinah” (Madinah Charter) itu barsifat sangat inklusif merangkul semua elemen masyarakat. Bahkan komunitas non Muslim, termasuk Yahudi dan Kristiani, di Konstitusi itu disebut sebagai “Ummah”.
Tentu pemahaman umat di sini adalah bangsa. Penyebutan masyarakat non Muslim sebagai umat dalam konteks negara memaknai inklusifitas dan itikad baik umat ini untuk merangkul semua Walau berbeda keyakinan.
Madinah memang menjadi unik sekaligus menjadi pusat pelatihan bagi umat ini dalam prosesnya menuju komunitas global. Diversitas atau keragaman penduduknya menjadi “test case” bagi Rasulullah untuk membuktikan dirinya sebagai “rahmatan lil-alamin”. Bahwa kehadirannya membawa Islam merupakan keberkahan sekaligus dengan kepemimpinan yang benar dan baik bagi seluruh manusia.
Terbentuknya negara Madinah dengan Konstitusi yang solid sekaligus membuktikan “khaeriyah Ummah” (the excellent / best nation) yang dihadirkan sebagai keberkahan bagi seluruh semesta alam. Identitas terbaik dan ciri “wasathiyah” ternampakkan dengan Konstitusi negara yang inklusif itu.
Jika kita melihat dari dekat Konstitusi berbagai negara modern, termasuk Amerika, kita akan tercengang dengan Konstitusi Madinah itu. Bukan sekedar Karena inklusifitasnya. Tapi yang terpenting adalah karena melampaui realita masanya. Jika negara-negara Barat di abad 21 bangga dengan nilai-nilai Universal; kemuliaan manusia (human dignity), kebebasan, dan keadilan, sesungguhnya bagi Islam semua itu bukan hal baru.
Saya melihat bahwa terwujudnya sebuah Konstitusi negara yang melampaui realita zamannya yang primitif, terbelakang dan tidak mengabaikan nilai-nilai, menunjukkan bahwa Islam memang hadir dan dipersiapkan untuk menjadi jalan hidup yang beradab sejak itu hingga akhir zaman. Negara Madinah merupakan representasi Islam sebagai acuan hidup manusia yang Universal.
Dengan Konstitusi itulah penduduk Madinah dapat diukur baik buruknya. Rasulullah tidak memakai spesifik agama Islam sebagai ukuran baik-buruknya penduduk Madinah.
Walaupun sesungguhnya baik secara Islam pastinya baik sebagai penduduk (citizen). Dan harapannya baik sebagai penduduk (citizen) juga akan baik secara agama. Hal itu dilakukan agar mereka yang tidak beragama Islam tidak merasa dipaksa untuk mengukur diri dengan ajaran yang tidak diyakininya.
Saya hanya ingin mengatakan bahwa hal ketiga yang dilakukan Rasulullah untuk mewujudkan masyarakat Islam madani adalah membentuk acuan kehidupan publik yang inklusif bagi seluruh warga atau penduduk Madinah. Dengan Konstitusi ini Madinah resmi menjadi negara yang menjadi tempat bagi semua secara merata tanpa diskriminasi. Sekaligus sebagai realisasi “imaamah” (kepemimpinan) Rasulullah untuk semua, baik untuk mereka yang mengimaninya maupun yang menolak mengimaninya. Dan mereka semua diperlakukan sama di hadapan Konstitusi.
Pengambilan hukum di kemudian hari bagi semua warga juga berdasarkan Konstitusi yang disepakati. Bukan berdasarkan spesifik agama, termasuk agama Islam. Hukum-hukum agama diperlakukan justeru untuk masing-masing pemeluknya. Al-Qur’an bahkan tegas menyerukan kepada kaum Yahudi untuk menjadikan Taurat sebagai hukum dalam beragama. Demikian pula agar umat Kristiani menjadikan injil sebagaj acuan hukum dalam beragama.
Di sinilah “keadilan” Islam dan Kepemimpinan Rasulullah yang rahmah bagi semua. Dan dengan ini pula Islam dihadirkan untuk mewujudkan “khaer Ummah” dan “ummatan wasatha” untuk seluruh manusia. Bahwa sebagai umat terbaik dan pertengahan, umat ini harus selalu berada pada posisi “imamah lil-Muttaqin” atau Kepemimpinan yang bernilai ketakwaan dan kebaikan untuk semua.
Itulah yang dibuktikan oleh Rasulullah di Madinah. Dalam waktu kurang lebih 10 tahun atau sekitar dua periode kepresidenan di Indonesia beliau mampu mentransform Madinah dari sebuah tempat yang penuh kebiadaban; perang, pernudakan, dan ragam kejahatan, menjadi negara Madinah (civilized) dan egalitar pertama dalam sejarah manusia. (Bersambung).
Comment