Penulis: Ratni Kartini | Pegiat Literasi
RADARINDONESIANEE.COM, JAKARTA– Salasatu lagu Bang Haji Rhoma Irama dengan judul ‘Judi’ sangat tepat menggambarkan bagaimana dampak sosial si masyarakat.
Judi (judi)
Menjanjikan kemenangan
Judi (judi)
Menjanjikan kekayaan
Bohong (bohong)
Kalaupun kau menang
Itu awal dari kekalahan
Bohong (bohong)
Kalaupun kau kaya
Itu awal dari kemiskinan
Syair lagu tersebut memang benar adanya. Judi hanya menjanjikan kemenangan dan kekayaan, namun kenyataannya membawa kesengsaraan dan kemiskinan.
Dulu, ada namanya Sumbangan Dermawan Sosial Berhadiah atau SDSB yang tenar dan digandrungi masyarakat Indonesia pasa era 90-an. SDSB adalah sebuah judi lotre yang dilegalkan pemerintah di zaman Soeharto.
Seiring dengan kemajuan teknologi dan informasi, judi pun mengalami transformasi. Judi dapat dilakukan secara online dengan mengakses situs-situs judol (judi online) ataupun aplikasi yang bisa didownload dengan mudah.
Indonesia kini darurat judi online. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Drone Emprit, sistem monitor analisis media sosial, menunjukkan bahwa jumlah pemain judi online Indonesia menempati posisi teratas dunia.
Pada laporan tersebut, Indonesia mencapai transaksi sebanyak 81 triliun dengan jumlah 201.122 pemain judi. Akan tetapi, angka tersebut diyakini dapat melebihi jumlah survei yang ada (kumparan, 01/05/2024).
Terbukti di bulan berikutnya, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengungkapkan ada sekitar 3,2 juta warga Indonesia yang bermain judi online. Pemain judi online ini ada pelajar hingga ibu
rumah tangga. (detik,15/6/2024).
Upaya pemberantasan judi online pun dilakukan oleh Pemerintah. Joko Widodo pada Jumat (14/6/2024) telah meresmikan Satgas Pemberantasan Perjudian Daring. Pemberantasan judol oleh satgas ini dengan mengandalkan dua cara.
Pertama, upaya pencegahan yang dilakukan lewat jalur edukasi dan literasi untuk mencerdaskan masyarakat agar mengurangi permintaan judi online.
Kedua, penindakan yaitu dengan menurunkan (take down) situs judi online maupun situs yang menampilkan judi online (cnbcindonesia,15/06/2024).
Adanya pembentukan satgas judol menunjukkan adanya kesadaran pemerintah akan bahaya dan kerusakan judi online. Namun sayang, cara pandang atas persoalan ini dan solusi yang ditempuh tidaklah menyentuh akar permasalahan.
Judol tidak akan berhenti hanya sekadar menurunkan situs judol saja. Jika ditelisik, banyak faktor yang menjadi pendorong orang tergiur judi online, diantaranya adalah adanya tekanan kemiskinan, gaya hidup, dan kondisi sosial kultural.
Saat ini judi menjadi pengharapan dalam upaya meningkatkan penghasilan tanpa perlu kerja keras. Apalagi di tengah himpitan kehidupan dan sulitnya lapangan pekerjaan. Padahal, dampak buruk dari judol sendiri sudah tampak nyata. Depresi, stres, hingga bunuh diri dilakukan akibat kalah berjudi.
Dalam kehidupan berbasis sistem kapitalisme sekuler, perjudian dianggap legal karena mendatangkan keuntungan. Bagi siapa? Tentu saja keuntungan bagi bandar pemilik bisnis perjudian tersebut dan pemain yang menang, serta keuntungan bagi negara dari pajak hasil judol. Sedangkan yang buntung lagi-lagi masyarakat kecil.
Lain halnya, dengan Islam. Sistem Ilahi ini memiliki mekanisme untuk mengatasi maraknya perjudian di tengah masyarakat.
Pertama, menanamkan fondasi keimanan kepada masyarakat bahwa judi termasuk perbuatan yang dilarang oleh agama. Syariat Islam telah mengharamkan judi secara mutlak tanpa tanpa pengecualian.
Allah Swt. berfirman dalam Surat al Maidah ayat 90 bahwa judi adalah najis (kotor), ia termasuk perbuatan setan. Oleh karena itu, Allah Swt. memerintahkan kaum muslim untuk menjauhi semua perbuatan tersebut agar mendapatkan keberuntungan.
Kedua, penegakan sistem sanksi yang tegas bagi pelaku judi. Allah Swt. telah mewajibkan negara untuk menegakkan sanksi pidana (uqubat) terhadap para pelakunya. Mereka adalah bandarnya, pemainnya, pembuat programnya, penyedia servernya, mereka yang mempromosikannya dan siapa saja yang terlibat di dalamnya. Sanksi bagi mereka berupa ta’zir, yakni jenis sanksi yang diserahkan keputusannya kepada khalifah atau kepada qadhi (hakim).
Syekh Abdurrahman al-Maliki di dalam Nizham al-’Uqubat fî Al-Islam menjelaskan bahwa kadar sanksi yang dijatuhkan disesuaikan dengan tingkat kejahatannya. Atas tindak kejahatan atau dosa besar maka sanksinya harus lebih berat agar tujuan preventif dari sanksi ini tercapai. Beliau juga menjelaskan bahwa khalifah atau qadhi memiliki otoritas menetapkan kadar ta’zir ini.
Oleh karena itu, pelaku kejahatan perjudian yang menciptakan kerusakan begitu dahsyat layak dijatuhi hukuman berat seperti dicambuk, dipenjara, bahkan dihukum mati.
Ketiga, adanya jaminan negara atas kehidupan rakyatnya terutama dalam hal ekonomi, yaitu tersedianya lapangan pekerjaan yang luas. Sehingga para kepala keluarga dapat bekerja untuk memenuhi kehidupan makannya sehari-hari. Mereka didorong untuk mencari nafkah yang halal, tidak bermalas-malasan, apalagi mengundi nasib lewat perjudian. Sedangkan untuk kebutuhan pendidikan dan kesehatan, negara telah menyediakannya secara cuma-cuma.
Dengan perlindungan hidup yang paripurna dalam syariat Islam, maka kecil peluang rakyat terjerumus ke dalam perjudian. Semua ini hanya bisa terwujud dalam kehidupan yang ditata dengan syariat Islam, bukan dalam sistem kehidupan kapitalistik seperti saat ini.
Dengan Islam, berbagai bisnis kotor, seperti perjudian, terus menjamur akan bisa dihentikan sampai ke akar. Wallahu a’lam bishawab.[]
Comment