Penulis: Sania Nabila Afifah | Komunitas Muslimah Rindu Jannah
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Biaya hidup sudah melangit, biaya kesehatan pun naik dan disusul kenaikan biaya pendidikan.
Mirisnya di bulan Mei yang identik dengan peringatan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) ini banyak sekali muncul gelombang protes terhadap dunia pendidikan terkhusus Perguruan Tinggi.
Protes ini terkait semakin mahalnya biaya Uang Kuliah Tunggal (UKT). Di tengah memanasnya mahasiswa dengan kebijakan ini muncul pernyataan dari pihak pemerintah yang disampaikan oleh Sekretaris Direktoral jendral Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi Kemendikbudristek Tjitjik Sri Tjahjandarie.
Tjitjik menyebut kuliah harus dipenuhi oleh mahasiswa agar penyelenggaraan pendidikan itu memenuhi standar mutu. Tjitjik menyebutkan pendidikan tinggi di Indonesia belum bisa gratis seperti negara lain. Sebab, bantuan Operasional Perguruan Tinggi Negeri (BOPTN) belum bisa menutup semua kebutuhan operasional.
Terkait banyaknya protes soal UKT, Tjitjik menyebut pendidikan tinggi merupakan pendidikan tersier atau pilihan yang tidak masuk dalam wajib 12 tahun. Pendidikan wajib di Indonesia saat ini hanya 12 tahun yakni SD, SMP hingga SMA. (CNNIndonesia.com, 16/5/2024)
Namun, pernyataan itu seperti kontraproduktif dengan statement Presiden Joko Widodo sebelumnya. Presiden pada Januari 2024 lalu justru mengaku kaget ketika mengetahui rasio penduduk di Indonesia masih sangat rendah yakni di angka 0.45 persen.
Bahkan Indonesia tercatat masih kalah dengan negara tetangga seperti Vietnam dan Malaysia. Sedangkan di negara-negara maju sendiri angka rasionya sudah mencapai 9.8 persen. Data yang lebih mengenaskan ada di tingkat perguruan tinggi. Berdasarkan data BPS pada Maret 2023, hanya ada 10,15 persen penduduk Indonesia usia 15 tahun ke atas yang sudah mendapatkan pendidikan sampai jenjang perguruan tinggi. (RepublikaNews.com, 17/5/2024)
Kapitalisasi Pendidikan
Sulitnya menggratiskan biaya pendidikan tinggi saat ini dikarenakan paradigma kapitalis liberal yang diterapkan di tengah masyarakat saat ini, tak terkecuali dengan dunia pendidikan.
Paradigma yang lahir atas dasar pemisahan agama dari kehidupan dengan standar materi (keuntungan) dalam kehidupan ini, apa pun dinilai dari azas manfaat dan untung-rugi. Wajar dalam lini kehidupan apa pun akan dijadikan ladang bisnis oleh paradigma kapitalis-liberal.
Hal ini pun menyasar dalam dunia pendidikan sehingga kebijakan pendidikan lebih cenderung pada kepentingan pasar industri. Pendidikan menjadi produk pasar yang dapat ditransaksikan dan untuk hal demikian negara tidak akan mungkin mau rugi. Rakyat diposisikan sebagai konsumen yang harus membayar dengan harga tertentu jika ingin mengakses pendidikan tersebut.
Pendidikan menjadi komoditas bisnis sehingga wajar biaya pendidikan makin hari makin menjulang tinggi dan wajar pemerintah kemudian mengatakan sebagai kebutuhan tersier. Bagi yang mampu silakan untuk lanjut pendidikan hingga jenjang Pendidikan Tinggi dan jika tidak, maka tidak usah dipaksakan (pilihan).
Tuntutlah ilmu setinggi mungkin. Bunyi Pepatah yang sering menjadi motivasi anak bangsa untuk belajar. Namun sayang, belajar hari ini hanya menjadi jargon semata. Sebab pendidikan tidak lagi menjadi kebutuhan primer. UU Permendikbud Ristek nomor 2 tahun 2024 menuai protes dari berbagai daerah karena dianggap sebagai biang keladi mahalnya pendidikan.
Menurut Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji, hal tersebut terjadi karena biaya yang mahal. Apalagi ditambah dengan pemerintah menganggap Pendidikan Tinggi sebagai kebutuhan tersier. Hal ini menurutnya telah melukai perasaan masyarakat dan menciutkan mimpi anak bangsa untuk bisa duduk di bangku kuliah. Menurut, Ubaid meletakkan pendidikan tinggi sebagai kebutuhan tersier adalah salah besar. (MediaIndonesia.com, 17/5/2024)
Dalam sistem kapitalisme sekular liberal manusia diberi kewenangan untuk membuat aturan sendiri terkait dengan masalah kehidupan termasuk masalah pendidikan.
Dampak dari UU Permendikbud Ristek nomor 2 Th 2024 tersebut – menurut pengamat pendidikan dari Universitas Negeri Semarang, Edi Subkhan, saat ini perguruan tinggi berlomba-lomba berubah status menjadi perguruan tinggi terbaik dengan iming-iming otonomi keuangan kampus. (Tempo, 27/05/2024)
Hal tersebut sesuai dengan paradigma penguasa yang bermental kapitalistik. Kebebasan dalam membuat dan mengubah hukum sesuai dengan kepentingan mereka membuat kisruh dunia pendidikan. Sehingga bisa dikatakan itu adalah bentuk lepas tangan penguasa sebagai penyelenggara pendidikan.
Pendidikan saat ini bukan menjadi kebutuhan primer namun berubah menjadi kebutuhan tersier. Bagi yang mampu secara finansial bisa melanjutkan ke sekolah tinggi dan yang tidak mampu terpaksa gigit jari. Penguasa dalam sistem kapitalis sekuler seakan menjadi pedangang dan rakyat sebagai pembeli.
Kenaikan UKT ini juga tidak sesuai dengan program pemerintah yakni mencetak generasi emas. Mungkinkah bisa mewujudkan program tersebut apabila masyarakat tidak bisa mengenyam pendidikan tinggi?
Baru- baru ini pula pemerintah mengagalkan kenaikan UKT akibat protes yang sangat masif dari semua elemen masyarakat. Namun, pastinya tahun depan masyarakat siap-siap untuk menyambutnya. Atau mungkin kebijakan ini hanya sekedar meredam protes dari masyarakat dan terkesan kritikan mereka seolah-olah didengar oleh penguasa.
Pendidikan adalah kebutuhan dasar bagi setiap warga negara yang harus dipenuhi oleh negara. Negara wajib menjamin biaya, sarana dan prasarananya sekaligus menyedikan tenaga pengajar yang kompeten dengan gaji yang besar.
Dalam Islam untuk menyediakan pendidikan tidaklah sulit, sebab negara mengambil biaya untuk pendidikan dari baitul mal yang sumber pemasukan utamanya adalah dari pengelolaan sumber daya alam.
Dari sinilah tidak akan ada warga negara yang kesulitan dalam membiyayai pendidikan, sebab dalam Islam dijamin pemenuhannya. Negara membuka seluas-luasnya kepada masyarakat pintu untuk mengakses pendidikan. Baik yang kaya maupun miskin semua mendapatkan jaminan pendidikan.
Hal ini berdasarkan sabda Nabi Saw “Imam (khalifah) bagaikan pengembala dan dialah yang bertanggung jawab atas gembala itu” (HR. Muslim)
Semua dilakukan oleh negara berdasarkan keimanan kepada Alla SWT. Bukan sebatas untuk mendapatkan manfaat serta menguntungkan pihak lain bahkan sampai-sampai berbuat zalim karena telah menaikkan biaya pendidikan.
Negara sebagai penanggung jawab akan terus mengawal jalannya pendidikan. Mengontrol setiap lembaga pendidikan demi mewujudkan intelektual baru yang akan menggantikan estafet kehidupan ini.
Hanya Islam sajalah yang akan mewujudkan pendidikan gratis dengan sarana dan prasarana yang lengkap. Tidak ada jalan lain kecuali berusaha mewujudkannya. Wallahu a’lam bisshowab.[]
Comment