Penulis: Ina Agustiani, S.Pd | Pegiat Literasi, Praktisi Pendidikan
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Sebuah ironi di tengah kekayaan alam yang terlalu banyak pilihan, tapi tak ada yang bisa dirasakan oleh setiap insan. Pembangunan makin megah, jalan tol makin lancar, tapi harga bahan pokok dan sehari-hari makin sulit. Pikiran liar sulit dikendalikan, sebenarnya untuk apa kemegahan kota ini? Karena tak ada yang bisa dinikmati selain melihat dari kejauhan.
Jalan tol memang dibutuhkan oleh sebuah kota apalagi yang menanjak besar, metropolitan, kota impian banyak orang yang bertaruh mimpi kesuksesan di sana. Maka untuk semakin memperkuat posisi sebuah kota, Provinsi Jabar menjadi yang terdepan dalam perubahan di era baru. Banyaknya pengguna mobil dan untuk mengurai kemacetan menjadi alasan logis dibangun jalan tol, selain tempat meyakinkan investor dengan jalan yang cepat.
Seperti pada 4 Agustus 2023 lalu, Jokowi meresmikan sebuah ruas tol sesi 2 Cigombong-Cibadak yang merupakan bagian dari jalan tol Ciawi-Sukabumi dan menghabiskan Rp3,2 triliun. Perjalanan yang biasa ditempuh 5-6 jam dipangkas menjadi 2,5 jam, sepanjang 11,9 km telah siap dioperasikan.
Selanjutnya di sesi yang lain masih ada progres tol lagi di antaranya Sesi 3 Cibadak- Sukabumi Barat sepanjang 13,07 km masih menunggu pembebasan lahan 86%, bagian timur di 9,9%. Ruas tol ini terhubung dengan wilayah Bogor yaitu ruas tol Jagorawi.
Diharapkan juga ruas tol baru ini mempermudah akses ke kawasan wisata Pelabuhan Ratu, Ujung Genteng hingga Geopark Ciletuh. Terkhusus meningkatkan ekonomi masyarakat di sekitar itu mulai dari sektor industri, barang, dan jasa.
Pertaruhan Anggaran
Jika diamati, pembangunan era rezim saat ini tak pernah tanggung, hampir semua mega proyek. Selama tujuh tahun telah dibangun jalan tol dengan panjang 1.900 km dan selalu bertambah. Capaian ini dibandingkan dengan yang sebelumnya selama 40 tahun hanya dibangun 780 km.
Pembiayaan adalah faktor penting infrastruktur apakah jadi cepat atau lambat, padahal ini sangat penting dalam sebuah negara untuk meningkatkan daya saing dan kompetisi dengan negara lain.
Tetapi apakah dana untuk pembangunan besar ini ada? Apakah cukup dari APBN? Tentu saja tidak. Maka dibentuklah Sovereign Wealth Fund (SWF) badan milik negara yang tugasnya mengelola dana investasi.
Ini telah dimuat dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 73 Tahun 2020 tentang Modal Awal Lembaga Pengelola Investasi dan Peraturan Pemerintah No. 74 Tahun 2020 tentang Lembaga Pengelola Investasi (LPI). Ini merupakan turunan UU Omnibus Law Ciptaker dan Keputusan Presiden (Kepres) yang belum lama disahkan pemerintah.
SWF sendiri adalah alternatif pembiayaan pembangunan nasional yang menyertakan modal asing, ini sangat berisiko. Karena investasi bisa disalahgunakan sebagai alat intervensi negara maju terhadap negara miskin atau berkembang hingga menjadi semakin tidak punya posisi di negeri sendiri dan sulit mandiri.
Selain karena setengahnya dari APBN, maka beban pajak yang dibebankan ke masyarakat makin besar, imbasnya ke kebutuhan pokok. Jadi untuk siapa pembangunan ini?
Realitanya yang menikmati jalan tol hanya sebagian kecil rakyat, dengan beban tarif tol dan BBM mahal dan terus naik.
Jika ingin pembangunan merata, mengapa tidak diperbaiki dulu jalan-jalan penghubung antar desa yang hampir rusak, sekolah reyot yang mau rubuh, jaringan listrik, air dan internet yang tidak merata di desa dan di kota, pedalaman nan terpencil. Mengapa hanya berfokus di sentra ekonomi saja?
Inilah pembangunan ala kapitalis, pembangunan yang tidak berorientasi pada kemaslahatan rakyat tapi pada pengusaha sebagai pemilik modal. Sedangkan yang dibutuhkan rakyat namun tidak bernilai ekonomi, tidak jadi prioritas.
SWF hanya fokus pada akumulasi permodalan dan perputaran uang, maka investasi asing yang riskan terhadap intervensi bagi negara debitor disambut baik sebagai penyelamat.
Padahal UU Omnibus Law, UU Agraria, Minerba masih perlu ditinjau kembali sehingga dapat menciptakan kesempatan yang lebih luas bagi kesejehteraan anak bangsa yang mengundi nasib di negeri sendiri.
Negara tidak dibenarkan bersekutu dengan pengusaha dengan meninggalkan kesejahteraan rakyat.
Manfaatkan SDA yang melimpah ruah untuk kesejateraan rakyat, bukan dibabat habis tak tersisa oleh para pengusaha.
Skema Pembangunan Khas Islam
Islam dibangun dengan pandangan khusus dan mendasar, bahwa kedudukan manusia di dunia adalah untuk beribadah pada Allah, semua ada pertanggung – jawabannya. Terkhusus pemimpin – layaknya penggembala, mengatur rakyat dan tidak boleh mengambil kebijakan dengan standar materi, wajib menjadikan hukum syara’ sebagai poros kebijakan. Karena setiap kebijakan berkonsekuensi pada surga atau neraka.
Dalam konsep islam, jalan adalah kebutuhan warga yang harus dipenuhi negara, impian jalan lancar, mudah dilewati, aman, kemudian dibangun atas dasar kemudahan dan keperluan rakyat, tidak boleh ditarik pembiayaan atas manfaatnya.
Dalam Islam investasi diatur dengan akad kerja yang sesuai standar syara’ bukan yang lain. Maka pembiayaan pembangunan fasilitas negara itu diambil dari pos Baitul Maal, pengelolaan modal dari SDA dan pemasukan lain seperti fai, kharaj, ghanimah, jizyah, sedekah dan lainnya.
Tanpa investasi, negara dalam konsep islam sudah berdaya dari banyak pos dan ini membuat mandiri – tidak dapat diintervensi oleh negara lain. Negara pun bisa berkonsentrasi mengurus kebutuhan rakyat, apalagi yang akan dikelola tanpa berhutang pada siapapun.
Stabilitas harga tercipta, pembangunan semakin menyala, rakyat sejahtera dan keberkahan pun akan menyelimuti seluruh warga negara. Wallahu A’lam.[]
Comment