Penulis: Rizka Adiatmadja | Praktisi Homeschooling
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Kasus filisida semakin merajalela dan tentunya membuat kita tak habis pikir, mengapa kondisi tersebut terus terjadi dan tak menemukan titik solusi?
Filisida mungkin terdengar sebagai istilah baru. Kata ini berasal dari bahasa Latin filius dan filia (putra dan putri) dan ditambahkan sufiks -sida, yang berarti membunuh, atau menyebabkan kematian. Arti resmi dalam KBBI adalah pembunuhan terhadap anak sendiri.
Ya, ibu yang tega membunuh buah hatinya bukan lagi peristiwa langka. Berbagai media memberitakannya, terlebih di era digital ini informasi apa pun tidak akan sulit ditemukan dan dicari. Maka, kita akan dibuat merinding menyaksikan kenyataan yang memang bukan kisah fiksi. Ibu sang pemilik rahim yang dianugerahi karakteristik penyayang dan pecinta berubah beringas menjadi pembunuh yang membabi buta.
Dikutip dari KumparanNEWS – R (38 tahun) seorang ibu di Kabupaten Belitung, Bangka belitung, tega membunuh bayinya yang beberapa saat ia lahirkan. Ia membunuh dengan cara menenggelamkan sang bayi di ember. Perempuan yang kesehariannya sebagai buruh ini mengakui, setelah menenggelamkan bayinya kemudian ia membuang ke semak-semak.
Alasan ia membunuh dikarenakan tidak menginginkan kehadiran bayi tersebut, terlebih tidak cukup biaya untuk membesarkannya. Akibat perbuatannya, R dijerat Pasal 338 KUHP atau Pasal 305 KUHP Jo Pasal 306 Ayat 2 KUHP atau Pasal 308 KUHP.
Lagi dan lagi problematika ekonomi menjadi biang keladi. Nurani mati dan naluri keibuan berubah beringas dan keji. Padahal setiap manusia yang Allah berikan napas kehidupan, tentu sepaket dengan rezeki untuk memenuhi setiap kebutuhan. Entah ke mana terbangnya keyakinan tinggi terhadap kebesaran Ilahi sebagai Sang Pemberi Rezeki?
Semua bukanlah tanpa sebab, pun tak hanya karena masalah remah yang menciptakan musabab. Menjadi peristiwa yang lumrah terjadi, filisida menjangkiti orang tua yang sudah gelap mata karena beban ekonomi yang menggurita.
Kemiskinan struktural membuat mental manusia berada di titik terendah, terlebih pemahaman sekularisme yang semakin menebal membuat keimanan menjadi dangkal. Tak lagi takut membunuh, tak lagi meyakini bahwa setiap masalah selalu ada jalan keluar. Tak lagi percaya jika Tuhan benar-benar ada dan tak akan membiarkan manusia tenggelam dalam kubangan permasalahan.
Beban hidup yang membuncah, si ibu yang dipaksa keadaan harus mencari nafkah, jiwa dan raga dihantam lelah, sehingga lenyapnya fitrah agung itu bukan lagi menjadi hal yang sulit karena derita benar-benar mengimpit.
Ia yang bernama perempuan, si tulang rusuk yang sejatinya penuh perasaan dan kelemahlembutan, dipaksa keadaan menerima berbagai peran kehidupan. Tentulah ia akan ambruk dan terpuruk. Benar kata pepatah, ibu ibarat ladang dan anak tanaman, jika ladangnya kering dan kerontang, tentulah tanaman pun meranggas dan akhirnya terbuang.
Wajar saja jika generasi hari ini rusak tak terkira karena sang ibu yang sejatinya menjadi sekolah pertama sudah berubah kiprah di ranah pencari nafkah. Seperti mesin, dieksploitasi untuk memenuhi target perekonomian kapitalisme, jiwanya dirundung kesepian dan beban, raga yang ringkih dituntut menanggung hal yang tak seharusnya. Maka, berubahlah ia menjadi monster peradaban, pelaku filisida terbanyak dibanding ayah.
Sekularisme menjauhkan agama dari mengurusi urusan hidup sehingga membentuk manusia tak memahami urgensi takwa maka depresi menyerang tak terkira. Begitu pun perekonomian kapitalisme yang menciptakan kemiskinan sistemis, membuat jurang nyata antara si kaya dan si miskin, regulasi harta yang tidak adil, kesejahteraan yang tidak ada jejaknya di antara SDA yang melimpah.
Lantas bagaimana mengembalikan fitrah ibu dan segala keagungan peran tersebut? Adakah sistem yang benar-benar memuliakan seorang ibu bukan hanya sekadar wacana dan anomali peran?
Hanya Islam yang bisa membuat semua kembali tertata. Islam melindungi kaum perempuan dengan proporsional. Memberikan hak dan kewajiban secara adil. Bahkan muslimah tidak dibebankan mencari nafkah. Sebab, urusan nafkah adalah tanggung jawab laki-laki.
Istri atau ibu fokus merawat rumah, melayani suami, dan mendidik anak. Segala kebutuhannya harus terpenuhi agar peran agungnya di dalam rumah tetap paripurna. Bukankah parameter anak-anak yang tenang dan bahagia adalah ibunya yang bahagia pula?
Apakah Islam tidak membolehkan seorang ibu berkiprah? Tentu saja tidak begitu, seorang ibu bisa berkarier, tetapi tidak boleh menelantarkan kewajiban utamanya menaati suami dan mendidik buah hati. Bukan untuk menjadi sapi perah pencari nafkah. Hingga anak-anaknya direlakan mendapat pengganti ibu bayaran/pengasuh.
Islam akan menjaga kemuliaan dan peranan ibu. Sistem Islam yang akan mengukuhkan aturan tersebut. Dengan atmosfer kehidupan di ranah negara yang harus bercorak keimanan dan ketakwaan sehingga masyarakat pun menemukan teladan berpijak pada kebenaran aturan karena ditegakkannya Islam kafah. Di mana semua sendi kehidupan diatur oleh Islam.
Islam kafah akan menjaga keimanan bangsa, masyarakat, dan individu. Jika ada ketimpangan sedikit saja, masyarakat akan bergerak beramar makruf nahi mungkar, sehingga ruh yang terlahir dari lingkungan akan kondusif. Negaralah yang harus siap menjamin stabilitas ketakwaan umat.
Negara juga yang harus memprioritaskan lahan pekerjaan untuk kaum laki-laki agar kewajiban sebagai pencari nafkah terpenuhi. Sehingga tidak membebani istri. Negara pula yang harus membentuk laki-laki menjadi sejati sebagai pelindung hakiki. Pencari nafkah dan pemimpin di rumah.
Depresi tidak akan terjadi dan menyerang para ibu karena peranan laki-laki tidak dikebiri. Perempuan akan kukuh dalam kemuliannya jika aturannya sahih. Tidak akan terjerembap ke lubang kesengsaraan seperti hari ini. Jika tak punya suami pun, perempuan tetap harus dinafkahi wali. Sehingga tak akan ada istilah tulang rusuk menjadi tulang punggung.
Filisida tidak akan terjadi jika Islam menjadi kendali. Problematika ekonomi tak akan pernah sanggup mengubah seorang ibu menjadi pembunuh karena perekonomian Islam memberikan jaminan kesejahteraan.
Bahkan kemiskinan di sistem Islam tak akan ditemukan, jika pun ada tentu tak akan membuat manusia melupakan keimanan. Kesadaran tentang kaya dan miskin adalah ujian. Sehingga si kaya tak akan jemawa dan berderma lebih utama. Si miskin tak akan menjadi pengemis karena sadar sepenuhnya semua adalah ujian yang bisa meningkatkan nilai-nilai pahala dan menyuburkan kesabaran.
Dengan Islam, fitrah ibu dan ayah di keluarga akan kembali ke koridor yang seharusnya. Tanpa berebut peran, saling menyalahkan dan menimpakan beban, tetapi bersama-sama membentuk keluarga sejati dengan menjalankan peranan masing-masing dengan sepenuh ketakwaan. Wallahu ‘alam bissawab.[]
Comment