Demokrasi Sekuler dan Caleg Depresi

Berita, Opini429 Views

 

 

Penulis: Moni Mutia Liza, S.Pd | Pegiat Literasi Islam

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Atmosfer kegalauan dan kepanikan selalu terjadi di masa-masa panas menuju pemilihan calon legislatif. Kegundahan ini terjadi tidak lain karena caleg belum mengetahui jumlah akhir dari suara masyarakat yang memilihnya.

Sedangkan hartanya banyak yang sudah habis untuk kampanye baik secara langsung maupun lewat brosur dan baliho. Belum lagi hartanya habis untuk pendanaan tim sukses serta “serangan fajar” bagi-bagi uang bansos.

Namun sangat disayangkan, pembagian uang bantuan sosial itu diiringi dengan syarat harus memilih calon yang memberikan uang tersebut.

Dari berbagai upaya yang sungguh-sungguh, mustahil rasanya setiap calon legislatif tersebut menghabiskan hartanya beberapa juta saja, justru harta mereka terkuras puluhan juta bahkan ratusan juta untuk menyukseskan kampanye dan menarik hati masyarakat.

Bahkan liputan6.com (20/01/2024) menulis bahwa ada caleg yang rela menjual ginjalnya untuk biaya kampanye pemilu legislatif tahun 2024.

Hal ini beliau lakukan tidak lain karena biaya kampanye pemilu kali ini cukup mahal yaitu mencapai 300 juta per calon yang ingin meraih “kursi empuk” DPRD.

Wajar, dengan pengeluaran dana yang cukup besar mengakibatkan banyak munculnya caleg yang depresi bila tidak menang.

Bukan kabar baru bahwa setiap tahun rumah sakit jiwa menampung caleg depresi akibat gagal meraih posisi di DPRD. Bahkan sejumlah rumah sakit telah menyiapkan ruangan khusus untuk mengantisipasi calon legislatif yang mengalami gangguan jiwa serta menyediakan dokter spesialis jiwa khusus untuk caleg yang gagal menang di pemilu 2024.

Seperti rumah sakit Oto Iskandar Dinata, Bandung Jawa Barat yang menyediakan 10 ruangan VIP untuk persiapan pemilu yang ditujukan bagi caleg yang mengalami gangguan jiwa seperti gelisah, ketakutan, susah tidur, berhalusinasi, gemetar dan gangguan sejenisnya, (kompastv.com/24/11/2023).

Dari fenomena di atas kita dapati adanya ambisi yang kuat dari masing-masing calon legislatif untuk menang meskipun jalan yang ditempuh berbahaya untuk keselamatan dirinya bahkan tidak segan-segan menggunakan langkah-langkah kotor lagi licik agar menang di pemilu 2024.

Tidak ada yang salah dengan ambisi besar, yang salah adalah menempuh cara yang haram untuk meraih kemenangan.

Namun muncul pertanyaan di benak kita, mengapa mereka begitu berambisi bahkan rela menjual ginjalnya? Apakah benar untuk menjadi wakil rakyat dan melayani rakyat? Atau karena materi yang besar dan permainan proyek yang mampu memperkaya diri secara cepat?

Tampaknya masyarakat semakin pintar  melihat kondisi pemilu yang penuh janji-janji manis, sogokan, bahkan penipuan. Kondisi pemilu yang “sakit kronis” ini terjadi di berbagai belahan dunia tidak lain karena adanya peluang dan kebebasan. Siapa yang menciptakan peluang dan kebebasan yang rusak tersebut? jawabannya tidak lain karena sistem sekuler-demokrasi itu sendiri.

Pasalnya sekularisme ini tidak bersandar kepada halal dan haram. Asalkan tujuan dicapai, segala cara akan ditempuh. Dengan demikian sulit mendapatkan calon yang bersih, calon yang berpegang teguh pada syariat, calon yang amanah, calon yang tidak mau main curang, calon yang jujur.

Sangat sulit ditemukan calon demikian, mengingat cara-cara tidak terpuji yang ditempuh untuk menang. Ditambah sistem pendidikan yang jauh dari pembentukan karakter mulia. Generasi yang muncul saat ini merupakan hasil dari sistem pendidikan sekuler yang rapuh mental, jiwa yang mudah terganggu, dan berpikir cepat tanpa melihat proses benar atau salah, sesuai syariat atau justru bertentangan dengannya.

Namun berbeda dengan sistem Islam, setiap agenda seperti pemilu tidak memunculkan orang-orang yang depresi bilapun kalah dalam pemilihan. Menjadi pemimpin atau yang mewakili rakyat dalam islam adalah sebuah amanah yang memiliki tanggung jawab besar baik di dunia maupun di akhirat.

Amanah dalan islam harus dijalankan sesuai dengan perintah dan larangan Allah Azza wa Jalla. Selain itu sistem pendidikan Islam juga mengantarkan individu menjadi pribadi yang memahami bahwa kekuasaan itu hanya sebagai amanah dan beriman terhadap qadha yang telah ditetapkan Allah,  melahirkan individu yang taat kepada Allah dan bersyukur atas segala pemberian Allah.

Dengan demikian, calon yang ingin meraih kekuasaan terhindar dari gangguan jiwa. Wallahu’alam bishawab.[]

Comment