Konflik Agraria, Bara yang Tak Kunjung Padam

Opini214 Views

 

 

Penulis: Cika Kintan Maharani | Mahasantriwati Ma’had Cinta Quran Center

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA–  Konflik lahan antara masyarakat, investor, pelaksana kegiatan proyek di bumi pertiwi bagai bara dalam sekam. Satu persatu masus bermunculan  kepermukaan.

Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) seperri ditulis CNN Indonesia, mengungkapkan telah terjadi 660 letusan konflik agraria di Indonesia, terhitung sejak 2020 hingga 2023 ini. Rinciannya, sebanyak 241 konflik terjadi pada 2020, lalu 207 konflik di antaranya terjadi pada 2021 dan 212 konflik lainnya terjadi pada 2022.

Laporan tersebut mengatakan sepanjang 2023 setidaknya ada 241 kasus konflik agraria di Indonesia. Konflik tersebut melibatkan area seluas 638,2 ribu hektare, serta berdampak pada 135,6 ribu kepala keluarga (KK).

Databoks mensinyalir jumlah kasus konflik agraria pada 2023 meningkat dibanding 2022, meskipun luas area konfliknya berkurang seperti terlihat pada grafik. KPA mencatat, kasus konflik agraria pada 2023 banyak terkait sektor usaha perkebunan (108 kasus), bisnis properti (44 kasus), pertambangan (32 kasus), dan proyek infrastruktur (30 kasus).

Pemerintah dinilai belum serius menangani problem agraria. Akibatnya, konflik bermetamorfosis dan semakin kompleks. Kemampuan negara menyelesaikan konflik agraria dinilai tidak seimbang dengan letusan konflik yang muncul.

Pembiaran terhadap konflik terus berulang dan menjadi warisan turun-temurun dari setiap pemerintahan. Akibatnya, konflik berkembang dan bermetamorfosis menjadi lebih kompleks. Rempang misalnya, yang masih memanas hingga kini dan membekas di hati masyarakat. Muncul lagi konflik di Gorontalo yang berdampak terbakarnya kantor bupati. Ada juga ribuan massa aksi yang berasal dari masyarakat Nagari Air Bangis sebagaimana ditulis detik.com.

Tidak hanya itu, pada 11 Desember 2023, warga Desa Sukamulya menggelar aksi demonstrasi di Jakarta. Mereka menuntut Pemerintah Jokowi-Ma’ruf Amin untuk menyelesaikan konflik agraria di Desa Sukamulya.

Tuntutan-tuntutan ini seperti ditulis kompasmerdeka.com, merupakan bentuk perjuangan warga Desa Sukamulya untuk mendapatkan hak mereka atas tanah. Pemerintah diharapkan dapat segera menyelesaikan konflik agraria ini dan memberikan keadilan bagi warga Desa Sukamulya.

Sejumlah petani hingga anak-anak ditulis CNN Indonesia, menggelar aksi demonstrasi dalam rangka memperingati Hari Tani Nasional di Simpang BI dan Kantor DPRD Provinsi Jambi, Selasa (26/9).

Mereka melancarkan protes karena saat ini Jambi berada di posisi ke-3 dengan konflik agraria tertinggi di Republik Indonesia. Massa aksi juga membentangkan spanduk bertuliskan ‘Situasi Agraria di Jambi Dalam Bahaya’.

Banyaknya demo yang dilakukan oleh masyarkat di beberapa daerah dengan tuntutan yang sama – segera menyelesaikan konflik agraria, harus menjadi perhatian besar. Ketika pemerintah menggenjot pembangunan sejatinya tidak “menumbalkan” rakyat. Kalau bukan untuk rakyat, pertanyaannya, untuk siapa pembangunan itu?

Perspektif pembangunan ala kapitalisme lebih mementingkan pertumbuhan ekonomi dan derasnya investasi. Dua hal inilah yang menjadi takaran dan simbol keberhasilan pembangunan kapitalisme.

Dalam konsep kapitalisme, hal terpenting adalah berhasil membangun dan mendapatkan dana investor untuk membangun. Kapitalisme mengabaikan fakta bahwa pembangunan itu tidak selalu membawa kemaslahatan untuk rakyat.

Lebih dari itu, kapitalisne menutup mata bahwa pembangunan tersebut melanggar Undang undang. Undang undang yang dianggap menghambat pembangunan dan investasi justru akan dihapus dan diubah. Lahirnya UU Omnibus Law Cipta Kerja bisa menjadi indikasi hal itu.  Layaknya UU sapu jagat, Omnibus Lawa menghapus banyak pasal di UU yang sudah ada demi memuluskan investasi.

Penyebab Konflik Agraria

Peneliti Forum Analisis dan Kajian Kebijakan untuk Transparansi Anggaran (FAKKTA) Muhammad Ishak seperti ditulis Media Umat menyatakan, setidaknya ada tiga catatan penyebab konflik agraria di negeri ini.

Pertama, sistem administrasi pertanahan yang tumpang tindih sehingga kepastian hukum atas hak tanah sangat rendah.

Kedua, maraknya praktik korupsi dan penyalahgunaan jabatan dalam administrasi penetapan status hak tanah, baik hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, dan sebagainya.

Kondisi ini memunculkan praktik mafia pertanahan yang diduga melibatkan pejabat pertanahan, pemerintah, dan pengusaha.

Ketiga, penegakan hukum lemah terkait masalah pertanahan. Hal ini juga menjadi penyebab konflik agraria. Lalu lahirlah dampak turunan, yakni sertifikat ganda, penguasaan lahan secara sepihak oleh korporasi, serta penggusuran tanah-tanah rakyat yang dimiliki secara sah untuk kepentingan oligarki.

Dalam sistem demokrasi liberal, konflik agraria tumbuh subur bak jamur di musim hujan.

“Pelayanan” penguasa pada oligarki tampak pada pemberian hak guna usaha (HGU) yang sangat luas, bahkan mencakup hak masyarakat adat dan petani yang telah lebih dahulu berhak atas tanah tersebut.

Agraria dalam pandangan Islam

Sebagaimana yang dijelaskan dalam Kitab Dirasat Fi fikril Islamiy yang ditulis oleh Syaikh Muhammad Husain Abdullah. Kepemilikan harta dalam Islam pada prinsipnya adalah di tangan Allah, dengan anggapan bahwa Allah adalah pemilik segala sesuatu.  Allah SWT berfirman:

“Berikanlah kepada mereka sebahagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu” (TQS. An-Nur : 33).

Allah SWT sebagai pemilik hakiki sesungguhnya telah memberikan kepada manusia untuk menguasai, memperbanyak, serta memiliki harta.

Jenis-jenis kepemilikan dibagi tiga, yaitu kepemilikan individu, kepemilikan umum, dan kepemilikan negara. Kepemilikan umum yaitu ijin dari Asy-syar’i -Allah kepada jamaah (masyarakat) untuk secara bersama-sama memanfaatkan sesuatu. Kepemilikan umum ini dibagi menjadi tiga.

Pertama, segala sesuatu yang menjadi kebutuhan vital bagi masyarakat, yakni sesuatu yang sangat dibutuhkan bagi kehidupan masyarakat dan akan menyebabkan persengketaan tatkala ia lenyap; seperti air, padang rumput, dan api.

Juga termasuk dalam kepemilikan umum ini adalah setiap peralatan yang digunakan untuk mengelola fasilitas umum, demikian juga peralatan yang digunakan sebagi pembangkit listrik yang memanfaatkan air milik umum (PLTA).

Kedua, segala sesuatu yang secara alami tidak bisa dimanfaatkan hanya oleh individu secara perorangan, seperti jalan, sungai, laut, danau, masjid, sekolah-sekolah negeri, dan lapangan umum.

Ketiga, barang tambang dengan deposit tidak terbatas, yaitu barang tambang yang jumlahya sangat banyak. Apabila jumlahnya sedikit dan terbatas maka dapat saja menjadi kepemilikan individu.

Dalam Islam diatur mengenai kepemilikan tanah. Dalam kitab As-Siyasah al-iqhtishadiyah al-Mustla, Tanah dapat dimiliki dengan 6 cara, yaitu melalui jual beli, waris, hibah, ihya’ul mawat (menghidupkan tanah mati), tahjir (membuat batas pada tanah mati), iqtha’ (pemebrian negraa kepada rakyat). Selanjutnya tanah yang terlantar lebih dari tiga tahun akan ditarik kembali untuk diserahkan pada yang mampu mengelolanya.

Dengan konsep seperti ini, tidak akan pernah dijumpai tanah menganggur, tanah mati, tanah yang tidak produktif. Status kepemilikan tanah pun jelas. Islam mewajibkan negara menghormati dan melindungi kepemilikan individu dan melarang bersikap semena-mena apalagi dikuasai demi kepentingan investor dan asing.

Dengan demikian hak-hak rakyat terpenuhi dan dapat mencegah konflik tanah seperti yang terjadi saat ini. Wallahu a’lam bish-shawab.[]

Comment