RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– BERAPA garis pantai pesisir selatan Jawa panjangnya? Keindahan dan kelestarian lingkungan alamiahnya kini mulai dilirik investor guna investasikan duit berharap cuan atau keuntungan besar dalam pariwisata.
Tentu saja ada kelegaan dan harapan besar, kalau mengutip narasi rakyat biasa dalam beragam kumpulan, “E sopo ngerti, mengko ing mongso reja rejaning jaman, pesisir pantai selatan Jawa, dadi tujuan wisata utama,”
Meski di saat yang sama, ada rasa khawatir atas kondisi lingkungan, langkah pelestarian ekosistem pantai terganggu akibat adanya aktivitas pariwisata.
Seperti diketahui bersama, produksi sampah jadi problem kala ‘peak season’ puncak kunjungan wisatawan di akhir pekan, urusan sampah penting sekali segera direspon. Utamanya budaya kelola sampah sejak dari diri sendiri. Sampah plastik, terutama.
Mari sejenak merunut timeline kehidupan masyarakat pesisir selatan Jawa. Jangan terlalu kaget kala kemiskinan adalah wajah riil kehidupan warganya dari masa ke masa.
Satu titik penting pengembangan kawasan pesisir selatan Jawa yang memberikan harapan warganya adalah akses ke lokasi destinasi wisata semakin membaik. Tentu juga alasan pengembangan pansela (pantai selatan) ke depan bisa bawa kesejahteraan banyak dikerjakan multi years pendanaan.
Apa daya, dari masa ke masa komitmen pembangunan dan upaya peningkatan kesejahteraan dan kehidupan masyarakat di sepanjang pantai selatan Jawa ternyata berjalan begitu lambat. Entah kenapa bisa terjadi, padahal problem dan peta persoalan termasuk peta jalan pembangunan sudah ada.
Angin segar kebijakan pembangunan, termyata beririsan dengan beragam ancaman ekologi yang lebih dahulu hadir. Cerita kemiskinan masyarakat pesisir pantai selatan, diatasi sendiri oleh warganya dengan pergi jauh dari kampung halaman, ke kota-kota besar, ke benua lain menjadi pekerja informal, jadi tenaga kerja murah di luar negeri. Perlahan tapi pasti, mereka lalu membangun kampung nya dengan cara yang khas. Semampunya.
Hadirnya Undang-Undang Desa, sebenarnya bisa menjadi harapan bagi upaya mewujudkan kesejahteraan, memberantas kemiskinan yang melingkar dalam daur hidup masyarakat pesisir pantai Selatan Jawa. Hanya saja, yang jadi fokus urusan kesejahteraan dalam janji politik ternyata bagaimana nasib kepala desa dengan kewenangan yang dimiliki sesuai Undang-Undang, sampai “wong pusat” baik politisi hingga kepala negara masih jauh berikan kewenangan, bagaimana desa-desa di pesisir pantai mampu mandiri, berkembang perekonomian dan berdaulat hidupkan harapan kesejahteraan.
Gelontoran dana desa, lebih dipandang sebagai “kebaikan pemerintah pusat” yang memiliki kewenangan penuh bagikan “remah-remah rejeki secara eceran”. Masyarakat dan warga desa tidak ditempatkan sebagai pemilik sah kedaulatan desa, dengan ujungnya desa dipahami sebagai ruang romantis, asal-usul narasi besar berbingkai serba indah, serba minim polutan dan tempat kembali para perantau kerja (boro) ke berbagai daerah yang jauh.
Terkini, dengan segala iming-iming serba indah, luasnya ruang berwisata alam dan ruang investor paling menarik investasikan modal kekayaan ke desa desa pesisir, sambutan gegap gempita pesohor, selebriti dan orang-orang kaya yang kebingungan mencari lokasi baru untuk tanam uangnya, lagi-lagi arus besar keinginan menghabiskan waktu luang, lewat berwisata, bertumbuh bak cendawan di musim hujan.
Bagaimana dengan nasib warganya, nasib penduduk pesisir selatan Jawa yang sudah lama, merawat lingkungan, hidupi desa mereka yang serba minim fasilitas akan hidup ke depan?
Cerita besar soal aliran modal yang masuk, begitu derasnya aliran modal itu, semoga saja tak menghanyutkan kehidupan warga miskin desa, menambah kesenjangan perekonomian, kala desa-desa jadi lebih terang oleh listrik, jadi lebih banyak infrastruktur pariwisata dibangun (tidak untuk warga desa) lebih ramah bagi wisatanya, maka hanya “remah rejeki” saja yang bisa di akses.
Desa-desa di pesisir pantai selatan Jawa, mulai dari Banyuwangi, Jember, Malang, Blitar, Tulungagung, Trenggalek, Wonogiri, Gunungkidul, Bantul, Kulonprogo, Purworejo, hingga Cilacap, bisa saja sebagian di antaranya sudah lebih maju, setelah hadirnya infrastruktur besar, bahkan sebut saja bandara internasional. Hanya saja, lagi-lagi dengan segala keterbatasan yang ada, warga desa hanya jadi penonton besarnya arus wisata yang ada maupun adanya destinasi wisata buatan. Warga pesisir pantai selatan Jawa tentu punya harapan sama, hidup lebih sejahtera.
Kapan dan bagaimana caranya lebih sejahtera, rasanya sudah berhadapan dengan masa industri pariwisata pesisir yang dirancang dari jauh, dari pusat pusat kota dengan konsep cuan, untung besar dan semakin besar modal datang, semakin hilang harapan besar hidup lebih baik. Semakin besar ancaman ekologis yang harus dialami mereka yang hidup di pesisir.
Di akhir tahun 2023, bagi semua saja yang habiskan waktu menikmati saujana indahnya alam pesisir pantai. Ingat selalu, ada sebagian besar dari warga pesisir yang masih kesulitan, masih belum sejahtera. Jangan tambahi beban mereka dengan sampah-sampah mu sebagai wisatawan. Cukuplah tinggalkan kenangan indah dalam rekaman reels, foto foto selfie dan photo bersama.
Oh, iya coba saja berwisata lebih ramah lingkungan hidup dan dukung langkah para pelestari pesisir pantai selatan Jawa. Tanam mangrove, lepas liarkan tukik, tanam pohon kelapa di kawasan pesisir, dan ikutlah bersuara bagaimana mempercepat realisasi kebijakan pembangunan yang sebesar-besarnya untuk rakyat desa pesisir Jawa.
Oh, iya, urusan desa dan pembangunan nya, jadi jatah debat Cawapres nanti sih masih tahun depan, Minggu, 14 Pebruari 2024 dalam bingkai tema Pembangunan Berkelanjutan, Sumber Daya Alam, Lingkungan Hidup, Energi, Pangan, Agraria, Masyarakat Adat dan Desa.
Siap siap saja, meski wong ndeso, sebagai rakyat biasa berharap kedaulatan desa mewujud nyata, utamanya masyarakat pesisir selatan Jawa khususnya dan mereka yang hidup di pesisir nusantara secara umum bukan saja berposisi sebagai penonton semata, tapi benar-benar berdaulat.
*Penulis Much. Fatchurochman, budayawan dan penulis
Comment