Penulis: Devy Rikasari, S.Pd. | Komunitas Pena Dakwah Cikarang
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Sungguh nahas nasib A (11 tahun). Ia akhirnya meregang nyawa setelah dibanting ayahnya sebanyak dua kali. Pasalnya sepele, lantaran A bermain sepeda dan melindas anak tetangganya hingga terluka. Alih-alih menasihati A, sang ayah malah membantingnya hingga tewas. (liputan6.com, 14/12/2023)
Sebelumnya, penghuni Gang H. Roman RT 04 RW 03, Jagakarsa, Jakarta Selatan, Rabu sore, terganggu oleh aroma busuk yang sangat menyengat. Ternyata, aroma itu berasal dari rumah kontrakan yang dihuni pasangan suami istri berinisial P dan D beserta keempat anaknya. Empat anak P dan D ditemukan tewas, sementara P ditemukan dalam kondisi lemas dengan tangan terluka.
Istri P tidak di tempat karena sedang menjalani perawatan akibat KDRT yang dilakukan P. Dugaan sementara pihak kepolisian, aksi sadis itu dilakukan karena P cemburu kepada istrinya. (kompas.com, 12/12/2023)
Tidak lama dari kejadian tersebut, publik dihebohkan lagi dengan peristiwa tewasnya seorang guru SD beserta istri dan seorang anak perempuannya di kecamatan Pakis, Malang. Sementara satu anak lainnya selamat. Di TKP ditemukan sisa obat nyamuk cair dan pisau. Juga ada pesan tertulis di cermin meja rias kamar, yang merupakan wasiat untuk anak yang selamat. (cnnindonesia.com, 13/12/2023)
Membaca berita-berita di atas membuat kita mengurut dada, tak habis pikir bagaimana mungkin seorang ayah tega melakukan tindakan biadab terhadap keluarganya sendiri.
Apapun motifnya, baik itu karena ekonomi, cemburu, mental depresi, perilaku menghabisi nyawa orang lain terlebih nyawa istri dan anak sendiri tidak dapat dibenarkan. Namun, fakta-fakta serupa akan sangat banyak ditemukan di kanal berita tanah air.
Rupanya, Indonesia bukan hanya mengalami darurat fatherless, melainkan juga kehilangan sosok ayah sebagai qowwam dalam keluarga. Hilangnya qowwamah ini akibat diterapkannya sistem hidup yang sekuler, yang memisahkan agama dari kehidupan. Seorang ayah, bisa saja sangat rajin beribadah, akan tetapi temperamen dan sering berbuat kasar pada istri maupun anaknya.
Hal itu terjadi karena keimanan tidak memiliki dampak pada perilaku keseharian. Ibadah hanya dilakukan sebagai rutinitas, namun terasa hampa. Akibatnya, sedikit saja pemicu dapat membuat sang kepala keluarga kalut dan melampiaskan amarahnya pada anggota keluarganya sendiri.
Tak sedikit juga kejadian kekerasan dalam rumah tangga dilakukan oleh seorang ayah yang pemabuk atau pecandu narkoba.
Hal ini semakin membuktikan bahwa ketika Islam mengharamkan sesuatu pasti ada maksudnya. Khamr dan narkoba jelas-jelas dapat merusak fungsi akal. Namun, keberadaannya yang masih legal serta kurang tegasnya hukuman bagi para pecandu membuat barang haram ini masih beredar bebas.
Dari Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu, ia menyatakan, _“Jauhilah khamar (minuman keras), karena khamar itu merupakan induk segala keburukan (biang kerusakan)._
‘Utsman bercerita,
Dahulu kala ada seorang ahli ibadah yang disukai oleh seorang pelacur. Pelacur itu mengutus pembantunya untuk menyampaikan pesan, _“Kami mengundang engkau untuk suatu kesaksian.”_
Ahli ibadah itu pun mengikuti pembantu tersebut. Ketika dia sudah sampai dan masuk ke rumah sang pelacur, pelacur itu segera menutup rapat semua pintu rumahnya. Mata sang ahli ibadah tertuju ke tubuh pelacur yang sangat cantik itu. Dengan berpakaian seksi, ia membawa secawan khamr dan di dekatnya ada seorang bayi.
Pelacur itu berkata, “Demi Allah, aku tidak mengundangmu untuk sebuah kesaksian, tapi aku mengundangmu agar engkau bercinta denganku, atau engkau ikut minum khamr barang segelas bersamaku, atau engkau harus membunuh bayi ini. Kalau engkau menolaknya, maka saya akan menjerit dan berteriak, ada orang memasuki rumahku.
Akhirnya sang ahli ibadah bertekuk lutut dan dia berkata, _“Zina, saya tidak mau. Membunuh juga tidak.”_ Lalu ia memilih untuk meminum khamr seteguk demi seteguk hingga akhirnya ia mabuk. Dan setelah mabuk, hilanglah akal sehatnya hingga akhirnya ia berzina dengan pelacur tersebut dan membunuh bayi itu. Na’udzubillahi min dzalik.
Apa yang menimpa para ayah dalam peristiwa di atas menunjukkan betapa sangat berat memelihara diri dan keluarga dari api neraka. Padahal Allah SWT. telah memfirmankan hal ini jauh-jauh hari.
اَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا قُوْٓا اَنْفُسَكُمْ وَاَهْلِيْكُمْ نَارًا وَّقُوْدُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلٰۤىِٕكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَّا يَعْصُوْنَ اللّٰهَ مَآ اَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُوْنَ مَا يُؤْمَرُوْنَ .
“Wahai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu. Penjaganya adalah malaikat-malaikat yang kasar dan keras. Mereka tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang Dia perintahkan kepadanya dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan”.
Imam Ibnu Katsir menjelaskan makna menjaga diri dan keluarga dari api neraka adalah melakukan ketaatan kepada Allah dan menghindari kemaksiatan.
Senada dengan itu, Imam Qatadah menyatakan yang dimaksud menjaga keluarga dari api neraka adalah dengan memerintahkan mereka untuk bertaqwa kepada Allah dan melarang mereka bermaksiat kepada Allah, serta mengatur hidup mereka dengan syariat Allah.
Karena itu, peran ayah sebagai kepala keluarga, sebagai qowwam (pemimpin) dalam keluarga sangatlah berat. Bukan hanya memberi nafkah bagi anak dan istrinya, melainkan juga memastikan setiap anggota keluarga selalu dalam koridor syariat. Hal ini dilakukan dalam rangka menjaga diri dan keluarga dari api neraka.
Karena itu, alih-alih menyiksa istri atau anak, seyogyanya seorang ayah sibuk mendidik keluarganya agar memahami syariat dan berusaha menjalankannya secara maksimal.
Sayangnya, hal ini sangat sulit dilakukan di tengah gempuran sekulerisme hari ini. Sistem kehidupan yang sangat jauh dari Islam membuat para ayah hanya menjadi mesin ATM dan menjauhkan peran qawwamah.
Di sisi lain, keluarga muslim juga dihantam berbagai persoalan mulai dari beban ekonomi yang tinggi, jaminan kesejahteraan yang sangat rendah, bayang-bayang perselingkuhan dan kebobrokan lainnya. Berbagai fenomena ini tak ayal dapat memicu stres hingga depresi.
Karena itu, sudah saatnya kita bahu-membahu di dalam keluarga untuk mewujudkan firman Allah ini. Suami mendidik anggota keluarganya agar memahami Islam secara mendalam dan menyeluruh.
Selanjutnya, bersama-sama dengan keluarga muslim lain mewujudkan kehidupan yang Islami, dimana Islam diterapkan secara nyata dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Wallahu’alam bishawab.[]
Comment