Penyewaan Uang Sistematis dan Internasional

Opini247 Views

 

 

Penulis: Faridatus Sae | Aktivis Dakwah Kampus, Alumni S1 Universitas Airlangga

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Forum Bisnis Indonesia-Tiongkok di sela Belt and Road Forum (BRF) ke-3 pada 16 Oktober 2023 telah menghasilkan kesepakatan kerja sama.

Menteri BUMN Erick Thohir menyampaikan bahwa Forum Bisnis Indonesia-Tiongkok telah menghasilkan sebanyak 31 kesepakatan kerja sama bisnis sedikitnya mencapai Rp200 triliun lebih, bahkan masih ada potensi kerja sama hingga Rp455 triliun dengan Tiongkok.

Kesepakatan tersebut seperti ditulis indonesia.go.id (23/10/2023) mencakup berbagai bidang, antara lain infrastruktur, energi, manufaktur, serta pariwisata. Pertumbuhan investasi dari Tiongkok ke Indonesia jika ditilik dari tahun 2013, kurang lebih berada di angka USD280 juta, tetapi saat ini sudah mencapai angka USD8,6 miliar.

Dalam laman yang sama, disebutkan bahwa investasi Tiongkok di Indonesia memang terus meningkat setiap tahun. Investasi tersebut telah mendorong pengembangan industri dan kawasan ekonomi khusus di tanah air. Investasi Tiongkok di Indonesia pada semester satu 2023 ini sudah lebih dari USD3,8 miliar.

Karena itu, kerja sama BRI ini akan terus mendorong pengembangan-pengembangan industri maupun kawasan ekonomi, khususnya di wilayah Sumatra Utara, Kalimantan Utara, Sulawesi, dan Bali.

BRI (Belt and Road Initiative) Tiongkok merupakan salah satu kebijakan luar negeri dan ekonomi pemerintah Tiongkok yang paling ambisius. Kebijakan yang memiliki tujuan untuk memperkuat pengaruh ekonomi Beijing melalui program yang luas dan menyeluruh dalam pembangunan infrastruktur di seluruh negara yang dilewati jalur tersebut.

Semangat Belt and Road Initiative (BRI)—Prakarsa Sabuk dan Jalan atau Inisiatif Sabuk dan Jalan adalah strategi pembangunan global yang diadopsi oleh pemerintah Tiongkok dengan melibatkan pembangunan infrastruktur dan investasi di 152 negara serta organisasi internasional di Asia, Eropa, Afrika, Afrika, Timur Tengah, dan Amerika.

Sayap kepentingan ekonomi China di Indonesia yang begitu besar. China memang sudah tidak lagi bersemangat menyebarkan ideologi komunisnya, tapi kepentingan luar negerinya berganti berkaitan dengan perdagangan. China dikenal sebagai penyokong ekonomi beberapa negara terkait investasi dan pinjaman luar negerinya. Bahkan ada sebuah negara yang harus menyerahkan kekayaan dan industri pentingnya ke China karena gagal bayar.

Tidak sedikit negara yang sempat jatuh dalam “jebakan” utang China ini. Sebagai contoh, berdasarkan catatan (detikcom, 26/07/2023) berikut sejumlah negara yang pernah kehilangan asetnya karena “jebakan” utang China:

Pertama, Sri Lanka yang gagal bayar utang harus merelakan kehilangan pelabuhan dan bandara miliknya dikelola China.

Kedua, Zimbabwe. Peneliti di Institute dor Development of Economics and Finance (Indef) Rizal Taufikurahman pernah mengatakan bagaimana sebuah negara yang mengalami gagal bayar utang, yaitu Zimbabwe sejak 1998, mengirim pasukan dan membeli peralatan dari China untuk membantu Presiden Laurent Kabali melawan pemberontak Uganda dan Rwanda.

Untuk membiayai semua aktivitas tersebut, Zimbabwe harus berutang kepada China dengan akumulasi nilai hingga mencapai US$ 4 juta atau Rp54,8 miliar (kurs Rp13.700 saat itu).

Ketiga, Nigeria. Kegagalan atau bangkrut juga dirasakan Nigeria di mana model pembiayaan melalui utang yang disertai perjanjian merugikan negara penerima pinjaman dalam jangka panjang. China mensyaratkan penggunaan bahan baku dan buruh kasar asal China untuk pembangunan infrastruktur di Nigeria.

Membangun proyek infrastrukturnya lewat utang dan tidak bisa bayar hingga mengganti nilai mata uang di antaranya Angola dan Zimbabwe juga.

Keempat, Uganda. Negara di Afrika Timur itu dikabarkan gagal bayar utang ke China terkait pengembangan Bandara Internasional Entebbe, Uganda. Akibatnya, aset tersebut diambil alih oleh China.

Alih-alih menjalin kerjasama yang harapannya saling menuntungkan dan menjadi mitra negara digdaya, faktanya justru mengokohkan hegemoni penjajah menggerogoti kekayaan kaum muslimin dengan dalih berperan dalam mendukung perekonomian. Sangat terlihat, bagaimana negeri ini sangat bergantung pada penjajah.

Indonesia bukanlah negara yang mampu berdiri di atas kaki sendiri. Kepentingan politik internasional memaksanya untuk mengikuti arahan negara berpengaruh dunia. Kalaupun Indonesia seolah memiliki peranan, itupun hanya sekedar posisi yang mudah digoyahkan.

Maka, dengan adanya kerjasama ini sangat merugikan, apalagi melihat fakta Srilanka, Zimbabwe, Nigeria, dan Uganda yang mana asetnya diambil alih karena tidak bisa bayar hutang.

Terlihat bahwa dalih kerjasama tapi sebenarnya adalah pencaplokan wilayah atau penjajahan di baliknya. Berutang tanpad ada maksud apapun saja tidak bisa dibenarkan bagi negara yang katanya berdaulat, apalagi jika ada maksud lain, karena tidak akan mungkin utang dipinjamkan dengan cuma-cuma.

Sebenarnya, yang terjadi adalah bukan skema utang tapi kapitalisme menawarkan borrowing money (menyewa uang), bukan lending money (meminjamkan uang).

Skema borrowing money adalah menawarkan utang untuk dipinjam dan menghasilkan uang. Uang ada untuk disewa dan uang dipekerjakan secara sistemis oleh dunia. Jadi, bukan skema hutang tapi tawaran untuk menyewa uang, atau bisa dikatakan sistem penyewaan uang sistematis dan internasional.

Ini merupakan langkah politik untuk menguasai dan menurunkan kedaulatan suatu negara, ketika tidak bisa membayar maka akan diambil alih negara. Jadi bukan karena kebaikan ada sahabat atau mitra, lantas memberikan pinjaman utang agar perekonomian  ataupun aspek kehidupan rakyat sebuah negara membaik. Tidak demikian.

Sesungguhnya, ini bukanlah utang tapi penyewaan uang sistemik dan internasional. Dari sisi manapun tidak bisa dibenarkan. Adanya bahaya luar biasa bukan hanya sekedar terlilit utang, hilangnya SDA bahlan lebih bahaya lagi hilangnya kedaulatan negara dan tidak menutup kemungkinan juga terjadinya perubahan mata uang karena tidak bisa membayar uang yang disewa tersebut.

Perlu pertimbangan dan kajian mendalam untuk melakukan kerjasama ekonomi dengan negara lain terkait penyewaan uang termasuk China di dalamnya. Harus muncul kesadaran yang kuat terhadap konsekuensi dan kedaulatan negara.

Hal ini, karena Indonesia tak memiliki kekuatan ideologi yang kokoh sebagai negeri muslim terbesar. Lain halnya jika Indonesia memiliki ideologi Islam yang mampu mengungguli ideologi kapitalisme dan sosialisme-komunisme.

Selama Indonesia menjadi negara pengekor, maka selama itu juga Indonesia akan dimanfaatkan negara berpengaruh dunia. China akan memanfaatkan Indonesia untuk kepentingan ekonominya. Alhasil, Indonesia menjadi ladang perebutan negara berpengaruh dunia.

Bermitra dengan China dalam konteks ekonomi bukan satu satunya peluang kepemimpinan bagi Indonesia memperjuangkan dan menyelesaikan problem di level dunia.

Dalam Islam, hubungan dengan negara asing yang dikategorikan sebagai negara penjajah atau negara harbi fi’lan adalah dalam konteks peperangan. Tidak boleh ada kerja sama atau menjadi mitra dalam ekonomi, politik, dan lainnya. Hal ini akan menjerumuskan diri menjadi wilayah jajahan.

Maka, dunia membutuhkan tatanan baru dengan sistem Islam yang akan menjadikan negara superpower dan mampu mengungguli sistem kapitalisme buatan manusia yang rusak dan merusak. Negara superpower yang menerapkan syariat yang berasal dari Percipta manusia.

Maka, inilah negara yang akan menghimpun segala daya kekuatan, sumber daya manusia, sumber daya alam untuk mewujudkan Islam rahmatan lil ‘alamin.[]

Comment