Memutus Rantai Miras dan Kekerasan Seksual Pada Anak, Antara Asa dan Realita

Opini75 Views

 

 

Penulis: Airah Amir | Dokter RSUD Kota Makassar

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Laman kompas.co.id (23/11/2023) menulis kekerasan seksual terhadap bayi berusia empat bulan terjadi di Cirebon, Kamis (23/11/2023). Peristiwa ini sangat mengiris hati nurani.

Ditulis di laman  yang sama,  awalnya bayi tersebut adalah korban penculikan yang berakhir menjadi korban kekerasan seksual mengakibatkan luka pada bagian vital dan mengalami kesakitan luar biasa pada saat buang air kecil dan buang air besar.

Aksi penculikan ini didasari keinginan pelaku melampiaskan nafsunya dikarenakan telah meminum minuman keras, tersangka juga ternyata memiliki perasaan terhadap ibu bayi tetapi tertolak dan menimbulkan dendam bagi pelaku.

Kasus ini menuai keprihatinan sebab korban kasus kekerasan seksual bisa terjadi pada siapa saja bahkan bayi berusia 4 bulan. Kejahatan ini tidak hanya melukai kondisi fisik bayi tetapi juga menimbulkan trauma mendalam bagi keluarga.

Penanganan yang tidak menyentuh akar masalah akan berdampak pada kebijakan yang tidak efektif dalam memutus kasus kekerasan seksual pada anak. Bagai mata rantai yang tidak pernah putus, bahkan semakin marak sehingga asa semakin tenggelam disebabkan realita yang semakin mengiris hati melihat dampak kekerasan seksual bagi anak dan keluarga.

Kasus kekerasan seksual pada anak memiliki kecenderungan meningkat setiap tahun. Bahwa telah terjadi darurat kekerasan seksual pada anak memang benar adanya, seperti yang disampaikan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) bahwa pada tahun 2022 kasus kekerasan seksual terhadap anak mencapai 9.558 kasus dibandingkan kasus tahun sebelumnya yang mencapai 4.162 kasus.

Ada beberapa penyebab mengapa terjadi peningkatan kasus kekerasan seksual pada anak, yaitu semakin mudahnya akses pornografi di media sosial, minimnya regulasi hukum yang melindungi anak yang bahkan telah direvisi dua kali tetapi belum mampu mengurangi atau bahkan menghilangkan kasus kekerasan seksual pada anak. Konsumsi narkoba dan miras di sisi lain juga menjadi salah satu penyebab.

Seperti halnya kasus di atas, pelaku yang menurut penuturan polisi, telah mengonsumsi miras sebelumnya dan berakhir menjadi petaka. Sekelumit kasus di atas hanya satu contoh dari ribuan petaka yang terjadi akibat menenggak miras.

Hal ini menunujukkan bahwa miras dikonsumsi oleh semua kalangan umur yang disinyalir turut menjadi pemicu perilaku sebagian masyarakat kita terlibat kasus kriminalitas yang bahkan di luar nalar seperti kasus ini.

Faktanya miras malah merebak ke seluruh penjuru dunia bagai minuman ringan yang mudah ditemukan oleh siapapun. Telah bamyak yang mengurai petaka yang ditimbulkan namun keberadaan miras justru begitu kuat dan semakin sulit untuk diberantas.

Pemerintah telah mengeluarkan aturan untuk mencegah peredaran miras di setiap minimarket yang diberlakukan sejak 16 April 2015 dan juga Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 06/M-DAG/PER/4/2014 tentang pengendalian dan pengawasan terhadap pengadaan, peredaran dan penjualan minuman beralkohol.

Namun ketatnya regulasi yang dikeluarkan pemerintah tidak otomatis menurunkan minat masyarakat mengonsumsi miras. Harga yang murah dan mudahnya mendapat bahan miras oplosan menjadi lebih banyak orang yang memilih untuk mengoplos sendiri mirasnya.

Menurut data BPS terdapat jumlah konsumsi alkohol per kapita penduduk usia 15 tahun keatas 0,36 Liter per kapita menurun ke 0,33 Liter per kapita dari tahun 2021 ke tahun 2022. Namun sayangnya penurunan ini tidak berdampak signifikan terhadap petaka yang ditimbulkan di masyarakat.

Ini terjadi akibat individu dalam masyarakat tidak memiliki pemahaman agama yang baik buah dari sistem saat ini yang menjauhkan tuntunan hidup dari agama. Belum lagi aturan dalam masyarakat dibuat oleh kesepakatan masyarakat itu sendiri yang melahirkan peraturan dari sudut pandang manusia yang secara hakikat belum tentu baik.

Sejatinya masyarakat dengan kontrol sosialnya berfungsi untuk melakukan pengawasan di masyarakat. Dan secara individu,dengan ketakwaan yang berpondasikan agama akan menjauhkan diri dari perbuatan yang dilarang-Nya sebab dalam sebuah hadits Nabi dikatakan bahwa miras adalah ummul khaba’its atau induk dari segala kejahatan.

Negaralah yang punya andil paling besar dalam memutus rantai kekerasan pada anak. Sebab segala daya ada pada negara termasuk membuat regulasi untuk menghilangkan penyebab kekerasan seksual pada anak termasuk pula menuntaskan tindak pidana kekerasan seksual sesuai aturan Islam yang hanya bisa terlaksana dengan penerapan aturan Islam secara menyeluruh. Wallahu a’lam.[]

Comment