Penulis: DR. H. J. Faisal | Pemerhati Pendidikan | Sekolah Pascasarjana UIKA, Bogor | Anggota PB Al Washliyah | Anggota PJMI
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Di suatu sore yang cerah, berkumpullah tiga orang putera Dewi Kunti di belakang istana Indraprasta, yaitu Yudhistira, Bima, dan Arjuna.
Ya, mereka adalah para Pandawa. Kakak tertuanya adalah Yudhistira, lanjut ke Bima, Arjuna, Nakula dan kemudian Sadewa.
Mereka bertiga sedang latihan memanah bersama guru memanah mereka saat itu.
Satu per satu, mulai dari Yudhistira sampai dengan kedua adik-adiknya tersebut, diajarkan bagaimana untuk memanah yang baik oleh guru panah mereka.
Sasaran panahnya saat itu adalah seekor burung yang sedang bertengger di atas sebuah batang pohon yang cukup tinggi.
Pelajaran memanah pertama dimulai dari Yudhistira. Satu hal pertama yang ditanya oleh guru panah tersebut kepada Yudhistira adalah, “Arahkanlah anak panahmu kepada burung yang sedang bertengger itu, wahai kesatria Yudhistira…kemudian katakan padaku apa yang kau lihat?”
Yudhistira pun menjawab pertanyaan sang guru panahnya itu. “Aku melihat seekor burung, pohon, langit dan bumi, guru…”
Tidaklah heran sepertinya sang guru mendengar jawaban Yudhistira, karena memang Yudhistira adalah ksatria Pandawa yang senang dengan filsafat dan ilmu kejiwaan.
“Baiklah, turunkan anak panahmu, dan janganlah kau panah anak burung itu kalau begitu…” kata sang guru.
Dengan penuh keheranan, Yudhistira pun terdiam, dan kemudian menurunkan anak panahnya tanpa banyak bertanya.
Sekarang giliran Bima. Pertanyaan yang sama pun diajukan oleh sang guru panah kepada Bima.
“Arahkanlah anak panahmu kepada burung yang sedang bertengger itu, wahai kesatria Bima…kemudian katakan padaku apa yang kau lihat?”
Dengan cepat, Bima pun menjawab pertanyaan sang guru. “Aku melihat seekor burung dan sebuah pohon besar dan tinggi, guru…”
Kemudian, jawaban yang sama pun diberikan oleh guru panah mereka tersebut. “Baiklah, turunkan anak panahmu wahai ksatria Bima, dan janganlah kau panah anak burung itu…” kata sang guru.
Sama seperti kakaknya Yudhistira, Bima pun menurunkan anak panahnya, batal memanah dengan penuh keheranan, tetapi tidak berani bertanya alasan batal memanahnya tersebut kepada sang guru.
Sang guru pun sebenarnya tidaklah merasa heran ketika mendengar jawaban Bima, karena memang Bima adalah ksatria Pandawa yang senang dengan kekuatan dan benda-benda fisik yang bentuknya besar.
Akhirnya, giliran memanah terakhir pun diberikan kepada Arjuna. Lagi-lagi, pertanyaan yang sama pun diajukan oleh sang guru panah tersebut kepada Arjuna.
“Arahkanlah anak panahmu kepada burung yang sedang bertengger itu, wahai kesatria Arjuna…kemudian katakan padaku apa yang kau lihat?”
Dengan mantap Arjuna pun menjawab pertanyaan sang guru panah. “Aku tidak melihat apapun, guru….kecuali hanya seekor burung yang akan aku panah sekarang…”
Akhirnya, dengan penuh senyuman puas, sang guru panah pun menyuruh Arjuna untuk melepaskan anak panahnya ke burung yang menjadi sasarannya tersebut.
“Lepaskan anak panahmu sekarang, wahai ksatria Arjuna…” perintah sang guru.
Tanpa menunggu waktu lebih lama lagi, akhirnya Arjuna pun melepaskan anak panahnya dan langsung mengenai sasarannya. Burung itupun jatuh, dan mati.
Setelah itu, akhirnya sang guru pun berkata kepada tiga muridnya tersebut.
“Maafkan aku, wahai ksatria Yudhistira dan ksatria Bima. Aku telah melarang kalian berdua untuk memanah burung tadi, karena penglihatan kalian masih ditujukan kepada hal-hal yang lain, dan tidak fokus untuk hanya melihat burung itu saja, maka akan percuma saja kalian melepaskan anak panah kalian….”
“Jika kalian tidak fokus dengan sasaran tujuan kalian, bagaimana kalian bisa dengan tepat menancapkan anak panah kalian kepada sasaran kalian?” lanjut sang guru.
“Dan ketika ksatria Arjuna mengatakan bahwa dia hanya melihat burung itu saja, maka aku yakin dia akan bisa mengenai sasarannya….dan itu ternyata benar, bukan?”
Dengan tertunduk malu, akhirnya Yudhistira dan Bima menyadari kesalahan mereka.
Kisah di atas hanyalah sebuah penggalan kisah mitologi dari sebuah cerita Pandawa Lima Mahabarata. Tetapi setidaknya kita dapat memetik sebuah pelajaran dari analogi cerita di atas, bahwa sesuatu hal yang dikerjakan dengan penuh konsentrasi dan kefokusan yang kuat, maka in syaa Allah kita akan dapat menikmati hasilnya.
Di dalam Islam pun, Allah Ta’alla telah mengajarkan kita hamba-Nya untuk menjadi seorang hamba yang fokus atau khusyuk.
Seperti yang telah Allah Ta’alla firmankan di dalam Al Qur’an surah Al-Mu’minuun, yang artinya:
“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyuk dalam shalatnya.” (Q.S Al-Mu’minuun: 1-2).
Logika pemikiran yang dapat kita pelajari dari ayat di atas adalah, jika kita sudah dapat menjadi seorang hamba yang khusyuk di dalam sholat kita, maka in sya Allah kita akan dapat dengan mudah untuk menjadi hamba yang khusyuk atau fokus pula di dalam bidang kehidupan kita lainnya, sehingga tujuan yang telah kita niatkan dengan kuat, akan dapat tercapai dengan mudah.
Dan ketika apa yang kita niatkan dan apa yang menjadi tujuan kita telah tercapai, bukankah itu sebuah keberuntungan yang besar?
Di dalam sebuah organisasi pun demikian halnya. Apa yang telah menjadi tujuan bersama di dalam sebuah organisasi, maka seluruh anggota organisasi tersebut, dimulai dari pemimpinnya, wajib untuk selalu bekerja secara fokus dan giat, agar tujuan organisasi dapat tercapai dengan baik dan cepat.
Pilihan dan opsi-opsi di dalam kehidupan pastilah sangat banyak, dan pasti juga sangat menggiurkan, sehingga pastinya pula akan dapat menggoda keimanan, keteguhan, kehusyukan dan kefokusan hati kita.
Tetapi, sebagai seorang mukmin yang kuat keimanannya, sebagai sebuah organisasi yang kuat kepemimpinan dan manajemennya, dan sebagai sebuah bangsa yang kuat kepribadiannya, menjadi fokus terhadap tujuan merupakan sebuah kewajiban yang harus dilaksanakan. Wallahu’allam bisshowab.[]
Comment