Penulis: Anggia Widianingrum | Pemerhati Generasi
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Miris, fenomena bullying makin marak. Perilaku ini merebak dikalangan usia sekolah diberbagai jenjang, mulai dari sekolah dasar (SD) hingga perguruan tinggi tidak terkecuali pesantren.
Bullying merupakan segala bentuk penindasan baik itu dalam bentuk intimidasi, ancaman, atau juga tindak kekerasan yang dilakukan seseorang atau kelompok dengan tujuan menyakiti atau agar dianggap superior yang dilakukan terus menerus.
Tentunya sebagai orang tua, kita merasa khawatir terhadap perilaku bullying karena hal ini terus terjadi dilingkup satuan pendidikan di mana seharusnya lingkup satuan pendidikan adalah tempat yang aman dan nyaman bagi pelajar untuk menimba ilmu.
Sebagaimana tindakan bullying yang sempat viral baru-baru ini di Cilacap. Dalam tayangan video yang beredar, tampak siswa SMP tengah dianiaya oleh seorang siswa lain dengan cara diseret, dipukul dan ditendang. Mirisnya lagi, adegan ini disaksikan beberapa siswa lain yang memakai seragam yang sama namun tidak ada upaya untuk melerainya. (tirto.id, Minggu 22 Oktober 2023).
Bahkan yang membuat semakin sedih yaitu berdasarkan hasil Asesmen Nasional pada tahun 2022, terdapat 36,31 persen atau satu dari tiga peserta didik di Indonesia berpotensi mengalami bullying atau perundungan. (Republika.co.id, Jumat 20/10/23).
Tentu kabar ini bukanlah sesuatu yang membanggakan. Ternyata banyak kasus bullying (perundungan) yang luput dari pengawasan orang tuanya.
Membenahi Akar Masalah Bullying
Fenomena bullying dikalangan pelajar saat ini memang sudah sangat memperihatinkan. Tentu ini tidak terlepas dari beberapa faktor seperti fenomena ‘geng’ di sekolah, validasi diri, cara pengasuhan keluarga, pergaulan di lingkungan masyarakat, serta pengaruh tayangan-tayangan digadget yang luput dari pengawasan orang tua.
Maka sudah selayaknya fenomena bullying ini menjadi sorotan semua pihak guna mencari akar masalah yang kemudian mampu ditanggulangi bersama.
Memang Pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk pencegahnya, sebagaimana yang dilansir dari news.republika.co.id (Sabtu, 21/10/2023) lewat Pusat Penguatan Karakter (Puspeka) Kemendikbud ristek sejak 2021 telah bekerjasama dengan UNICEF Indonesia untuk melaksanakan Bimbingan Teknik (bimtek) Roots pada 10.708 satuan pendidikan, melatih 20.101 fasilitator guru dan membentuk 51.370 siswa agen perubahan. Adapun target di tahun 2023 akan dilaksanakan Bimtek Roots secara luring dan daring pada 2.750 satuan pendidikan jenjang SMP, SMA, dan SMK.
Selain itu Prof.Dr. Susanto, mantan ketua KPAI mengatakan bahwa untuk mengatasi masalah serius ini, perlu adanya peran maksimal dari guru dan orang tua. Beliau pun meluncurkan Gerakan Pelopor Anti Bullying melalui Olimpiade Anti Bullying tingkat nasional bagi pelajar jenjang SD/MI, SMP/MTS dan SMA/SMK/MA.
Namun dari berbagai solusi yang digagas pun tidak bisa menghentikan perilaku bullying yang semakin kritis. Hal ini memang membutuhkan peran serta semua pihak dan juga solusi komprehensif. Akar semua masalah ini adalah dampak dari penerapan sistem sekularisme liberal kapitalis. Tatanan hidup yang tegak di atas pemisahan aturan agama (Islam) dari kehidupan. Sistem yang menghilangkan fitrah kasih sayang pada diri manusia.
Kurikulum pendidikan yang minus nilai spiritual yang berorientasi pada capaian nilai dan materi. Alih-alih ingin mencetak generasi berkualitas, yang ada malah melahirkan generasi yang bermasalah.
Ditambah lagi kehidupan dalam masyarakat yang menjunjung tinggi kebebasan berperilaku. Tanpa mengindahkan lagi kepentingan dan hak orang lain, menanggalkan norma kesopanan dan rasa malu, jadilah tatanan hidup yang kacau yang berperan membentuk kepribadian masyarakatnya.
Sungguh sangat miris keadaan generasi hari ini yang dididik dengan sekularis liberal dan kapitalistik. Bagaimanakah nasib bangsa ini, jika nilai-nilai yang rusak ini terus di jejalkan?
Islam Solusi Komprehensif
Islam memandang masalah bullying ini tidak terlepas dari tanggung jawab negara. Karena negara yang menerapkan Islam secara kaffah dan negaralah yang memiliki seperangkat aturan hidup yang mampu menyolusi segala permasalahan hidup bahkan yang sangat mendetail.
Memang benar, bahwa institusi keluarga adalah benteng tempat dibinanya generasi penerus, namun negaralah yang memastikan agar seluruh individu yang hidup di dalamnya terdidik dengan kepribadian Islam. Karena sistem Islam tegak di atas akidah Islam dan syariatnya, maka negara akan membentengi individu masyarakat dari hal-hal yang menjerumuskan mereka pada penyimpangan, kemaksiatan dan membekali dengan ketakwaan.
Rasulullah Saw bersabda: ” Ingatlah tiap-tiap kalian adalah pemimpin dan tiap-tiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya itu. Seorang imam/penguasa atas manusia adalah pemimpin, dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya itu,..[HR. Bukhari]
Adapun solusi dari Islam, yang pertama, negara menerapkan aturan Islam secara kaffah dan memastikan setiap institusi keluarga menerapkan aturan Islam di dalamnya. Negara juga menjamin tersedianya lapangan pekerjaan dan mendorong setiap kepala keluarga untuk bekerja memenuhi segala kebutuhan keluarga yang menjadi tanggungannya.
Negara juga memastikan segala kebutuhan pokok dan dasar tersedia dan mudah diakses dengan harga murah bahkan gratis. Tentu hal ini akan sangat berkolerasi terhadap pola pengasuhan nantinya.
Kemudian yang kedua adanya kontrol masyarakat. Masyarakat yang terbina dengan Islam akan jauh dari sifat individualisme, dan akan menganggap segala bentuk kemaksiatan adalah tanggung jawab bersama untuk dihilangkan. Masyarakat akan berani ber amar makruf serta tidak akan memberikan ruang bagi segala bentuk kemunkaran sehingga kriminalitas dan maksiat dapat diminimalisir bahkan dihilangkan.
Kemudian yang ketiga, negara akan menutup semua celah yang akan menimbulkan segala bentuk kemudharatan seperti tayangan kekerasan, penyimpangan, dan kemaksiatan lainnya seperti peredaran miras dan narkoba.
Dalam pendidikan, negara akan menerapkan kurikulum berbasis akidah Islam di semua jenjang pendidikan dengan berkualitas dan gratis.
Terakhir, negara memberi sanksi tegas terhadap perilaku bullying, karena bullying adalah salah satu tindak kejahatan.
Namun apabila pelaku belum baligh, maka tidak dapat dijatuhi sanksi pidana Islam baik itu jinayah, uqubat, maupun takzir. Karena anak yang belum baligh tidak tergolong mukhalaf. Tetapi apabila ternyata diketahui ada faktor kelalaian ataupun pembiaran orang tua atau walinya terhadap tindak kejahatan tadi, maka wali atau orang tuanya lah yang dijatuhi sanksi pidana.
Namun apabila tidak terdapat keduanya, kelalaian atau pembiaran maka negara akan memberikan edukasi terhadap anak dan walinya tersebut. (Abdurahman al-Maliki, Nizhomul ‘Uqubat)
Maka dari itu saatnya berfikir jernih hingga sampai pada akar masalahnya guna mendapatkan solusi yang komprehensif yang memutus mata rantai perusakan generasi. Aturan sekularisme kapitalisme telah gagal menyolusi masalah generasi. Sudah selayaknya kita campakkan dan menggantinya dengan menerapkan sistem Islam secara kaffah agar kegemilangan pada generasi terdahulu bisa diraih lagi. Wallahu a’lam bishowwab.[]
Comment