Prophetic Teaching, Cara Lahirkan Methode Critical Thinking yang Sehat

Opini172 Views

 

 

Penulis: DR H. J. Faisal | Pemerhati Pendidikan dan Sosial | Sekolah Pascasarjana UIKA Bogor | Anggota PJMI

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Selain metode kisah yang diajarkan oleh Rasulullah Salallahu’alaihi wassalam dalam mengajarkan berbagai macam ilmu kepada para sahabatnya dan murid-murid majelis ilmu beliau, Rasulullah Salallahu’alaihi wassalam juga sangat suka menggunakan metode pembelajaran berdiskusi dan tanya jawab.

Metode pembelajaran Prophetic Teaching yang dicontohkan oleh Rasulullah Salallahu’alaihi wassalam ini, yaitu metode diskusi dan tanya jawab, sesungguhnya mempunyai tujuan yang amat sangat ampuh dalam memancing keingintahuan para sahabat dan murid-murid beliau, terhadap ilmu yang sedang diajarkan oleh Rasulullah Salallahu’alaihi wassalam pada waktu itu. Mengapa demikian?

Ya, benar sekali. Dengan menggunakan metode pembelajaran diskusi dan tanya jawab terhadap ilmu dan permasalahan yang sedang dibahas, itu artinya sang guru sedang berusaha untuk mengeluarkan pemikiran kritis (critical thinking) para murid-muridnya.

Mungkin saja murid-muridnya sendiri tidak sadar, bahwa sebenarnya mereka sedang ‘dipancing’ untuk mengeluarkan isi pemikiran mereka, dengan cara mengeluarkan pendapat mereka atau bertanya tentang hal-hal yang mereka belum pahami sepenuhnya.

Tentu saja, dalam hal metode pembelajaran dengan diskusi dan tanya jawab ini, Rasulullah Salallahu’alaihi wassalam tidak memandang usia murid-muridnya dalam mengeluarkan pendapat mereka, atau tidak pula memandang keadaan ekonomi atau kedudukan sosial mereka di dalam masyarakatnya.

Artinya, selama para sahabat dan murid-murid beliau mampu untuk mengeluarkan argumen yang logis dan ilmiah, maka Rasulullah Salallahu’alaihi wassalam pun akan memberikan kesempatan kepada mereka untuk berbicara.

Dan salahsatu sahabat beliau yang sangat gemar dengan metode pembelajaran diskusi dan tanya jawab ini adalah Abdullah ibnu Umar (610–693 M), anak dari Umar bin Khattab radiallahu anhu.

Pernah pada suatu waktu ketika Abdullah ibn Umar, mengikuti sebuah kajian bersama Rasulullah Salallahu’alaihi wassalam dan ayahnya di sebuah majelis, Rasulullah Salallahu’alaihi wassalam melemparkan sebuah pertanyaan. Namun tidak ada satu pun sahabat yang mampu menjawab pertanyaan tersebut. Akhirnya, Rasulullah Salallahu’alaihi wassalam pun menerangkan tentang jawabannya.

Ketika kembali ke rumah, maka berkatalah Abdullah ibn Umar kepada ayahnya, Umar bin Khattab radiallahu anhu, bahwa sesungguhnya dia mengetahui jawaban dari pertanyaan Rasulullah Salallahu’alaihi wassalam tadi, namun dia enggan menjawabnya, dikarenakan dia menyadari dirinya yang masih anak-anak yang berumur 10 tahun, dan dengan alasan untuk menjaga adabnya di antara sahabat-sahabat lain yang usianya lebih tua darinya.

Mendengar jawaban anaknya tersebut, maka Umar bin Khattab radiallahu anhu menasihati anak tercintanya tersebut. Bahwa sesungguhnya Islam tidak pernah melarang siapapun untuk menunjukkan kemampuan dirinya, jika dia memang merasa mampu. Islam tidak memandang usia dan status sosial terhadap kemampuannya dalam berilmu dan berpengetahuan.

Maka sejak saat itulah Abdullah ibn Umar menjadi sahabat Rasulullah Salallahu’alaihi wassalam yang terkenal dengan pemikirannya yang kritis dalam mengeluarkan argumennya, logis cara berpikirnya, dan sarat dengan diskusi-diskusi yang berbobot.

Ya, Abdullah ibn Umar memang termasuk sahabat Rasulullah Salallahu’alaihi wassalam yang diberikan kecerdasan yang lebih di atas rata-rata dari sahabat-sahabat Rasulullah Salallahu’alaihi wassalam lainnya.

Beliau mampu mengingat sebagian besar perkataan Rasulullah Salallahu’alaihi wassalam, mampu meniru gaya gerakan shalat Rasulullah Salallahu’alaihi wassalam secara detail, bahkan gaya Rasulullah Salallahu’alaihi wassalam ketika sedang menunggang unta pun, mampu ditirukannya dengan baik.

Maka tidaklah mengherankan jika istri Rasulullah Salallahu’alaihi wassalam, Aisyah radiallahu anhu memuji kesetiaan Abdullah ibn Umar. Aisyah radiallahu anhu pernah berkata bahwa tidak seorang pun yang mampu mengikuti jejak langkah Rasulullah Salallahu’alaihi wassalam, di tempat-tempat pemberhentiannya, sebagaimana yang dilakukan oleh Ibnu Umar.

Dan karena kecerdasan serta daya berpikirnya yang kritis itu pula, Abdullah ibn Umar menolak ketika ditawari jabatan Hakim oleh Utsman bin Affan radiallahu anhu. Hal tersebut dikarenakan Abdullah ibnu Umar bukanlah seorang ulama yang gila jabatan, dan sangat bersikap hati-hati (wara), karena beliau takut terjerumus ke dalam nafsu duniawinya sendiri.

Menurut Abdullah ibnu Umar, hakim yang tanpa ilmu, dan hakim yang menggunakan nafsunya, hanya akan menjerumuskan dirinya ke dalam neraka. Bahkan setelah Utsman bin Affan radiallahu anhu terbunuh, sebagian kaum muslimin pernah berupaya membai’atnya menjadi khalifah, tetapi lagi-lagi beliau juga menolaknya. Hal itu juga dilakukan beliau demi menjaga perdamaian dengan Ali bin Abi Thalib radiallahu anhu.

Sungguh sangat kontras sekali dengan mental hakim-hakim dan ulama-ulama yang ada di zaman sekarang ini, seperti mental hakim-hakim dan mental para ulama yang ada di sebuah negeri yang selalu mengaku sebagai negeri dengan jumlah populasi muslimnya terbanyak di dunia, tetapi mereka sangat haus sekali dengan kekuasaan, kedudukan tinggi, dan uang. Sungguh sangat tawadhu (tahu warna dhuit). Entah di negeri mana itu….saya lupa.

Sesungguhnya metode-metode pembelajaran yang telah dicontohkan secara gamblang oleh Rasulullah Salallahu’alaihi wassalam (Prophetic Teaching) dalam mendidik para sahabat-sahabat dan murid-murid beliau lainnya, telah memberikan hasil yang nyata dalam melahirkan ulama-ulama besar pada zamannya, sebagai penerus beliau dalam menegakkan risalah kebenaran yang ada di dalam Islam.

Memang sejatinya metode diskusi dan tanya jawab, serta ditambah dengan metode berkisah, merupakan metode pembelajaran yang dapat mengeluarkan daya berpikir kritis yang maksimal dari para murid.

Metode-metode pembelajaran Prophetic Teaching ini sesungguhnya sangat dapat diterima oleh siapapun, dan dalam kondisi zaman yang bagaimanapun. Tentu saja, hal ini juga harus diimbangi dengan kemampuan sang guru untuk berilmu pengetahuan lebih, memahami pedagogi pembelajaran, dan juga memahami psikologi pendidikan, agar dapat mengimbangi dan mengarahkan pemikiran-pemikiran murid-muridnya yang kritis menjadi sebuah konstruksi berpikir yang inovatif. Sehingga pemikiran-pemikiran kritis murid-muridnya tersebut tidak menjadi pemikiran-pemikiran yang ‘liar’ dan ‘menggelinding’ (snow ball) menjadi sebuah konstruksi pemikiran yang kritis tetapi dangkal dan sia-sia belaka.

Apalagi di saat pendidikan Islam telah teracuni oleh metode pembelajaran dan isi pembelajaran yang berasal dari kaum Yahudi dan Barat selama hampir 2 abad belakangan ini.

Ketika semua kebohongan bahwa bangsa Yahudi dan bangsa Barat adalah kaum-kaum yang cerdas terus dihembuskan untuk meracuni pemikiran umat Islam, maka seharusnya kita umat Islam jangan menjadi percaya dan terlena dengan kebohongan tersebut.

Justru kita sebagai umat Islam yang telah berhasil membuat dunia menjadi ‘melek’ pengetahuan, dengan berbagai penemuan yang telah dibuktikan kebenarannya oleh para ulama-ulama Islam yang cerdas, mulai dari abad ke-7 hingga abad ke-17.

Seperti yang pernah dituliskan oleh penulis Inggris Tim Wallace-Murphy dalam bukunya “What Islam Did For Us: Understanding Islam’s Contribution to Western Civilization” (London: Watkins Publishing, 2006).

Wallace-Murphy mengatakan bahwa sesungguhnya Barat dan dunia berhutang peradaban kepada Islam (The Wes’st Debt to Islam), dikarenakan Islam telah memberikan jalan kepada dunia untuk melihat ilmu secara ilmiah, dan bukan berdasarkan prasangka semata, ditambah bumbu-bumbu kebohongan, seperti yang selalu dilakukan oleh ilmuan Barat pada masa itu.

Dan inilah saatnya kita menagih hutang-hutang tersebut. Wallahu’allam bisshowab.[]

 

Comment