Keluarga adalah Fondasi Utama Penopang Kemajuan Bangsa, Benarkah?

Opini131 Views

 

Penulis: Efinda Putri Normasari Susanto | Intelektual Muda dan Aktivis Muslimah

 

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Tahun 2045 merupakan tahun emas bagi Indonesia atau sering kita dengar sebagai Indonesia Emas, kenapa? Karena pada tahun tersebut akan menjadi momentum bersejarah bagi negeri ini. Ya, Indonesia akan genap berusia 100 tahun alias satu abad.

Pada saat itu pula, Indonesia sepeerri ditulis republika.co.id (16/8/23), akan mendapatkan bonus demografi dikarenakan jumlah penduduk Indonesia 68%-nya dalam usia produktif (15-64 tahun), sedangkan sisanya 32% merupakan penduduk yang tidak produktif (usia dibawah 14 tahun dan di atas 65 tahun) pada periode tahun 2020-2045.

Bahkan laman kemenkoppmk.go.id (6/10/2023) menyatakan bahwa pada tahun tersebut, ditargetkan Indonesia sudah menjadi negara maju, modern dan sejajar dengan negara-negara adidaya di dunia.

Salah satu langkah yang dilakukan untuk meraih target tersebut adalah dengan cara meloloskan negeri ini dari middle income trap (perangkap pendapatan menengah) pada 2030 secara ambisius. Middle income trap seperti ditulis tirto.id (23/10/23) adalah suatu kondisi dimana suatu negara berhasil mencapai tingkat pendapatan menengah, tetapi tidak mampu keluar dari tingkatan tersebut supaya bisa menjadi negara maju.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyampaikan bahwa minimum income Indonesia harus berada dikisaran Rp. 10 juta per bulan agar lolos dari stagnansi pendapatan menengah dan menuju negara maju.

Sayangnya, sebagaimana dilansir dalam tirto.id (23/10/2023), ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Nailul Huda menilai bahwa saat ini gaji rata-rata pekerja di tanah air hanya Rp3 juta. Maka perjalanan mencapai gaji Rp10 juta perbulan masih sangat panjang dan ketika itu terjadi harga bensin sudah mencapi Rp100 ribu per liter dikarenakan inflasi.

Berdasarkan data BPS per Februari 2023,  upah buruh tertinggi berasal dari sektor real estate (Rp4,62 juta/bulan), sedangkan rata-rata upah buruh terendah nasional dari sektor jasa (Rp1,79 juta/bulan) dan rata-rata upah buruh nasional sebesar Rp2,94 juta. Ini belum bicara sektor informal yang banyak dari mereka hanya digaji kisaran Rp500 ribu/bulan.

Belum lagi jika berbicara angka pengangguran yang grafiknya makin tinggi. Data BPS per Mei 2023 menyatakan terdapat 7,99 juta pengangguran di Indonesia. Amatlah miris, zero income terjadi pada situasi hari ini yang semua kebutuhan harganya membumbung tinggi.

Inilah yang terjadi jika penanganan persoalan ekonomi dilakukan secara tidak tepat, hanya menambah blunder yang tak kunjung usai. Terlebih, efek domino persoalan ekonomi akan berimbas pada semua lini kehidupan masyarakat, dari keluarga hingga maraknya kriminalitas.

Lantas, untuk mengatasi berbagai persoalan tersebut dijadikanlah keluarga sebagai fondasi utama kemajuan bangsa sebagaimana dikutip dari laman news.republika.co.id (28/10/23).

Pernyataan tersebut disampaikan oleh Kepala Badan Kependudukan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Dr. dr Hasto Wardoyo, SpOG(K) saat menjadi pembicara dalam kegiatan Konsolidasi Nasional Badan Kontak Majelis Taklim (BKMT) yang digelar di Asrama Haji, Jakarta Timur.

Pasalnya, keluarga yang berkualitas dan berada dalam lingkungan yang sehat dipandang mampu menjadi keluarga produktif sehingga dapat menyejahterakan anggotanya. Ayah dan ibu yang produktif sehingga mampu bekerja akan meningkatkan ekonomi keluarga sehingga persoalan kemiskinan, stunting ataupun ibu hamil kurang gizi tidak akan ada lagi. Saat itulah dianggap Indonesia siap menjadi negara maju.

Dari sini muncul pertanyaan kritis, benarkah keluarga mampu menjadi fondasi utama untuk menopang kemajuan bangsa?

Logika Terbalik Menjadikan Keluarga sebagai Fondasi Utama Kemajuan Bangsa

Kepala Badan Kependudukan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Dr. dr Hasto Wardoyo, SpOG(K) menjelaskan bahwa pembangunan keluarga adalah pondasi utama tercapainya kemajuan bangsa. Adapun definisi keberhasilan pembangunan keluarga adalah terwujudnya keluarga yang berkualitas dan hidup dalam lingkungan yang sehat. Namun faktanya, laman republika.co.id (28/10/2023) mengungkapkan bahwa kondisi keluarga di negeri ini banyak yang tidak baik-baik saja, hal ini nampak dari tingginya angka perceraian di Indonesia.

BPS Indonesia seperti ditulis katadata.co.id (2/11/2023) melaporkan bahwa sepanjang 2022 ada 516.334 kasus perceraian di Indonesia yang telah diputus oleh pengadilan dan ini menjadi angka tertinggi dalam enam tahun terakhir  Perceraian tentu sangat berdampak kepada pola asuh anak dan kondisi ekonomi, terutama pada ibu dan anak.

Stunting misalnya, yang masih menjadi momok bagi Indonesia. Negeri ini akan sulit menjadi negara maju jika angka stunting masih tinggi. Begitu pun tingkat kelaparan dan kemiskinan ekstrem, harus diberantas dengan peran keluarga.

Menurut BKKBN, keluarga memiliki peran sentral sebagai tumpuan dalam kemajuan suatu bangsa. Keluarga yang produktif, yang mana maknanya kedua suami istri sama-sama bekerja maka persoalan stunting serta persoalan-persoalan yang lain seperti kemiskinan dan ibu hamil kurang gizi diharapkan bisa teratasi. Saat itulah ekonomi Indonesia akan lebih kuat dan siap menjadi negara maju.

Namun demikian, menjadikan peran keluarga sebagai penopang ekonomi bangsa adalah sesuatu yang jauh panggang dari api, jauh dari akar masalah. Logikanya terbalik, kenapa? Karena keluarga adalah institusi terkecil dalam sebuah negara sehingga ia tidak akan mampu mendorong perubahan sebesar pemerintah. Semestinya, yang menjadi tumpuan adalah pemerintah, sebab ia adalah institusi terbesar dan suprastruktur dalam sebuah negara yang bertugas menyelesaikan serta mengurusi seluruh urusan rakyatnya.

Jika ditilik lebih mendalam lagi, dari persoalan stunting dan gizi ibu hamil saja, bukankah faktor terbesarnya adalah persoalan ekonomi (baca: kemiskinan)? Alih-alih menghadirkan makanan bergizi seimbang, untuk bisa makan kenyang saja masih banyak keluarga kesulitan. Pendapatan keluarga yang pas-pasan di tengah harga kebutuhan hidup yang terus menjulang membuat persoalan stunting tidak kunjung usai.

Andai saja persoalan stunting ini – oleh pemerintah, diurus melalui kekuasaan dan dengan menetapkan kebijakan yang dapat menyejahterakan rakyat. Misalnya dengan menjamin seluruh kebutuhan pokok rakyat, keluarga yang tidak mampu memenuhinya menjadi tanggungan pemerintah.

Sayangnya, di tengah kesulitan dan himpitan hidup yang luar biasa tersebut, pemerintah malah cenderung menetapkan kebijakan yang pro korporasi.

Lihatlah UU Omnibus Law Cipta Kerja yang kini telah terbukti tidak populis. Banyak keluarga yang kehidupannya makin terimpit setelah kebijakan tersebut diketok palu. Institusi keluarga tidak akan sanggup menolak kebijakan yang ditetapkan karena posisi mereka hanyalah obyek bukan subyek.

Bukankah dari sini saja sangat terlihat peran siapa yang paling signifikan dan dominan dalam membangun ekonomi bangsa untuk mewujudkan kemajuan bangsa?

Kapitalisme Biang Keladi Kegagalan Suatu Negara

Bila ditelaah secara mendalam dan menyeluruh, kekacauan, kesalah kaprahan pandangan dan kegalalan negara memajukan bangsanya adalah keniscayaan dari penerapan sistem kehidupan sekularisme yang cacat sejak lahir. Khususnya sistem politik demokrasi liberal dan sistem ekonomi kapitalisme.

Hendak memasuki tahun politik 2024 kandidat capres dan cawapres sudah saling beradu janji. Ganjar-Mahfud menjanjikan pertumbuhan ekonomi periode 2024—2029 rata-rata di level 7%. Anies-Muhaimin menargetkan tumbuh 5,5—6,5%. Begitu pula Prabowo-Gibran, walau tidak menyebutkan angka, pertumbuhan ekonomi tidak luput dari pembahasan janji-janji dalam kampanyenya. Namun, publik sepertinya skeptis dengan janji-janji itu, bahkan sampai-sampai dalam dialog di acara Metro TV diberi judul ‘Menjual Jargon-Jargon Ekonomi’ (7/11/23).

Bukan tanpa alasan, tentu publik tidak lupa akan janji kampanye Jokowi pada 2019 lalu bukan? Dia berjanji untuk menjadikan pertumbuhan ekonomi rata-rata 7%. Namun nyatanya, hingga menjelang akhir kerjanya, pertumbuhan ekonomi tidak mampu bergerak dari 5%.

Inilah realitas yang juga akan menimpa Indonesia selanjutnya, siapa pun pemimpinnya sepertinya ekonomi bangsa akan “gini-gini aja”, kian terpuruk jika platform ekonomi yang dipakai masih kapitalisme.

Kapitalisme telah memposisikan sebuah negara terus bergantung kepada negara lain, ya dengan apa lagi kalau bukan dengan skema hutang dan investasi? Menyedihkannya, negara berkembang berasumsi bahwa dengan bergantung kepada negara maju maka akan merubah nasib mereka menjadi negara maju pula.

Berdasarkan sudut pandang kapitalisme, utang adalah kebijakan wajar. Bukan hanya negara berkembang, negara maju pun memiliki utang. Menurut kapitalisme, pembiayaan APBN melalui utang merupakan bagian pengelolaan keuangan yang lazim dilakukan suatu negara. Bahkan, utang dikatakan akan semakin memacu produktivitas suatu negeri. Dengan kata lain, hutang seolah kewajiban yang harus dibebankan pada APBN negara.

Suntikan dana, baik utang ataupun investasi, akan melahirkan pertumbuhan ekonomi yang nantinya akan berpengaruh terhadap kesejahteraan rakyat. Namun demikian, teori tersebut sangat usang dan jauh dari kenyataan. Selain hanya segelintir yang berhasil (itu pun ekses negatifnya lebih banyak), sebaliknya, jebakan utang malah menjadikan suatu negara semakin terperosok pada jurang kemiskinan.

Tengok saja Indonesia yang katanya disebut negara miskin atau negara menengah, kenyataannya memiliki banyak SDA yang melimpah. Lantas kemana SDA yang melimpah itu? Alih-alih dikelola negara untuk kepentingan rakyat, kepemilikan dan pengelolaannya malah diberikan pada korporasi. Semua itu adalah akibat kapitalisme yang membebaskan kepemilikan sehingga siapa pun yang memiliki cuan bisa dengan leluasa menguasai SDA.

Di samping itu, kapitalisme menjadikan korporatrokasi sebagai model standar sebuah negara. Artinya, dalam negara korporatrokasi terjadi perselingkuhan paling haram antara birokrasi dan korporasi. Negara model seperti ini menyerahkan program-program pembangunannya pada korporasi. Keuntungan menjadi orientasi pembangunannya. Inilah yang jamak kita lihat di negeri ini.

Tak hanya itu, buah pengelolaan kekuasaan dan wewenang negara yang dilandaskan pada paradigma sekularisme ‘Good Governance’ atau ‘Reinventing Government’ atau konsep ‘New Public Management’, menjadikan negara kehilangan fungsi utamanya yaitu mengurusi rakyat.

Sistem ini menjadikan pihakbswasta memegang kendali. Lihatlah pengelolaan air, listrik, BBM, maupun pangan pokok, sebagian besar dikendalikan swasta. Bukankah kondisi ini menjadikan rakyat kian terhimpit?

Jika sudah diserahkan pada swasta, distribusi tentu hanya mengalir pada yang sanggup membayar harga. Inilah kegagalan terbesar sistem ini, bagai menegakkan benang basah bahwasanya ekonomi kapitalis bisa menjadikan Indonesia sebagai negara maju.

Negeri ini tak akan pernah keluar dari keterpurukan ekonomi, jika masih saja menjadikan kapitalisme sebagai sistem yang mengatur pemerintahannya. Kalau pemerintah saja tidak bisa, lantas bagaimana dengan institusi keluarga yang sangat kecil dan lemah, sudah pasti tidak bisa menjadi tumpuan kemajuan bangsa.

Islam menyejahterakan rakyat dan menjadikan suatu negara sebagai adidaya dunia.

Berbeda dengan konsep negara korporatokrasi yang memposisikan perannya sebatas regulator, sistem pemerintahan khilafah memposisikan perannya sebagai pelayan bagi umat. Posisi ini telah dijelaskan dalam hadits bahwasanya seorang khalifah adalah pengurus umat.

الإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

_“Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.”_ (HR al-Bukhari).

Makna raa‘in (penggembala/pemimpin) adalah “penjaga” dan “yang diberi amanah” atas bawahannya. Makna raa’in telah digambarkan dengan jelas oleh Umar bin Khaththab ketika beliau memanggul sendiri sekarung gandum untuk diberikan kepada seorang ibu dan dua anaknya yang kelaparan.

Dalam Islam haram hukumnya penguasa berlepas tangan terhadap kepengurusan umat, seperti yang terjadi saat ini. Apalagi kebijakannya pro kapitalis dan menzalimi umat.

Sumber-sumber kekayaan seperti sumber daya alam yang menyangkut hajat hidup orang banyak tidak boleh diprivatisasi atau dipermainkan pemerintah dan korporasi.

اَلْمُسْلِمُوْنَ شُرَكَاءُ في ثلَاَثٍ فِي الْكَلَإِ وَالْماَءِ وَالنَّارِ

“Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air, dan api.”(HR Abu Dawud dan Ahmad).

Sistem ekonomi Islam yang inheren dengan sistem pemerintahannya, yaitu khilafah. Sistem ekonomi Islam akan mandiri, tidak tergantung kepada negara lain sebab ketergantungan akan mengoyak kedaulatan bangsa. Walhasil, kemandirian bangsa diraih dengan mengelola SDA sendiri sehingga seluruh hasilnya diperuntukkan untuk menyelesaikan kebutuhan rakyat.

Islam juga menjadikan sebuah negara bervisi menjadi negara adidaya yang dengannya ia akan mampu mengatur dunia sesuai dengan syariat Islam.

Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

اْلإِسْلاَمُ يَعْلُوْ وَلاَ يُعْلَى

“Islam itu tinggi dan tidak ada yang mengalahkan ketinggiannya.” (HR. Ad-Daruquthni)

Pemasukan kas negara (baitulmal) yang begitu besar dari pengelolaan SDA meniscayakan hal demikian. Semua rakyat sejahtera di bawah pengurusan penguasa yang amanah. Persoalan kemiskinan ekstrim, stunting, kelaparan atau pengangguran pun akan mampu terselesaikan.

Dari sinilah akan lahir ketahanan keluarga yang baik. Keluarga yang sejahtera akan melahirkan anak yang sehat dan cemerlang. Ditambah ibu yang tidak disibukkan dengan pencarian nafkah, menjadikan pengasuhan optimal dilakukan. Lahirlah anak yang kuat mental dan siap mengarungi kehidupan dan bermanfaat bagi umat.

Penerapan Islam kafah, termasuk sistem ekonominya, akan mengantarkan suatu negara menjadi negara maju yang rakyatnya hidup dalam kesejahteraan. Sebaliknya, kapitalisme justru menyengsarakan rakyat dan negara akan tetap berada dalam keterpurukan.

Belum cukupkah ini sebagai pelajaran? Sungguh patut kita renungkan peringatan Allah Swt. Berikut:

ظَهَرَ ٱلْفَسَادُ فِى ٱلْبَرِّ وَٱلْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِى ٱلنَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعْضَ ٱلَّذِى عَمِلُوا۟ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ

“Telah tampak kerusakan di darat dan lautan akibat perbuatan tangan manusia, supaya Allah swt merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”. (TQS Ar-Ruum [31]: 41).

Oleh karenanya, merupakan persoalan serius dan mendesak dilaksanakan syariat Islam secara kafah dalam bingkai khilafah, sebagai satu-satunya jalan pengembali hidupnya fungsi sahih negara, agar Indonesia bisa menjadi baldatun thayyiibatun wa rabbun ghaffur. Allahu A’laam.[]

Referensi:

[1]. kadin.id
[2]. Republika.co.id

[3]. kemenkopmk.go.id
[4]. Republika.co.id

[5]. Indonesiabaik.id
[6]. Tirto.id

[7]. Pikiranrakyat.com

[8]. Muhammadiyah.or.id

[9]. Detik.com/

Comment