Kemana Arah Perjuangan Santri?

Opini127 Views

 

Penulis : Cika Kintan Maharani | Mahasiswi Ma’had Cinta Quran Center

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Presiden Joko Widodo dan Ibu Iriana Joko Widodo menghadiri Apel Hari Santri 2023 yang digelar di Monumen Tugu Pahlawan, Kota Surabaya, Provinsi Jawa Timur, Minggu (22/10/2023).

Bertindak sebagai pembina apel, Presiden Jokowi mengajak semua pihak untuk dapat terus menjaga semangat hari santri dalam menghadapi situasi dan kondisi saat ini.

“Semangat hari santri ini harus terus kita pegang teguh sesuai dengan konteks saat ini, konteks kondisi saat ini, di mana juga ada krisis ekonomi akibat perang, adanya krisis pangan akibat perang, adanya krisis energi akibat juga adanya perang,” ucap Presiden.

Presiden Jokowi juga menyampaikan bahwa latar belakang dibentuknya hari santri merujuk kepada resolusi jihad yang disampaikan oleh Kiai Haji Hasyim Asyari selaku Rais Akbar Nahdlatul Ulama pada masa kemerdekaan Indonesia.

“Melawan penjajah itu wajib. Melawan penjajah itu adalah fardu ain, dan tewas, meninggal melawan musuh itu hukumnya mati syahid. Ini sebuah fatwa yang luar biasa sehingga kita semua saat itu termasuk para santri berjuang untuk kepentingan bangsa, berjuang untuk kepentingan negara, dan berjuang untuk kepentingan umat,” jelasnya. (Sumber : Kemenag.co.id).

Hari Santri dan Resolusi Jihad

Resolusi Jihad 22 Oktober 1945 menjadi cikal bakal diperingatinya Hari Santri Nasional (HSN) setiap tanggal 22 Oktober. Fatwa Resolusi Jihad diserukan KH Hasyim Asy’ari pada 22 Oktober 1945. Diserukannya Resolusi Jihad bertujuan untuk membangkitkan semangat rakyat Indonesia, terutama di kalangan kiai dan santri, dalam mempertahankan kemerdekaan yang hendak direbut kembali oleh para penjajah.

Sejarah menunjukkan motivasi para santri dalam sejarah perjuangan di negeri ini. Namun hari ini, yang terjadi adalah pembajakan dan degradasi peran santri dalam kehidupan. Di tengah berbagai problem kehidupan yang terjadi pada tingkat global, regional maupun nasional, sangat relevan mengembalikan kembali spirit resolusi jihad dalam makna yang sebenarnya sebagaimana awalnya.

Islam mendorong setiap muslim terlebih para santri untuk berperan dalam kehidupan sesuai tuntunana Islam. Santri merupakan pelajar di lembaga pendidikan pesantren. Pesantren menyelenggarakan pendidikan dengan misi menkader umat menjadi tafaqquh fiddin dan memotivasi kader ulama sebagai warasat al-anbiya.

Pesantren berperan juga menyebarkan Islam dengan dakwah dan jihad.
Sejarah juga mencatat upaya ulama dan para santri melawan penjajah Belanda, seperti perlawanan Ki Bagus Rangin dari Majalengka bersama santri Cirebon (1802—1812).

Hanya saja, saat ini penjajahan fisik memang tidak lagi terjadi, tetapi penjajahan nin fisik (pemikiran) masih terus berlangsung. Hal ini terlihat dari gempuran pemikiran kufur yang terus menyerang kaum muslim, seperti ide pluralisme, hedonisme, sinkretisme, dan sekularisme yang menjadi ancaman dan gangguan nyata. Semestinya, eksistensi pesantren ditujukan untuk terus melahirkan kader ulama yang bervisi surga, bermisi penerus aktivitas para nabi, serta membangkitkan umat dan memperjuangkan tegaknya peradaban Islam. Peran strategis santri adalah untuk kebangkitan Islam.

Kemana Arah Perjuangan Santri?

Arah perjuangan santri adalah berjuang melakukan perubahan kondisi umat dari kondisi terjajah dan jauh dari Islam menjadi kondisi merdeka yang hakiki dengan Islam yang menyeluruh.

Para santri hendaknya mencontoh metode yang Rasulullah gunakan dalam mengubah masyarakat Arab dari jahiliah menjadi masyarakat yang bangkit dengan Islam. Rasulullah saw. berhasil mengubah masyarakat Arab dari awalnya bangsa yang tidak diperhitungkan menjadi pemimpin dunia dengan tegaknya Daulah Islam. Rasulullah saw mewujudkan perubahan itu dengan berdakwah secara berjamaah.

Dakwah tersebut bertujuan mewujudkan kehidupan Islam. Dakwah Rasulullah bersifat pemikiran, politis, dan antikekerasan sehingga bisa melejitkan pemikiran umat dan menjadikannya khairu ummah (umat terbaik) secara global.

Dengan demikian, di pundak para santri tersemat tanggung jawab yang besar. Amanah ilmu dan tsaqafah yang mereka miliki hendaknya menjadi “amunisi” untuk melakukan dakwah penyadaran di tengah umat Islam agar umat bangkit dan mewujudkan kepemimpinan Islam di tengah-tengah mereka.

Sebab, Islam diturunkan membawa misi kemerdekaan umat manusia dalam makna yang paling jauh, yakni memerdekakan umat manusia dari penghambaan kepada sesama manusia dan dari segala bentuk penghambaan kepada selain Allah swt.

Misi itu dinyatakan di dalam surat Rasulullah saw yang dikirimkan kepada penduduk Najran. Di antara isinya berbunyi “Amma ba’du. Aku menyeru kalian untuk menghamba diri kepada Allah dan meninggalkan penghambaan kepada sesama hamba (manusia). Aku pun menyeru kalian agar berada dalam kekuasaan Allah dan membebaskan diri dari penguasaan oleh sesama hamba (manusia).” (Al-Hafizh Ibnu Katsir, Al-Bidayah wa an-Nihaya, V/553).

Misi Islam mewujudkan kemerdekaan untuk seluruh umat manusia itu juga terungkap kuat dengan dialog Jenderal Persia, Rustum, dengan Rabi’i bin “Amir yang diutus oleh Panglima Saad bin Abi Waqash ra. Setelah Mughirah bin Syu’bah pada Perang Qadasiyah untuk membebaskan Persia. Jenderal Rustum bertanya kepada Rib’i bin ‘Amir, “Apa yang kalian bawa?” Rabi’in bin “Amir menjawab, “Allah telah mengutus kami. Demi Allah, Allah telah mendatangkan kami agar kami mengeluarkan siapa saja yang bersedia, dari penghambaan kepada sesama hamba (sesama manusia) menuju penghambaan hanya kepada Allah; dan dari kezaliman agama-agama(selain Islam) menuju keadilan…” (Ath-Thabari, Tarikh al-Umam wa al-Muluk, II/401).

Mental Santri

Mental yang harus dimiliki seorang Santri adalah mental “Pembebas”, seperti yang disampaikan oleh Ustadzah Fika Komara Dalam buku “Menantikan Sang Pembebas” yaitu ditengah kabut penjajahan non fisik (pemikiran) dibutuhkan kompetensi para pembebas yang memiliki kemampuan mengurai urusan-urusan besar umat.

Karena itu dalam pembangunan kualitas sang pembebas terkandung tiga dimensi makna yang mendalam. Pertama, bangkit, artinya dialah pelaku kebangkitan umat. Kedua, bertahan, artinya punya daya survival kuat di tengah badai; berikutnya adalah bangun yang maknanya punya kapasitas membangun umat, manusia, dan peradabannya.

Para Santri hendaknya memiliki kepekaan terhadap kerusakan dan kezaliman sekaligus ketajaman responnya agar bisa melakukan perubahan zaman. Tidak cukup hanya dengan membentuk diri menjadi sholih tapi seorang santri harus membentuk dirinya menjadi seorang yang muslih (orang yang melakukan perubahan).

Seorang alim ilmu berkata “Satu penyeru kebaikan lebih dicintai oleh Allah swt daripada seribu orang shalih.” Karena melalui penyeru kebaikan itulah Allah menjaga umat ini, sedangkan orang shalih hanya cukup menjaga dirinya sendiri. Setelah menjadi muslih, maka energi kebaikannya akan berubah menjadi energi perubahan, apalagi dilakukan secara berjamaah. Gerakan Muslih kolektif ini akan menjelma menjadi motor penggerak umat dan akhirnya menjadi aktor-aktor pembangunan umat yang takwa dan terpercaya.

Inilah yang menjadi PR besar bagi santri, agar memfokuskan arah perjuangannya dengan menjadi sang-pembebas, yang melakukan perbaikan di tengah masyarakat, bukan justru menghindari masyarakat. Harusnya ilmu yang dimiliki para santri mampu membawa mereka untuk memapah umat menuju pada perubahan hakiki yang diinginkan oleh Islam.[]

Comment