Penulis: Luthfiatul Azizah | Mahasiawi Cinta Quran Center
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) kembali terjadi di berbagai wilayah dan semakin rutin. Dari tahun ke tahun jumlah kasus karhutla semakin meningkat. Titik kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) terjadi hampir di seluruh provinsi Kalimantan, khususnya berada di titik Kalimantan Barat dengan intensitas titik api sedang hingga tinggi.
Manager Kampanye Hutan dan Kebun Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Ully Artha Siagian menyampaikan, kejadian karhutla di Kalimantan yang terus terulang karena pemerintah tidak serius mengurus Sumber Daya Alam (SDA). (Tempo.co 20/9/23).
Selain itu di daerah kalimantan juga terdapat beberapa daerah terjadi peristiwa serupa – seperti yang baru-baru ini terjadi di kawasan Bromo akibat sepasang kekasih yang melakukan foto prewedding dengan menyalakan flare.
Total lahan yang terbakar diperkirakan 500 hektare – menimbulkan kerugian yang sangat besar dan dampak bagi masyarakat sekitar. Selain itu, terjadi juga Karhutla di Desa Nurabelen, Kecamatan Ile Bura, Kabupaten Flores Timur, Jumat (25/8) yang dipicu akibat adanya praktik pembersihan lahan dengan cara dibakar. Kebakaran itu telah melahap lahan seluas 40 hektar. (Tirto,id 18/9/23).
Karhutla adalah dampak kapitalisasi hutan atas nama konsesi. Eksploitasi hutan ugal-ugalan dimulai sejak terbitnya UU 5/1967 tentang Ketentuan Pokok-Pokok Kehutanan. Sejak UU ini berlaku, penguasa dan konglomerat menjadi penentu dalam izin pengelolaan hutan. Sejak itu pula kapitalisasi dan ekploitasi hutan terjadi.
Pada mulanya, terbitnya UU tersebut diperuntukkan agar sumber daya hutan memiliki peran memutar roda perekonomian. Oleh karena itu, pemerintah sangat mengakomodasi segala usaha pengolahan hasil hutan dengan pemberian konsesi hak pengusahaan hutan, hak pemungutan hasil hutan, hingga konsesi hutan tanaman industri.
Awalnya memang mendongkrak perekonomian, tetapi ujungnya, hutan Indonesia digarong korporasi dengan eksploitasi serampangan yang memunculkan banyak konflik sosial dan bencana ekologis. Puluhan tahun UU ini berjalan tanpa ada upaya lebih dari pemerintah untuk menyelesaikan dampak terhadap penerapannya.(Muslimah news).
Dari kasus karhutla yang terjadi banyak sekali dampak dirasakan oleh masyarakat sekitar. Seperti halnya yang dirasakan oleh masyarakat Palembang dan Jambi akibat kabut asap yang berasal dari karhutla yaitu meningkatnya kasus ISPA yang di derita oleh masyarakat terdekat dari tempat kejadian. Selain itu akibat karhutla, terdapat dua negara tetangga Indonesia, Malaysia dan Singapura juga merasa terganggu dan dirugikan.
Dengan meluasnya dampak akibat karhutla ini seharusnya mendorong pemerintah melakukan evaluasi terhadap upaya penanganan yang ada. Namun, realitanya solusi yang ditawarkan oleh pemerintah tidak dapat menyelesaikan permasalahan ini secara tuntas.
Bahkan kasus ini terus berulang. Artinya, mitigasi dalam upaya mencegah dan menangani karhutla masih minim dan belum berhasil. Kasus karhutla ini sudah menjadi permasalahan sistemis.
Dengan diterapkannya kapitalisme mempermudah para pemilik modal maupun korporasi melakukan segala aktivitas tanpa mempertimbangkan imbas dari perbuatannya, termasuk pembukaan lahan baru.
Jadi, tuntutan negara kepada puluhan korporasi yang terlibat dalam karhutla tidak akan berarti apa-apa jika regulasi yang mengkapitalisasi hutan tetap berlaku. Meski pemerintah menetapkan sejumlah kebijakan ketat dalam pengelolaan hutan, tetapi hal itu berjalan formalitas dan basa basi semata. Faktanya, kerusakan hutan makin meluas akibat pembukaan lahan dan pengalihan fungsi lahan.
Sebagaimana asas kapitalisme, “Modal sekecil-kecilnya, untung sebesar-besarnya,” maka bagi para kapitalis, pembakaran hutan adalah cara termurah dan hemat biaya untuk membuka lahan baru meski dampak kerusakan lingkungan ada di depan mata.
Mereka tidak akan peduli bila perbuatan ini akan merusak lingkungan. Masyarakat terkena getahnya akibat kepulan asap hasil karhutla. Keserakahan kapitalis dan produk hukum berasas ideologi kapitalisme lah sesungguhnya yang menyebabkan bencana besar bagi negeri ini.
Keseriusan mitigasi adalah satu keniscayaan dalam Islam. Islam melarang berbuat mudharat. Peran negara memiliki andil yang sangat besar dalam upaya menjauhkan setiap madharat yang menimpa setiap manusia.
Di dalam Islam kasus seperti ini tidak akan pernah terjadi. Hutan dan semua lahan akan dimanfaatkan oleh negara dengan semaksimal mungkin. Tentunya hasil dari pemanfaatan tersebut akan dikembalikan kepada masyarakat atau rakyat.
Kalaupun terjadi kebakaran hutan dan lahan, penyebabnya adalah faktor alam dan segala hal yang bukan eksploitasi oleh tangan -tangan kapitalis.
Bila kasus tersebut terjadi, islam akan melakukan mitigasi serius dan menaruh perhatian khusus dalam upaya menurunkan resiko dan dampak bencana tersebut. Sebab tidak bisa dipungkiri bahwa karhutla dapat terjadi karena pengaruh El Nino maupun musim kemarau.
Islam juga memiliki beberapa prinsip agar kasus ini tidak terjadi berulang-ulang seperti:
Pertama, dalam Islam tidak ada istilah kebebasan mutlak dalam aspek kepemilikan. Setiap individu akan selalu terikat dengan hukum syara’. Setiap individu diperbolehkan memiliki lahan yang sesuai dengan syariat. Pemiliknya harus mengelola lahan secara produktif dan tidak boleh ditelantarkan lebih dari tiga tahun.
Jika dibiarkan lebih dari tiga tahun, maka negara boleh mengambilnya dan memberikan kepada siapapun yang mampu menggarap dan menghidupkan secara produktif tanah tersebut.
Sebab jika sebuah lahan tidak digarap oleh pemiliknya selama tiga tahun maka statusnya telah berubah menjadi tanah mati. Selain itu, pengelolaan lahan tidak diperbolehkan dengan melakukan pembakaran atau menghilangkan unsur hara serta merusak ekosistem.
Negara memberi edukasi kepada masyarakat bahwa menjaga alam dan ekosistem adalah kewajiban bagi setiap muslim. Selain itu, negara akan melakukan pengontrolan dan pengawasan setiap aktivitas yang bertujuan untuk memanfaatkan hutan, baik secara individu maupun kelompok. Negara juga akan memberikan sanksi tegas bagi para pelaku perusakan alam dan lingkungan dengan sanksi hukum Islam yang berefek jera.
Kedua, hutan merupakan kepemilikan umum yang mana pengelolaannya tidak boleh diserahkan kepada individu, swasta, maupun asing. Islam memerintahkan kepemilikan umum ini hanya boleh dikelola negara dan hasilnya menjadi hak rakyat untuk memanfaatkannya.
Ketiga, negara boleh memproteksi hutan sebagai kawasan konversi dengan menetapkannya sebagai hima. Hal ini dapat dilakukan jika eksplorasi hutan menimbulkan potensi bahaya dan bencana ekologis bagi masyarakat. Negara boleh melakukan konservasi hutan dalam upaya melindungi hak-hak ekologi dan SDA yang asli.
Maka, dengan tiga hal yang menjadi prinsip di atas tidak akan terjadi kasus tersebut secara berulang-ulang. Seban islam telah mewajibkan negara menjadi pelindung dan menjamin keamanan bagi rakyat dari berbagai bahaya yang mengancamvmelalui kebijakan komprehensif, solutif dan efektif. Wallahu a’lam bisshowab.[]
Comment