Kereta Cepat Bandung-Surabaya, Antara Konektivitas dan Hegemoni Kapitalisme

Opini128 Views

 

 

Penulis:  Annisa Aisha | Pemerhati Kebijakan Publik

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Infrastruktur merupakan salah satu hal krusial dalam pertumbuhan ekonomi suatu negara. Apalagi negara kepulauan seperti Indonesia membutuhkan infrastruktur yang dapat menjadi jembatan konektivitas antara satu wilayah dengan wilayah lain.

Keberadaan wilayah-wilayah ini tentu tak asal pilih melainkan wilayah yang memiliki potensi entah itu sumber daya alam ataupun sumber daya manusia yang dapat didayagunakan untuk pertumbuhan ekonomi.

Laman detik.com (30/9/2023) menulis bahwa salah satu infrastruktur yang saat ini sedang digenjot pemerintah pusat adalah kereta cepat yang pada awalnya hanya memiliki rute Jakarta-Bandung – kemudian pemerintah berencana memperpanjang hingga ke Surabaya. Mengapa hal ini terjadi? Ada apa di balik semua ini?

Rencana ini tentu saja tidak datang begitu saja tanpa dasar dan alasan yang jelas – apalagi kalau bukan pertumbuhan ekonomi. Namun pertumbuhan ekonomi ini ditujukan untuk siapa?

Belajar dari Kereta Cepat Jakarta Bandung yang baru saja diresmikan justru menuai banyak kekecewaan dari masyarakat. Proyek pembangunan Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) mendapat protes dari sejumlah warga karena dalam proses pembuatan konstruksinya menimbulkan kerusakan lingkungan.

Hal tersebut disampaikan oleh sejumlah warga kepada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Warga menceritakan kondisi dampak dari aktivitas pembuatan terowongan kereta cepat yang menerobos Gunung Bohong di Kabupaten Bandung Barat dan Kota Cimahi dengan menggunakan teknik peledakan.

Sebagai akibat dari peledakan yang dilakukan ratusan kali tersebut, telah berdampak pada kerusakan sekira puluhan rumah di Komplek Tipar Silih Asih, Kabupaten Bandung Barat.

Selain itu, komnasham.go.id (21/9/2021) nenulis, terjadi retakan tanah memanjang yang menghantui warga karena khawatir terjadi longsor. Belum lagi harga tiket yang terbilang mahal untuk kalangan masyarakat. Lantas untuk siapa kereta cepat ini? Jika untuk masyarakat, maka sedari awal sejatinya – pembangunannya memperhatikan hak-hak masyarakat sekitar.

Konektivitas Wilayah Merupakan Karpet Merah Bagi Korporasi

Rencana memperpanjang kereta cepat hingga Surabaya – walaupun masih dalam tahap pengkajian – namun ada beberapa hal yang harus kita perhatikan. Pertama, sebuah kebijakan tak akan lepas dari hasil pembacaan potensi wilayah setempat, begitupun dengan Surabaya, ada apa dengan Surabaya? Kenapa kereta cepat ini direncanakan akan diperpanjang hingga Surabaya?

Surabaya adalah kota dengan pendapatan terbesar kedua di Indonesia setelah Jakarta. Surabaya juga merupakan kota terbesar kedua di Indonesia dan memiliki kontribusi signifikan terhadap perekonomian nasional.

Sebagai pusat perdagangan dan industri di Jawa Timur, Surabaya memiliki sektor manufaktur, perdagangan, logistik, dan jasa yang kuat. Pelabuhan Tanjung Perak di Surabaya juga berperan penting dalam perdagangan internasional. (umsu.ac.id, 21 Juni 2023).

Jika dikaitkan antar wilayah, maka kereta cepat ini akan memudahkan konektivitas tiga pelabuhan internasional, Patimban (Jawa Barat), Tanjung Priok (Jakarta), dan Tanjung Perak (Surabaya).

Ketiga pelabuhan ini merupakan aspek strategis dalam bisnis kapitalisme.  Dengan adanya pelabuhan pasokan barang dari luar negeri, akan semakin mudah – apalagi dengan adanya kereta cepat yang menghubungkan ketiga wilayah ini, maka sebaran barang akan semakin cepat, tanpa menghabiskan banyak waktu untuk mendistribusikan barang. Alhasil korporat akan semakin diuntungkan.

Selain itu, Kementerian Perindustrian terus mengupayakan penetapan Wilayah Pusat Pertumbuhan Industri (WPPI). Upaya ini dilakukan agar suatu wilayah yang memiliki potensi dalam pengembangan sektor industri dapat dioptimalkan sehingga memacu perekonomian setempat.

Kita ketahui bersama bahwa dalam sistem kapitalisme, perekonomian dikuasai oleh pemilik modal. Salah satu wilayah industrinya adalah Surabaya Industrial Estate Rungkut (SIER) dengan memanfaatkan lahan seluas 245 hektare di Rungkut, Surabaya.

Letaknya cukup strategis. Dekat dengan jalan tol, Bandara Juanda, dan Pelabuhan Tanjung Perak. Sehingga jelas keberadaan kereta cepat akan semakin memudahkan bisnis para korporat – yang diuntungkan bukanlah masyarakat. Penguasaan pemilik modal akan semkain meluas dan terkoneksi dari satu wilayah ke wilayah lain.

Kedua, keberadaan kereta cepat ini tak lepas dari keterlibatan China. Jokowi akan membahas kelanjutan proyek Kereta Cepat Bandung-Surabaya dengan China. Pembahasan akan dilakukan dalam pertemuan bilateral antara pemerintah Indonesia dengan China. Pertemuan ini diadakan dalam rangka Konferensi Tingkat Tinggi Sabuk dan Jalur (BRI Summit). (cnnindonesia.com, 16 Oktober 2023).

Keterlibatan China di sini adalah investasi. Ini sejalan dengan ambisi China dalam BRI (Belt and Road Initiative). Proyek BRI diciptakan oleh Presiden China Xi Jinping pada 2013 untuk berinvestasi di lebih dari 130 negara dan organisasi internasional.

Sejak dijalankan, inisiatif ini telah menghasilkan miliaran dolar yang dituangkan ke dalam proyek infrastruktur. (cnnindonesia.com, 18 Oktober 2023).

Ambisi China dalam proyek BRI ini tidak lain adalah untuk menyebarkan pengaruh China melalui pinjaman utang. Cara cantik di tengah momentum Amerika Serikat yang sedang dilanda krisis.

Dalam sistem ekonomi kapitalis, investasi asing merupakan keharusan. Ia dipandang sebagai salah satu sumber utama dalam upaya mendorong pertumbuhan ekonomi.

Investasi asing ini berakibat jatuhnya pengelolaan harta milik umum ke tangan swasta terutama asing – memiliki berbagai dampak negative, di antaranya, terjadinya kecenderungan konsentrasi kepemilikan barang-barang milik umum kepada korporasi yang memiliki modal besar, manajemen, sumberdaya manusia dan teknologi yang lebih unggul;

Kecenderungan investasi asing yang berorientasi bisnis melakukan efisiensi dengan cara pengurangan tenaga kerja dan pemangkasan gaji yang mengarah ke peningkatan pengangguran; semakin rendah partisipasi negara dalam hal memenuhi kebutuhan publik akan mengurangi sumber pendapatan negara sehingga berdampak antara lain keterbatasan anggaran untuk memenuhi sebagian kebutuhan dasar publik.

Jadi, keberadaan kereta cepat Bandung-Surabaya hanya akan memanjangkan karpet merah bagi korporasi-korporasi besar, hegemoni kapitalisme semakin kuat dan kehidupan masyarakat akan semakin sempit. Lantas bagaimana pandangan Islam terkait pembangunan infrastruktur dan investasi?

Strategi Islam dalam Pembangunan Infrastruktur

Infrastruktur merupakan roda penggerak ekonomi. Infrastruktur juga berpengaruh penting bagi peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan manusia, antara lain dalam peningkatan nilai konsumsi, peningkatan produktivitas tenaga kerja dan akses kepada lapangan kerja.

Dalam sistem ekonomi Islam, infrastruktur yang masuk sebagai kepemilikan umum harus dikelola oleh negara dan dibiayai dari dana milik umum. Boleh berasal dari sumber kepemilikan negara, tetapi negara tidak boleh mengambil keuntungan dari pengelolaannya.

Dalam Islam, pembangunan infrastruktur adalah murni sebagai bentuk pelayanan negara kepada masyarakat.

Menurut Abdurrahman Al-Maliki, pembangunan infrastruktur dalam sistem Islam dibagi menjadi dua jenis: (1) Infrastuktur yang sangat dibutuhkan oleh publik yang jika ditunda akan menimbulkan bahaya atau dharar bagi publik; (2) Infrastruktur yang dibutuhkan masyarakat, tetapi tidak begitu mendesak dan masih bisa ditunda pengadaannya.

Infrastruktur kategori yang kedua tidak boleh dibangun jika negara tidak memiliki dana. Tidak dibolehkan pembangunan infrastruktur tersebut dengan jalan utang dan pajak. Jadi infrastruktur kategori yang kedua hanya boleh dibangun ketika dana APBN atau Baitul Mal mencukupi. Sebaliknya, infrastruktur kategori pertama, tanpa memperhatikan ada atau tidak ada dana APBN atau Baitul Mal, harus tetap dibangun.

Jika ada dana APBN atau Baitul Mal maka wajib dibiayai dari dana tersebut secara maksimal. Namun, jika tidak mencukupi maka negara bisa memungut pajak (dharîbah) dari publik. Jika waktu pemungutan dharîbah memerlukan waktu yang lama, sementara infrastruktur harus segera dibangun, maka boleh negara meminjam kepada pihak lain.

Pinjaman tersebut akan dibayar dari dana dharîbah yang dikumpulkan dari masyarakat setelahnya. Namun terdapat batasan yang sangat jelas disini, pinjamaan ini tidak ada unsur riba atau menyebabkan negara bergantung kepada pemberi pinjaman.

Demikianlah pengaturan Islam dalam pembangunan infrastruktur dan pembiayaannya. Semua ini ditujukan untuk kemaslahatan masyarakat bukan untuk kepentingan korporasi seperti dalam sistem kapitalisme. Allahu ’alam.[]

Comment