Penulis: Ns. Sarah Ainun, M.Si | Perawat
RADARINDONESIANEWS.COM JAKARTA – Panggilan “Save Palestina” terus berkumandang sebagai ekspresi keprihatinan dunia atas situasi yang semakin memburuk. Ini mencerminkan keprihatinan yang mendalam atas situasi yang dihadapi oleh penduduk Palestina, dan dalam panggilan “Save Palestina,” terdapat harapan untuk mengakhiri penjajahan dan menghentikan pelanggaran hak asasi manusia yang sedang berlangsung.
Pada Sabtu, 7 Oktober 2023, Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, dalam pidatonya menyatakan “perang.” Deklarasi perang terbuka oleh Israel terjadi setelah kelompok Islam Palestina (Hamas) meluncurkan ribuan roket dan mengirim beberapa pasukan ke wilayah Israel sebagai balasan atas serentetan provokasi dan serangan yang telah berlangsung selama puluhan tahun, menimpa rakyat Palestina.
Entitas zionis Israel juga kerapkali melakukan penggerebekan dan penyerangan terhadap Masjid Al-Aqsa, situs-situs suci Kristen dan Islam. Selain itu, ketegangan di Jalur Gaza meletus setelah pintu masuk dan keluar di wilayah tersebut ditutup beberapa hari sebelumnya.
Seperti dilansir oleh Alarabiya News dan Al Jazeera pada Selasa, 10 Oktober 2023, Kementerian Kesehatan di Jalur Gaza melaporkan dalam pernyataan terbarunya bahwa akibat peristiwa ini, setidaknya 770 warga Palestina telah tewas, dengan 140 di antaranya adalah anak-anak, dan 120 lainnya adalah Wanita dan ribuan orang lainnya terluka. Laporan dari Kementerian Kesehatan juga menyebutkan bahwa setidaknya 18 orang telah kehilangan nyawa mereka dan 100 lainnya mengalami luka-luka di wilayah Tepi Barat sejak Sabtu, 7 Oktober.
Sementara itu, seperti yang dilaporkan oleh Arab News dan dikutip dari detikNews pada Rabu, 11 Oktober 2023, Juru Bicara Angkatan Bersenjata Israel (IDF) Letnan Kolonel Jonathan Conricus, dalam pesan video terbarunya yang seperti dilansir oleh AFP dan Al Jazeera, mengungkapkan bahwa jumlah korban tewas akibat serangan Hamas telah meningkat menjadi setidaknya 1.200 orang. Dia menegaskan bahwa ‘mayoritas dari korban tewas’ adalah warga sipil, sementara lebih dari 2.700 orang lainnya mengalami luka-luka akibat serangan Hamas.
Penjajahan Israel terhadap rakyat Palestina telah menyelimuti sejarah wilayah tersebut selama puluhan tahun. Perjalanan panjang ini penuh dengan ketegangan dan peperangan, menjadikan Palestina pusat perhatian dan isu global. Meskipun telah dilakukan berbagai upaya, ketegangan dan peperangan di Palestina belum pernah terselesaikan.
Apa yang terjadi di Palestina bukanlah konflik dua negara Israel-Palestina seperti yang terus dinarasikan Barat dan diarusderaskan oleh media mainstream ke dunia internasional. Pendudukan dan penguasaan Zionis Israel di wilayah Palestina merupakan praktik kolonialisme atau penjajahan. Oleh karena itu, untuk mengatasi permasalahan ini, umat Islam dunia harus merunut kembali akar persoalan yang melanda Palestina.
Zionisme adalah gerakan politik yang muncul pada awal abad ke-20 dengan tujuan mendirikan negara Yahudi di Palestina. Gerakan ini telah menjadi salah satu akar masalah utama dalam ketegangan di wilayah tersebut, mengakibatkan penjajahan, pengusiran ratusan ribu warga Palestina dari tanah mereka, dan telah berlangsung selama berabad-abad. Agama memainkan peran penting dalam pertarungan ini.
Secara akidah, Palestina, khususnya kota yang disebut Yerusalem (al-Quds), merupakan kota suci yang sangat penting bagi tiga agama besar. Yahudi menganggap Yerusalem sebagai tanah yang dijanjikan kepada mereka dalam kitab-kitab suci mereka. Bagi Nasrani, Yerusalem adalah tempat perjamuan terakhir Yesus sebelum dihianati oleh Yudas Iskariot dan juga sebagai tempat penyaliban Yesus Kristus di Bukit Golgota.
Sementara bagi umat Islam, Masjidil Aqsa menjadi kiblat pertama bagi umat Muslim di seluruh dunia, yang diabadikan dalam Al-Qur’an sebagai simbol pentingnya Palestina dalam surat Al-Isra. Dan tanah Palestina merupakan tanah Kharajiyah milik kaum muslimn sejak 637 M. Palestina memegang peran sentral dalam kehidupan spiritual dan sejarah agama-agama ini, dan ini menambah kompleksitas konflik di wilayah tersebut.
“Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” (QS. Al-Israa’:1).
Rasulullah memberikan pesan kepada kaum muslim, “Tidak boleh bersusah-payah berpergian, kecuali ke tiga Masjid, yaitu Masjidil Haram, masjid Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam, dan Masjidil Aqsha” (HR. Bukhari dan Muslim).
Setahun setelah Theodor Herzl menulis buku yang berjudul “Der Judenstaat,” sebuah pamflet yang menyerukan pengakuan politik atas tanah air Yahudi di wilayah yang saat itu dikenal sebagai Palestina, pada tahun 1897 Herzl mengadakan Kongres Zionis Pertama di Basel, Swiss. Salah satu kesepakatan utamanya adalah untuk membangun suatu negara bagi orang-orang Yahudi, yang memerlukan pencarian tanah yang dijanjikan oleh Tuhan bagi mereka, yaitu tanah Palestina.
Pada saat itu, pemilik tanah di Palestina adalah orang Muslim yang berada di bawah kekhalifahan Utsmaniyah yang dipimpin oleh Khalifah Abdul Hamid II. Untuk mewujudkan hasil Kongres Zionis tersebut, sekelompok orang Yahudi datang menemui Khalifah Sultan Hamid II dan meminta sebagian tanah untuk dijadikan pemukiman bagi umat Yahudi. Namun, apa yang menjadi jawaban dari Khalifah?
“Nasihatilah sahabat dekatmu, Herzl agar dia tidak mengambil Langkah-langkah yang baru seputar tema ini. sebab, saya sama sekali tidak bisa melepaskan satu jengkal tanah saja di antara tanah-tanah suci Palestina, karena negeri palestina bukanlah miliku. Tetapi, bumi Palestina adalah milik bangsaku. Nenek moyang saya telah melakukan peperangan untuk mendapatkan tanah ini dan telah mengalirinya dengan darah-darah mereka. Hendaklah orang yahudi menggenggam jutaan uang mereka. Jika negaraku tercabik-cabik, maka bisa jadi mereka mendapatkan Palestina dengan tanpa ganti. Tetapi dia harus memulai terlebih dahulu untuk mencabik-cabik mayat kami. Namun, saya tidak akan menerima jasad saya dicabik-cabik, sedangkan saya masih hidup.” (Al-Yahud wa Ad-Daulah Al-‘Utsmaniyyah, hal.120).
Namun, setelah runtuhnya kekhalifahan pada 1924 telah membuka pintu bagi pengaruh asing dan memicu perubahan mendalam di wilayah tersebut, memberikan orang Yahudi peluang baru dalam perburuan tanah Palestina untuk merealisasikan impian mereka. Proses ini diwarnai oleh imigrasi besar-besaran orang Yahudi ke Palestina dan menjadi elemen penting dalam penentuan masa depan gerakan zionis Yahudi di tanah Palestina.
Dalam buku “Jejak-Jejak Juang Palestina” karya Musthafa Abd Rahman, dijelaskan dua peristiwa sejarah yang menjadi akar penjajahan tanah Palestina oleh zionis Israel. Peristiwa pertama adalah perjanjian Sykes-Picot pada tahun 1916 antara Inggris dan Perancis yang mengakibatkan pembagian wilayah khilafah Utsmaniyah.
Perjanjian ini menetapkan bahwa Perancis akan menguasai wilayah Suriah dan Libanon sebagai jajahan mereka, sedangkan Inggris mendapatkan kendali atas wilayah Irak dan Yordania. Sementara itu, Palestina diberi status sebagai wilayah internasional.
Selanjutnya, peristiwa deklarasi Balfour pada 1917. Perjanjian ini menjanjikan sebuah negara Yahudi di tanah Palestina pada gerakan Zionis. Adanya kedua perjanjian ini membawa warga Yahudi di Eropa mulai bermigrasi ke tanah Palestina pada tahun 1918, dan 1930-an. Dengan persetujuan pemerintahan Inggris, gerakan Zionis memasukan imigran Yahudi secara besar-besaran ke Palestina. Tentu saja, ini mendapat penolakan dari rakyat Palestina.
Dengan status sebagai wilayah internasional. PBB, sebagai Lembaga Internasional yang katanya berperan menjaga perdamaian dunia, melemparkan masalah ini ke forum sidang Majelis Umum PBB, menghasilkan Resolusi bernomor 181 pada 29 November 1929, yang membagi tanah Palestina menjadi 2 bagian.
Di mana pendatang Yahudi mendapat porsi tanah yang lebih luas dari pada sang pemilik tanah, yaitu rakyat Palestina. Persentasenya adalah 56% untuk Yahudi dan 44% untuk Arab (Palestina). Resolusi No. 181 ini diakui dan didukung oleh 33 negara yang disponsori oleh Barat, 13 negara menolak, dan 10 negara abstain.
Resolusi yang diinisiasi oleh PBB dan negara-negara Barat, diklaim sebagai solusi untuk konflik Palestina-Israel. Maka, PBB yang sebenarnya menjadi biangkerok penjajahan tanah Palestina sampai saat ini. karena, melalui resolusi ini adanya pengakuan dan dukungan penyerahan sebagian tanah Palestina kepada entitas zionis Israel, membuka jalan bagi entitas zionis Israel untuk terus menginvasi tanah Palestina dan akhirnya menjadikannya sebagai negara Israel.
Rekam jejak penjajahan secara jelas menunjukkan bahwa upaya untuk mencapai kemerdekaan tidak pernah bisa terwujud tanpa perjuangan memerangi untuk mengusir entitas penjajah Israel dari tanah Palestina. Faktanya, entitas penjajah ini memiliki ambisi yang jelas untuk menjadikan tanah Palestina sebagai tanah air mereka. Keinginan ini telah terungkap secara nyata dan terbuka, baik dari pihak zionis Yahudi sendiri maupun dari negara-negara sekutu Israel khususnya Amerika Serikat (AS).
Setelah serangan Hamas ke wilayah Israel pada Sabtu, 7 Oktober 2023, negara-negara Barat, termasuk Amerika Serikat dan sekutunya, yang menganggap diri mereka sebagai penjaga perdamaian dunia dan menjadi anggota PBB, secara bersama-sama mengungkapkan sikap mereka. Mereka mengecam kelompok Islam Hamas dan mendeklarasikannya sebagai kelompok teroris.
Lebih dari itu, Amerika Serikat secara terang-terangan menjanjikan dukungan penuh kepada Israel, termasuk pengiriman kapal induk dan seluruh dukungan yang dibutuhkan oleh Israel untuk menyerang Gaza. Jadi masih bisakah umat Islam dunia dan rakyat palestina khususnya, berharap masalah penjajahan palestina diserahkan dan diselesaikan oleh PBB?
Ataukah kepada negara-negara Arab, terutama Uni Emirat Arab, Bahrain, Sudan, dan bahkan beberapa negara lain yang kemungkinan akan menyusul mereka, telah menormalisasi hubungan politik mereka dengan Israel melalui kesepakatan Abraham yang dimotori oleh Amerika Serikat. Kesepakatan ini melibatkan pemulihan hubungan diplomatik dengan Israel serta kerja sama dalam berbagai sektor, termasuk ekonomi, teknologi, dan keamanan untuk kepentingan nasional mereka.
Bagi Palestina, normalisasi seperti ini merupakan pukulan berat dan pengkhianatan terhadap perjuangan mereka dalam mencapai kemerdekaan dan hak mereka atas tanah air mereka. Mereka melihat normalisasi semacam ini hanya memperkuat pendudukan Israel dan melemahkan posisi dalam negosiasi mereka.
Penjajahan entitas zionis Israel terhadap Palestina telah berlangsung terlalu lama dan menelan banyak korban. Saat ini, umat Islam terjebak dalam jeratan ideologi sekuler kapitalisme yang cenderung melemahkan ikatan akidah dalam persoalan yang mendera seluruh umat Islam di dunia, termasuk dalam konteks perjuangan Palestina.
Sehingga pemimpin negeri-negeri muslim yang seharusnya menyatukan umat, bergerak memimpin umat untuk menyerang dan mengusir penjajah Israel dari tanah palestina karena Palestina adalah tanahnya umat Islam yang tidak dapat dilepaskan dari ajaran Islam. Namun, pada praktiknya hanya bisa mengaung mengecam tindakan Israel seperti seekor kucing yang menggemaskan bagi Israel dan negara-negara Barat.
Untuk membalikkan situasi saat ini, umat harus mengembalikan dan menegakan kembali sebuah institusi politik global yang menyatukan umat Islam seluruh dunia dan seorang pemimpin yang disebut Khalifah yang memainkan peran sentral dalam mempertahankan identitas dan kesatuan umat Islam.
“Wahai orang-orang yang beriman! Jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya dia akan menolongmu dan meneguhkan kadudukanmu” (QS Muhammad: 7).
“Bunuhlah mereka (yang memerangimu) di mana pun kamu jumpai dan usirlah mereka dari tempat mereka mengusirmu. Padahal, fitnah itu lebih kejam daripada pembunuhan. Lalu janganlah kamu perangi mereka di Masjidilharam, kecuali jika mereka memerangimu di tempat itu. Jika mereka memerangimu, maka perangilah mereka. Demikianlah balasan bagi orang-orang kafir.” (QS Al-Baqarah: 191).
Comment