Indonesia Darurat Regulasi Emosi Pada Anak

Opini828 Views

 

 

Penulis: Hemi Nurul Afifah, S.Pd.I | Guru SMK dan Founder MT. Khairu Mustanirah, Pemerhati Remaja

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Akhir- akhir ini laman berita dipenuhi dengan kasus kekerasan yang dilakukan oleh sejumlah pelajar di Indonesia. Banyak pemicu yang menyebabkan kasus kekerasan ini terjadi, dari masalah yang sepele hingga ke masalah yang kompleks. Namun lebih banyal dilatarbelakangi masalah sepele.

Dua minggu terakhir ini ada beberapa kasus kekerasan dan penganiaayaan di Demak yang viral di media sosial. Seorang siswa tega membacok guru karena tidak diikutkan ujian PTS oleh sang guru. Guru tidak mengizinkan ikut ukian sebab si pelaku tidak menyelesaikan beberapa tugas yang menjadi syarat mengikuti ujian.

Laman kompas.com menulis bahwa  MAR, seorang siswa yang masih duduk di kelas XII salah satu Madrasah Aliyah (MA), Kabupaten Demak, Jawa Tengah membacok gurunya (AFR) saat mengawasi Penilaian Tengah Semester (PTS), Senin (25/9/2023).

Akibatnya, korban (AFR), guru olahraga dan kesiswaan itu mengalami luka di bagian leher. Beruntung, nyawanya masih terselamatkan. Kapolres Demak AKBP Muhammad Purbaya mengungkapkan, kronologi bermula ketika AFR tengah mengawasi PTS dan membagikan soal di kelas XII IPS. Tiba-tiba, pelaku MAR, masuk ke dalam ruangan sambil mengucapkan salam. Pelaku kemudian mengeluarkan sabit dari belakang pinggangnya dan mengarahkan senjata tajam itu ke AFR.

“Sabit mengenai bagian leher korban sebelah kanan dan lengan sebelah kiri,” ucapnya.

Usai melakukan tindakan keji kepada gurunya itu, MAR berlari keluar kelas dan melemparkan sabit ke lapangan. Dia kemudian pergi menggunakan sepeda motor.

Kasus kekerasan penganiaayaan tidak terjadi pada anak tingkat atas saja bahkan anak didik tingkat menengah dan dasar juga melakukan hal serupa.

Dilansir dari detik.com

Dalam video yang ditauang di laman detik.com terjadi penganiayaan oleh siswa SMP yang beredar di media sosial, pelaku dan korban terlihat memakai seragam sekolah yang sama. Peristiwa itu diketahui terjadi di SMPN 2 Cimanggu. Polisi kemudian turun tangan dan mengamankan dua pelaku, siswa inisal WS (14) dan MK (15).

Kini keduanya sudah jadi tersangka. “Sudah kemarin (ditetapkan tersangka)” kata Kasat Reskrim Polresta Cilacap Kompol Guntar Arif Setyoko melalui pesan tertulis, dilansir detikJateng, Jumat (29/9/2023).

Motif  tindakan penganiayaan disebabkan oleh sekelompok siswa. Dijelaskan bahwa korban mengaku termasuk dalam kelompok di mana si pelaku merupakan ketua di kelompok tersebut. Namun pelaku tidak mengaku bahwa si korban merupakan teman satu kelompok siswa tersebut. Perbedaan pendapat ini yang membuat pelaku kesal dan menganiaya si korban sehingga mengalami luka yang cukup serius di tubuh korban.

Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menyatakan kekerasan seksual di lembaga pendidikan harus menjadi perhatian bersama. Menurut laporan Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2023, kasus kekerasan pada lembaga pendidikan mengalami peningkatan signifikan dibanding tahun sebelumnya, yaitu dari 12 kasus menjadi 37 kasus.

Bentuk kekerasan seksual ini meliputi, pencabulan, percobaan perkosaan, pelecehan verbal hingga kriminalisasi.
Apa yang menyebabkan kekerasan anak didik menjadi meningkat, salah satunya adalah gagalnya regulasi emosi pada diri anak. Apa itu regulasi emosi? Regulasi emosi adalah kemampuan yang kita miliki untuk bisa mengatur emosi dari dalam diri, sehingga kita tidak larut dalam emosi. Regulasi emosi juga merupakan proses multidimensi yang dipengaruhi oleh banyak faktor.

Pengalaman masa kecil, temperamen, dukungan sosial, kemampuan kognitif, dan faktor budaya memainkan peran penting dalam bagaimana individu mengatur emosi mereka.

Mengidentifikasi dan memahami pengaruh-pengaruh ini dapat membantu mengembangkan strategi pengaturan emosi yang efektif dan mendorong kesejahteraan dan hubungan interpersonal yang lebih baik.

Solusi Islam dalam terkait kasus kekerasaan, penganiayaan dan regulasi emosi pada diri anak. Allah menciptakan naluri mempertahankan diri.  Dalam naluri ini salah satunya adalah amarah, bagaimana Islam menjadi solusi yang apik untuk regulasi emosi ini.

Pengalaman masa kecil

Anak- anak yang memiliki pengalaman buruk di masa kecil yang baik, responsif, penuh perhatian kualitas interaksi dan keterikatan yang baik maka cenderung mengembangkan kelekatan yang aman menjadi pondasi yang sehat untuk regulasi emosinya.

Sebaliknya pengalaman masa kecil yang buruk dan gaya pengasuhan yang tidak konsisten dapat menghambat perkembangan keterampilan regulasi emosi yang efektif.

Keluarga menjadi wadah anak- anak mendapatakan ilmu dasar pengelolaan emosi ini, namun acap kali keluarga atau orang tua tidak menjadikan tempat ternyaman untuk anaknya. Pentingnya orang tua menyadari kebutuhan anak yang tidak hanya sekedar kebutuhan perut dan sekolahnya namun juga menyadari kebutuhan pengelolaan emosi di diri anak.

Jangan sampai justru orang tua yang membentuk luka batin masa kecil sehingga membuat anak tak mampu meregulasi emosinya. Ayah dan Ibu harus dengan sadar menjalankan tugasnya mendidik anak yang berlandaskan al quran dan hadist.

Tempramen
Temperamen menjadi sifat bawaan lahir, tetapi bisa dipengaruhi pula oleh keluarga, lingkungan, budaya, atau pengalaman hidup. Meski penyebutannya hampir sama, istilah ini berbeda dengan temperamental.

Temperamental sering dikaitkan dengan karakter orang yang mudah marah. Padahal, sifat ini sebenarnya lebih menggambarkan perasaan yang cepat berubah akibat penyebab yang jelas. Misalnya, mudah marah ketika ada sesuatu yang mengganggu atau cepat berbesar hati saat seseorang memberi sedikit pujian. Artinya, sifat ini ada jika diransang dari luar.

Sesuatu yang temporal seharusnya akan lebih mudah diatur dan diolah, tergantung pada diri si penerima pesan temporal ini, akankah dilampiaskan atau hanya sekedar membiarkannya dan menganggapnya sesuatu yang tak begitu berarti.

Pentingnya mengkaji Islam, mendekatkan diri pada Allah, mempelajari, memaknai dari sirah- sirah Nabi agar dewasa menanggapi masalah. Cara seperti ini harus dimiliki oleh anak didik saat ini, agar mereka terlatih bisa menilai, menahan atau melampiaskan dengan cara yang baik.

Dalam hadist dikatakan, dari Abu Hurairah RA, Nabi Saw bersabda, “Orang yang kuat itu bukanlah karena jago gulat, tetapi orang kuat ialah orang yang dapat menahan dirinya di kala sedang marah.” (HR Bukhari dan Muslim).

Pada hadist lain dikatakan, “Dari Abu Hurairah RA bahwa ada seorang laki-laki berkata kepada Nabi SAW, “Berilah wasiat kepadaku.” Sabda Nabi SAW: “Janganlah engkau mudah marah.” Maka diulanginya permintaan itu beberapa kali. Sabda beliau, “Janganlah engkau mudah marah.” (HR Bukhari).

Dukungan sosial
seorang pakar hubungan terkemuka, menekankan pentingnya dukungan sosial dalam regulasi emosi. Jaringan dukungan keluarga, teman, dan rekan kerja dapat memberikan validasi emosional, pemahaman, dan panduan selama masa-masa sulit. Akan lebih menyenangkan jika dukungan itu datang dari mereka yang faham akan peraturan- peraturan Allah sehingga dukungan yang diberikan adalah dukungan yang memuaskan akal, menentramkan jiwa.

Sehingga tidak menyisakan persoalan lama mapun menambah permasalahan baru. Pentingnya menjaga circle memahami Islam sehingga menjadikan diri lebih tenang dan tentram ketika menghadapi persoalan.

Ketrampilan kognitif
Proses kognitif seperti perhatian, ingatan, dan pemecahan masalah memainkan peran penting dalam regulasi emosi. Orang dengan kemampuan kognitif yang berkembang dengan baik, seperti kesadaran diri dan penilaian kognitif, dapat mengatur emosi mereka dengan lebih efektif.

Orang yang mampu mengkaitkan permasalahan dengan hukum- hukum Allah akan terjaga regulasi emosinya, sebab mereka yang mengetahui apa- apa yang menjadi peritah Allah dan mengetahui dampak dari melakukan larangan Allah akan mampu membatasi diri dan menjaga diri dalam bertindak, menyesuaikan respon yang tepat terhadap masalah.

Faktor budaya
Budaya menjadi faktor penting untuk menentukan regulasi emosi seorang anak. Namun nyatanya di lapangan budaya yang ada di sekitar bukanlah penentu yang utama, namun budaya baru yang diciptkan oleh anak tersebut, seperti budaya asing yang ia adopsi dari sebuah kebiasaan menonton atau bahkan bermain game.

Tontonan yang tidak dibatasi oleh dirinya, orang tuanya atau bahkan pemerintahan negara ini. Hal ini membuat anak- anak dengan mudah mengakses totntonan apa yang mereka inginkan. Anak- anak yang cinta dengan artis K POP Korea, memilih semua tontonannya tentang Kpop tersebut, inilah yang menyebabkan anak- anak membuat budaya baru dari kebiasaan yang salah.

Begitu juga dengan game, dalam permainan game seperti game perang. Anak- anak terpacu tempramennya sebab keinginannya untuk menang tak sesuai harapannya, maka dengan mudah mereka melemparkan kata- kata kasar bahkan sering pula amarah mereka, mereka luapkan di dunia nyata. Inilah budaya baru mereka yang mereka ciptkan dari kebiasaan yanhg salah.

Ini pulalah menjadi pemicu mereka menjadi anak- anak yang tidak bisa meregulasi emosinya dengan benar. Di sinilah anak- anak butuh pengoptimalan peran orang tua dalam menjaga anak- anak mereka dari perkembangan zaman yang salah. Pemerintah mampu memblok situs game yang mempengaruhi regulasi emosi anak- anak. Menyadur tontonan atau tayangan yang masuk ke dalam situs Indonesia. Wallahu ‘alam bishoab.[]

Comment