Anak, Antara Investasi dan Eksploitasi

Opini128 Views

 

Penulis; Khaeriyah Nasruddin | Mahasiswi Pascasarjana UIN Alauddin Makassar

 

RADARINSONESIANEWS.COM, JAKAKITA —  Merindukan anak-anak Indonesia,
diberi kesempatan mendaki seluruh jenjang pendidikan, sehingga terpelajarlah wajah bangsa,
mendapat pencerahan pada rohaninya,
menjadi insan yang bekerja keras dalam ketakwakalan dan senantiasa hidup di bawah naungan kejujuran.

Agaknya apa yang diharapkan itu seperti dalam potongan puisi Taufik Ismail, jauh panggang dari api. Kondisi anak-anak Indonesia amat mempihatinkan dari waktu ke waktu bahkan bisa dibilang wajah bangsa telah tercoreng. Belum usai satu persoalan muncul persoalan lain lebih menggenaskan, ditambah lagi masifnya digitalisasi yang makin memperparah keadaan. Kejahatan dibuat ciamik – bermaksud ingin membantu malah menjerumuskan dan merusak masa depan anak.

Sebut saja kasus eksploitasi anak yang dilakukan oleh FEA, yaitu menawarkan prostitusi online via media sosial. Pelaku seperti ditulis republika.co.id (23/9/2023) melakukan aksinya pada korban SM (14) dan DO (15), selain itu masih ada 21 orang anak yang dieksploitasi secara seksual. Pelaku memasang tarif bagi perempuan berstatus perawan sebesar Rp 7-8 juta/jam dan untuk nonperawan ditawarkan Rp 1,5 juta/jam.

Dari kota Medan, didapati dua panti asuhan melakukan aksi eksploitasi terhadap anak. Laman cnnindonesia (22/9/2023) menulis, sebanyak 41 anak dijadikan korban. Aksi yang dilakukan dan berhasil direkam oleh netizen adalah saat seorang pria sedang memberi makan bubur dan air putih pada bayi berusia 2 bulan. Panti asuhan itu beroperasi dengan memanfaatkan anak-anak panti agar netizen iba dan memberikan gift dan menstransfer uang. Dalam satu bulan bisa mendapatkan Rp 20-50 juta.

Terungkapnya kasus prostitusi dan eksploitasi anak seperti ini tetap saja mengejutkan banyak orang. Tentu saja – sebab pelakunya adalah anak di bawah umur dan lebih menyedihkan lagi mereka melakukan perbuatan tersebut dengan niat ingin membantu perekonomian keluarga.

Fakta ini menunjukkan bahwa keberadaan anak saat ini tidak aman. Mereka rentan dimanfaatkan oleh segelintar orang demi meraup keuntungan materi. Anak yang seharusnya dididik dengan baik, dilimpahi kasih sayang malah dieksploitasi untuk tujuan dan kepentingan ekonomi. Padahal melalui mereka ada investasi besar, yakni amal yang terus mengalir.

Kasus ekspolitasi anak akan terus terjadi dan berkembang dengan berbagai macam cara. Pelakunya pun tak pandang bulu, baik ia anak yang masih berumur jagung atau berstatus orang tua.

Sejujurnya kejadian begini tidak mengherankan meski berkali-kali mengiris nurani kita sebagai seorang manusia. Penyebabnya anak berada dalam lingkungan yang tidak kondusif sementara negara yang seharusnya menjadi penjaga justru gagal menjamin hak keamanan mereka. Meskipun berbagai mekanisme seperti pemberlakuan UU, program-program pemerintah dengan membentuk kementerian atau komisi, bahkan hadirnya lembaga-lembaga sosial nyatanya belum menjamin keselamatan anak.

Prostitusi anak jelas merupakan masalah besar bagi bangsa  Dalam Pasal 63-66 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia secara khusus menyatakan bahwa anak-anak berhak dilindungi dari berbagai eksploitasi baik ekonomi,  seks, penculikan, perdagangan, obat-obatan, dan penggunaan narkoba dan dilindungi selama proses hukum. Sayangnya, hal ini malah terus meningkat.

Hilangnya pengawasan orang tua dan negara saat ini dipengaruhi oleh penerapan sistem kapitalisme. Semua dibuat sibuk mengejar materi sebanyak-banyak. Dalam hal ini, tanpa sadar, masyarakat pun turut abai. Mereka hanya menunjukkan sikap empati tanpa mampu turun tangan melindungi anak-anak.

Negara pun sibuk dan lebih fokus pada persoalan infrastruktur dan investasi asing, pembangunan infra struktur, isu teroris, radikalisme dan dst sehingga persoalan krusial terabaikan. Padahal anak-anak yang hadir saat ini adalah masa depan sebuah bangsa.

Kemajuan sebuah bangsa dapat dilihat perkembangan dan kondisi anak-anak muda sebagai generasi bangsa. Bukankah telah kita sadari bahwa Indonesia akan mendapatkan bonus demografi? Tapi mengapa kemudian tanpa disadari justru kita terkesan menelantarkan bonus demografi tersebut?

Miris, inilah fakta kapitalisme yang hanya disibukkan dengan kepentingan manfaat dan berorentasi pada keuntungan materi semata.  Media sosial pun dibiarkan begitu saja tanpa adanya filter dan disiplin kebijakan. Inilah potret kegagalam kapiltalisme.

Hal ini tentu berbeda dengan Islam. Islam menetapkan negara sebagai pihak yang bertanggung jawab menjamin keamanan anak. Negara dalam konsep islam memiliki berbagai mekanisme perlindungan anak termasuk jaminan kesejahteraan, pendidikan kepribadian Islam, dan pemberian sanksi yang menjerakan bagi pelaku kejahatan.

Dalam islam, anak yang belum baligh,  pengasuhannya tetap berada pada orang tua. Dengan begitu anak tidak perlu bekerja demi menghidupi diri dan keluarga yang serba kekurangan sebab Islam telah menjamin kebutuhan dasarnya.

Dalam pendidikan, Islam menyiapkan pendidikan yang berkualitas tanpa memungut biaya. Dengan demikian,  anak dapat menuntut ilmu sampai level tingkat tinggi.

Kurikulum yang diterapkan berdasarkan akidah islam sehingga mampu melahirkan individu-individu bertakwa, yang senantiasa melaksanakan perintah dan menjauhi larangan Allah.  Kalaupun ada yang berani melanggar maka negara tak tanggung memberikan sanksi menjerakan kepada mereka. Tentu sanksi ini telah ditetapkan berdasarkan syariat tanpa bisa diperjual-belikan oleh mereka yang memiliki uang dan kekuasaan.

Masyarakat juga memiliki peran dan melakukan amar ma’ruf nahi munkar sehingga tercipta atmosfer saling menjaga antar satu sama lain.

Demikianlah cara Islam memberi jaminan perlindungan terhadap anak sehingga mereka tumbuh dengan baik tanpa diintai oleh bahaya yang merusak fitrahnya.[]

Comment