TikTok Shoppe Terancam Dilarang, Efektifkah untuk UMKM?

Opini241 Views

 

 

Penulis: Neno Salsabillah | Pengusaha UMKM

 

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Belum lama ini seperti ditulis liputan6.com, Menteri Koperasi dan UKM (MenKopUKM) Teten Masduki menolak TikTok, platform media sosial asal China menerapkan bisnis media sosial dan e-commerce secara bersamaan di Indonesia.

Pelarangan tersebut bukan hanya di Indonesia namun dilakukan juga oleh sejumlah negara seperti Amerika Serikat dan India.

India dan Amerika Serikat berani menolak dan melarang TikTok menjalankan bisnis media sosial dan e-commerce secara bersamaan. Sementara, di Indonesia TikTok bisa menjalankan bisnis keduanya secara bersamaan.

Jadi menurutnya tiktok masih boleh berjualan, hanya saja tidak bisa disatukan dengan media sosial. Upaya tersebut dilakukan untuk mencegah praktik monopoli yang merugikan UMKM domestik.

Beliau mengatakan bahwa dari riset dan survei kita tahu orang belanja online itu dinavigasi, dipengaruhi perbincangan di media sosial. Belum lagi sistem pembayaran, logistiknya mereka pegang semua. Ini namanya monopoli.

Menteri Teten juga akan mengatur tentang cross border commerce agar UMKM dalam negeri bisa bersaing di pasar digital Indonesia. Selain itu langkah tersebut dilakukan untuk melindungi pelaku industri dalam negeri dari gempuran barang impor.

Namun Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno menilai, larangan beroperasinya media sosial dan e-commerce dalam aplikasi yang sama, seperti TikTok Shop, justru akan mengganggu keberlangsungan pelaku UMKM.

Pasalnya, saat ini sudah banyak UMKM yang mengandalkan TikTok Shop sebagai platform dagangnya. Karena lanjutnya seperti ditulis tribunsolo Sabtu (16/9/2023), kalau total pengguna Tiktok ini sudah di atas 100 juta pasti akan menghadirkan disrupsi yang terlalu besar. Apalagi kita baru bangkit menciptakan ekonomi.

Persaingan Platfrom

Saat ini kita banyak melihat para pedagang online yang gencar live streaming di TikTok. Mereka menawarkan dagangannya bukan lagi di pasar secara face to face. Namun secara online ditawarkannya dan juga transaksinya,

TikTok saat ini bermetamorfosis menjadi platform multiguna. Bukan sekadar media sosial ajang berselvi, bernyanyi ataupun berjoget ria. Namun aplikasi besutan raksasa teknologi ByteDance ini, telah menjadi social commerce melalui fitur TikTok Shop dan TikTok Live-nya.Bukan hanya itu, para penggunanya juga dimanjakan dengan fitur transaksi perdagangan, sekaligus media sosial secara berbarengan.

Selain itu TikTok juga bersaing memperebutkan potensi pasar shoppertainment termasuk live streaming di Indonesia US$ 27 miliar atau sekitar Rp405 triliun pada 2025. Dengan cara gencar memberikan diskon atau ‘bakar uang’.

Saat ini TikTok mengadopsi konsep Shoppertainment, yaitu perdagangan berbasis konten yang di dalamnya mengutamakan hiburan dan juga edukasi. Selain itu TikTok juga mengintegrasikan konten dan komunitas.

Head of Global Business Solutions, Asia Pacific, Middle East, Africa & Central Asia TikTok Shant Oknayan mengatakan, potensi bisnis belanja shoppertainment termasuk live streaming di Indonesia US$ 27 miliar atau sekitar Rp 405 triliun pada 2025. Di Asia Pasifik, nilainya bisa mencapai US$ 1 triliun.

Data tersebut berdasarkan studi TikTok dan Boston Consulting Group (BCG) yang bertajuk ‘Shoppertainment: APAC’s Trillion-Dollar Opportunity’ di seluruh pasar Asia Pasifik, termasuk Indonesia, Thailand, Vietnam, Australia, Korea Selatan, dan Jepang.(katadata.co)

Berdasarkan data internal Hypefast, alasan merek lokal memilih TikTok Shop yakni:

1. Pemain brand lokal aktif yang lebih sedikit viaya yang diambil atau merchant fee TikTok Shop lebih rendah.
Mengusung konsep live shopping
Profil konsumen yang sangat responsif terhadap penjualan produk dengan diskon besar

“Perilaku konsumen ini menjadikan lebih banyak brand lokal mengfungsikan TikTok Shop sebagai kanal flashing out inventories,” demikian dikutip data Hypefast.

Pandangan Ekonom

Pengamat Ekonomi Digital Ignatius Untung Surapati menegaskan social commerce (s-commerce) tidak merugikan usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) dan justru bisa bantu mendongkrak penjualan.

Beliau mengatakan demikian, merespons pemerintah yang menilai bahwa s- commerce dapat menggerus UMKM. Selain itu pemerintah juga beranggapan jika sebuah platform seharusnya menjalankan fungsinya masing-masing, media sosial saja atau e-commerce saja, bukan melakukan keduanya.

“Social commerce itu tidak merugikan UMKM. Banyak UMKM yang jualannya luar biasa, ya karena adanya social commerce. Social commerce itu tidak punya dampak negatif apapun terhadap UMKM,” kata dia dalam talkshow ‘Dampak Social Commerce Pada UMKM di Indonesia’ di Jakarta Selatan, Jumat (15/9).

Dia juga mengatakan, seharusnya pemerintah tidak menyalahkan keberadaan social commerce ketika penjual UMKM ada yang merugi. Ia mengatakan bahwa kedua hal tersebut tak ada kaitannya.

“Jadi itu persaingan bisnis, bukan masalah online offline, enggak. Tidak ada hubungan merugikan. Walaupun tidak berhasil, bukan karena social commerce yang merugikan, tapi memang karena dia tidak bisa bersaing,” tegas dia.

Untung juga mengatakan, social commerce seperti TikTok Shop kini bisa menjadi booming karena penggunanya cenderung mencari hiburan yang kemudian algoritma membuatnya melihat sesuatu yang relevan sehingga mendorongnya untuk belanja.

Dilems Para Pedagang

Setelah dus tahun pandemi, para pedagang mulai bangkit kembali dengan mencoba berjualan online. Karena kondisi di kios-kios atau mal-mal sangat sepi. Mereka pun memulai dagangnya dengan online di TikTok.

Beberapa pengakuan para pedagang, dengan adanya paltfrom TikTok penjualan mereka meningkat. Seperti di tanah abang yang kini diberitakan kios-kios mulai sepi bahkan banyak yang tutup. Namun sebagian dari mereka tetap buka dan melakukan penjualan live streming di TikTok hasilnya lumayan, ketimbang jualan hanya di kios.

Salah satunya Nayla pedagang tanah abang. Dia merasa terbantu dengan fitur media sosial dan e-commerce milik TikTok. Barang dagangannya jadi lebih mudah menyasar pembeli.(tirtoid)

“Kalau misal, masalahnya ada di barang impor ilegal atau masuk sini, ya dibereskan itu lho. Bukan orang dilarang jualan di TikTok. Sudah coba pindah ke sini (TikTok) dan mulai laku padahal, lagian ini UMKM juga, kami UMKM lokal,” ujar Nayla.

Nayla juga kurang setuju jika kabar sepinya omset para pedagang konvensional disalahkan sepenuhnya karena kegiatan berjualan secara daring. Ia meminta pemerintah lebih jelas mengatur aturan berdagang secara daring dan tidak merugikan pedagang yang sudah mulai beradaptasi di era digital.

“Begini, sejak pandemi, kan, memang ini toko-toko tutup. Kami sejak itu mulai coba berjualan online, ya ada yang untung, akhirnya ada yang enggak buka kios lagi. Jadi ada banyak faktor di sini (Tanah Abang) sepi,” katanya.

Begitulah kondisinya ketika diatur oleh sistem kapitalis. Penguasa tak mampu  mewujudkan iklim bisnis yang kondusif. Pengusaha lokal dipungut pajak yang menjadikan harga produk tidak kompetitif. UMKM dilepas ke pasar bebas unruk bersaing dengan korporasi besar dunia. Hasilnya, pendapatan dari perdagangan digital hanya dinikmati asing. Meski sebagian pedagang lokal ada yang diuntungkan namun tidak sebesar asing.

Jelas semuanya, seruan atau wacana untuk pelarangan berjualan di TikTok shop atau mencintai produk dalam negeri dan dorongan UMKM untuk memanfaatkan perdagangan digital dalam memenuhi pasar nasional maupun internasional tidak cukup untuk menyelamatkan pengusaha dalam negeri.

Berbagai kesepakatan bilateral, regional dan internasional dalam perdagangan telah berjalan dan telah nyata merugikan pengusaha dalam negeri. Inilah dampak penerapan sistem ekonomi kapitalisme yang melahirkan liberalisasi perdagangan.

Perdagangan Dalam Islam

Berbeda ketika perdagangan diatur dalam sistem Islam. Islam menjamin semua pedagang yang menjadi warga negara. Perdagangan, dari segi ruang lingkupnya, dibedakan menjadi perdagangan dalam negeri (domestik) dan perdagangan luar negeri (ekspor-impor).

Perdagangan domestik adalah transaksi perdagangan yang terjadi di antara individu warga negara. Untuk perdagangan domestik, ketentuannya sangat mudah, yakni sesuai dengan hukum-hukum jual-beli yang telah dinyatakan syariah. Sistem Islam menjalankan perdagangan berdasarkan pelaku perdagangan (pedagangnya), apakah warga negara sendiri atau warga negara asing.

Ketentuan lain adalah tarif (pajak) ekspor dan impor. Pedagang yang merupakan warga negara tidak boleh dikenai pajak (tarif/bea cukai) ekspor maupun impor oleh negara. Hal ini didasarkan sabda Rasulullah saw.:

لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ صَاحِبُ مَكْسٍ

Tidak akan masuk surga orang yang memungut cukai (HR Abu Dawud, Ahmad dan ad-Darimi).

Adapun pengambilan beacukai atau tarif (pajak) ekspor dan impor dari pedagang-pedagang yang bukan dari warga Negara Islam dibolehkan. Namun, negara dapat juga membebaskan mereka dari pajak atau biaya apapun jika itu dipandang baik bagi kemaslahatan kaum Muslim.

Dengan demikian, Islam melihat posisi pedagang dari besar-kecilnya perdagangan yang mereka lakukan, artinya tidak membedakan antara pedagang besar dan pedagang kecil. Hal yang diperhatikan apakah mereka warga negara atau bukan warga negara.

Setiap pedagang, besar maupun kecil, yang merupakan warga negara berdasarkan syariah Islam akan mendapatkan perlakukan yang sama serta mendapat jaminan kesempatan dan peluang yang sama untuk menjalankan kegiatan usahanya. Negara memfasilitasi pedagang besar untuk menjalankan usahanya agar berjalan dengan lancar sekaligus menjamin agar pedagang kecil dapat tetap berusaha tanpa harus kalah bersaing dengan pedagang besar.

Dengan kemajuan teknologi, negara terus mengupdate dan memberikan pelatihan atau edukasi terkait platform digital baik media sosial ataupun e-ommerce. Sehingga rakyat bisa mengembangkan usahanya dengan menyesuaikan era digital saat ini.

Semua aturan tekait perdagangan ini, jika dipraktikan dalam akan melindungi para pedagang dalam negeri. Mereka akan mudah melakukan bisnis dalam negeri maupun ekspor impor.

Semua teriayah dengan baik. Sehingga semua warga negara daulah akan memperoleh kesejahteraan dan kemakmuran. Wallahu’alam bishawab.[]

Comment