Penulis: Rahmi Surainah, M.Pd | Alumni Pascasarjana Unlam
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA- Titik api kebakaran hutan dan lahan (karhutla) paling banyak terjadi di Kalimantan Timur berada di Kabupaten Berau. Wakil Bupati Berau, Gamalis mengimbau masyarakat agar menganggap kasus karhutla ini bukan lagi sebagai masalah kecil sehingga tidak membuka lahan dengan cara dibakar.
Sementara itu, Kasat Reskrim Polres Berau AKP Ardian Rahayu Priatna mengatakan dalam kurun 4 tahun terakhir pihaknya berhasil mengamankan puluhan pelaku pembakaran lahan yang menyebabkan terjadinya karhutla. Pihaknya telah berhasil menangani 10 Laporan Polisi (LP) dan mengamankan 20 tersangka pelaku karhutla. Dari 10 LP tersebut, 68 hektare lahan terbakar dan menjadi penyebab Kabupaten Berau menjadi penyumbang kebakaran terbanyak se-Kaltim hingga saat ini.
Kepala BPBD Berau, Thamrin mengatakan saat ini jumlah personel yang ada di markas BPBD Tanjung Redeb ada 28 orang. Kemudian di setiap kecamatan ada 2-3 orang. Karena terbatasnya jumlah personel di setiap kecamatan, ia saat ini tengah mengusulkan untuk penambahan jumlah personel yang berada di setiap kecamatan. Dia berharap melalui dana DPH-DR sebanyak Rp 9 miliar akan ada anggaran penambahan personel.
Apalagi sebelumnya karena kendala terbatasnya personel dan mobil akhirnya kesulitan memadamkan api. Hanya dengan memanfaatkan personel yang ada dan di-back up TNI/Polri dan warga baru mampu memadamkan karhutla yang terjadi di sekitar Madrasah Tsanawiyah (MTs) Labanan Makarti, Selasa (1/8). (Baraupost.co, 1/8/2023)
Negara Terkendala Atasi Karhutla
Demikianlah insiden karhutla yang terjadi di daerah Berau. Musim kemarau memang kerap dimanfaatkan oleh pemilik lahan untuk membuka lahan dengan cara membakar. Lebih efisien dan ekonomis dibandingkan membersihkan lahan dengan menebang dan membersihkan jadi alasan dibakar. Tidak sedikit pembakaran lahan terpaksa dilakukan masyarakat karena tingginya biaya hidup dari pada membuka lahan manual dan mekanik, membakar jauh lebih murah dan cepat.
Berulangnya karhutla menunjukkan rendahnya kesadaran masyarakat dan gagalnya edukasi yang dilakukan pemerintah untuk mencegah karhutla. Negara tidak menjamin dan memenuhi kebutuhan ekonomi petani sehingga mereka sendiri berjuang tanpa bantuan negara.
Sebenarnya, faktor kesengajaan manusialah penyebab karhutla ditambah saat ini kondisi suhu panas yang meningkat/ El Nino. Dampak dari El Nino adalah kondisi kering dan berkurangnya curah hujan. Panas ekstrim pun terjadi sebenarnya berawal dari karhutla, artinya deforestasi karena kapitalisasi hutan berujung kondisi alam terganggu.
Oleh karena itu, tidak bijak juga menyalahkan pihak masyarakat tanpa didukung pemerintah dalam hal bantuan teknik pembukaan lahan. Misalnya membantu menyediakan layanan berupa alat berat atau teknologi untuk pembukaan lahan, modal pertanian yang terjangkau sehingga petani tidak berat atau banyak modal dalam bertani dan berkebun.
Selain itu, keberpihakkan penguasa terhadap para kapital dan korporat begitu besar dengan mengizinkan mereka dalam hal pengelolaan hutan dan lahan. Tidak sedikit demi meraih keuntungan yang lebih besar lahan pun dibakar. Tentu lahannya lebih luas dibanding milik masyarakat. Tidak ada tindakan yang tegas oleh negara, hanya sekedar ditangkap pelaku lapangan dan ganti rugi tanpa dicabut izin usahanya.
Negara terkendala mengatasi karhutla tidak hanya fasilitas dan personel yang terbatas. Tetapi dalam hal mencegah karhutla terjadi, negara lemah di hadapan para kapital buktinya tidak mampu mengakhiri karhutla.
Solusi Islam Akhiri Karhutla
Solusi Islam dalam mengakhiri dan mencegah karhutla berawal dari paradigma kepemilikan hutan dan lahan. Islam memiliki beberapa ketentuan dalam pengelolaan hutan dan lahan, di antaranya hutan termasuk dalam kepemilikan umum, bukan kepemilikan individu atau negara.
Ketentuan tersebut didasarkan pada hadits Rasulullah:
“Kaum muslimin berserikat dalam tiga hal: dalam air, padang rumput [gembalaan], dan api.” (HR. Abu Dawud, Ahmad, Ibnu Majah).
Selain itu, pengelolaan hutan hanya dilakukan oleh negara saja, bukan oleh pihak lain (misalnya swasta atau asing). Selain itu, negara wajib melakukan pengawasan terhadap pengelolaan hutan. Dalam kekhilafahan atau pemerintahan Islam fungsi pengawasan operasional lapangan ini dijalankan oleh lembaga peradilan, yaitu Muhtasib (Qadhi Hisbah) yang tugas pokoknya adalah menjaga terpeliharanya hak-hak masyarakat secara umum (termasuk pengelolaan hutan). Misalnya menangani kasus pencurian kayu hutan, atau pembakaran dan perusakan hutan. Muhtasib bertugas disertai aparat polisi (syurthah) di bawah wewenangnya. Muhtasib dapat bersidang di lapangan (hutan), dan menjatuhkan vonis di lapangan.
Dalam hal sanksi/hukum negara berhak menjatuhkan sanksi ta’zir yang tegas atas segala pihak yang merusak hutan. Orang yang melakukan pembalakan liar, pembakaran hutan, penebangan di luar batas yang dibolehkan, dan segala macam pelanggaran lainnya terkait hutan wajib diberi sanksi ta’zir yang tegas oleh negara (peradilan). Ta’zir ini dapat berupa denda, cambuk, penjara, bahkan sampai hukuman mati, tergantung tingkat bahaya dan kerugian yang ditimbulkannya. Prinsipnya, ta’zir harus sedemikian rupa menimbulkan efek jera agar kejahatan perusakan hutan tidak terjadi lagi dan hak-hak seluruh masyarakat dapat terpelihara.
Demikianlah ketentuan Islam dalam tata kelola hutan dan lahan untuk mencegah karhutla. Jika ketentuan ini dilaksanakan di bawah naungan negara Islam tentu saja akan mampu mencegah dan mengatasi karhutla yang berulang. Penerapan pandangan Islam menjadi kunci solusi akhiri karhutla. Wallahu’alam.[]
Comment