Pinjol Menggurita, Tergiur Riba?

Opini422 Views

Penulis : Lisa Aisyah Ashar | Aktivis Dakwah

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Hadirnya jasa kredit pinjaman online (pinjol) menjadi persoalan hingga hari ini. Pinjol mengakibatkan banyak masyarakat mengalami kredit macet, tak tanggung-tanggung beberapa wilayah mengalami kredit macet di antaranya;

Dilansir dari Bisnis.com, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat Gorontalo menjadi wilayah dengan tingkat wanprestasi 90 hari (TWP90) alias kredit macet fintech P2P lending terendah dibandingkan wilayah lain pada Juni 2023. Merujuk data Statistik Fintech Lending edisi Juni 2023 menunjukkan TWP90 yang dimiliki Gorontalo mampu berada di bawah level agregat industri fintech P2P lending. Pasalnya, TWP90 agregat di industri ini mencapai level 3,29 persen pada Juni 2023.

Tercatat, Gorontalo memiliki kredit macet sebesar 1,06 persen per Juni 2023. Tingkat kredit macet di wilayah Gorontalo membaik jika dibandingkan dengan dua bulan berturut-turut yang berada di level 1,29 persen pada April 2023 dan 1,45 persen pada Mei 2023.

Di sisi lain, outstanding pinjaman fintech P2P lending di Gorontalo mencapai Rp218,72 miliar dengan 77.311 rekening penerima pinjaman aktif.

Berikutnya, Sulawesi Tenggara menjadi wilayah dengan tingkat kredit macet fintech terendah kedua setelah Gorontalo. Sulawesi Tenggara mampu menekan kredit macet fintech P2P lending di level 1,07 persen pada Juni 2023, meski naik dari posisi Mei 2023 sebesar 1,05 persen. Sementara itu, OJK menyebut Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Banten menjadi wilayah dengan tingkat kredit macet tertinggi dan masuk dalam radar pantauan regulator.

Berikut adalah daftar wilayah dengan rasio kredit macet atau TWP90 fintech P2P lending terendah pada posisi Juni 2023:

  1. Gorontalo TWP90: 1,06%
  2. Sulawesi Tenggara TWP90: 1,07%
  3. Sulawesi Barat TWP90: 1,24%
  4. Nanggroe Aceh Darussalam TWP90: 1,34%
  5. Bengkulu TWP90: 1,39%
  6. Bali TWP90: 1,40%
  7. Maluku Utara TWP90: 1,42%
  8. Jambi TWP90: 1,52%
  9. Papua Barat TWP90: 1,57%
  10. Kepulauan Bangka Belitung TWP90: 1,60%

Riba; Mata Rantai Kapitalisme, Mejerat Rakyat

Mata rantai riba hari ini seolah sulit terputus dalam kehidupan masyarakat. Sebab, dalam sistem kapitalisme keuntungan adalah keutamaan dalam hal bisnis tanpa mempedulikan perkara halal atau haram. Maka, tak heran aktivitas pinjam meminjam pun dijadikan ladang bisnis dengan berbagai tawaran bunga rendah. Sekalipun adanya himbauan agar masyarakat senantiasa mewaspadai pinjol dengan tidak mudah tergiur tawaran bunga rendah serta tidak menjadi korban pinjol ilegal justru hanya membuat rakyat terus terjerat pinjol sekalipun melalui pinjol resmi.

Terlebih lagi tuntutan gaya hidup hari ini, berlandaskan kepada sistem kapitalisme yang mengedepankan kebahagiaan jasadi seperti keinginan memiliki mobil, motor, rumah dan barang-barang mewah sehingga tidak bisa membedakan lagi antara kebutuhan dan keinginan.

Kesulitan ekonomi yang layak membuat rakyat dengan berat hati mengambil pinjaman online (pinjol) sebagai solusi jangka pendek dalam upaya memenuhi kebutuhan hidup adalah titik urgensi yang perlu diperhatikan.

Pentingnya peranan negara dalam menyikapi hal demikian, sebab dalam hal ini negara berperan penuhi dalam memenuhi hajat rakyat. Baik pinjol illegal maupun resmi sebenarnya bukanlah alternatif yang tepat mengatasi persoalan rakyat jika mekanismenya riba. Mekanisme menggunakan riba lebih banyak mudaratnya sebab kita harus menanggung beban bunga yang diberikan hingga sampai penyitaan aset jika bermasalah. Sedangkan pinjaman online (pinjol) tentu juga memiliki resiko yang besar yang dapat meretas data pribadi.

Mirisnya, saat ini riba menjadi sesuatu hal yang dinilai lumrah dengan anggapan bunga yang diberikan tidaklah seberapa. Padahal dalam agama sendiri mekanisme riba dalam perkara jual beli dan ekonomi hukumnya haram. Riba sendiri merupakan hasil dari penerapan sistem ekonomi kapitalisme. Perkara riba dianggap sebagai perkara sepele karena penerapannya sudah berlangsung lama sejak semasa Belanda menjajah. Alhasil, hingga saat ini dijadikan patokan, maka sangat jelas bahwa pemberlakuan mekanisme riba dalam perdagangan dan ekonomi hanya menguntung segelintir pihak saja.

Solusi Islam

Dalam Islam aktivitas utang pituang adalah sesuatu yang diperbolehkan dan mendapatkan pahala sebab termasuk perbuatan menolong orang. Mekanisme yang diterapkan dalam Islam sangat baik, apabila pihak yang meminjam mengalami kendala membayar utang, maka diberi keringan waktu untuk melunasi tanpa dipatok denda maupun melakukan penyitaan barang. Sebaliknya Islam menghilangkan riba sebab dianggap utang yang ditetapkan bunganya bukan menyelesaikan masalah justru menambah masalah baru.

Di masa Rasulullah hingga di masa silam saat kejayaan Islam tegak sangat jarang mengalami kesulitan ekonomi, namun tak ada sedikit pun anjuran mengambil riba sebagai solusi terbaik. Namun, yang terlihat hari ini maraknya riba justru hanya menghantarkan pada penderita yang sesungguhnya.

Riba dianggap perbuatan yang menzalimi orang lain, maka Islam sangat tegas mengharamkan adanya unsur riba sebagaimana Allah SWT menegaskan dalam Al-Quran dan Hadist. Bukan hanya pinjam online yang dianggap haram, hukum serupa juga diterapkan pada pinjaman secara langsung yang mengandung unsur haram maka tidak boleh dilakukan.

“Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya Iarangan dari Tuhannya, laIu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang Iarangan) dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka mereka kekaI di dalamnya (QS Al Baqarah 275).

Sistem ekonomi Islam diukur berdasarkan terpenuhi kebutuhan setiap individu sehingga tidak ada kesulitan memperoleh akses ekonomi yang layak sebab menyadari bahwa semua adalah tanggung jawab negara. Islam mendorong anggaran negara yang memihak kepada kepentingan rakyat. Di masa pemerintahan Rasulullah Saw saat peperangan bahkan pada masa Khalifah Umar dan Utsman pernah terjadi surplus anggaran yang besar kemudian lebih banyak didorong adalah efisiensi dan penghematan anggaran. Di dalam Islam anggaran negara adalah harta publik sehingga anggaran menjadi sangat responsif untuk kepentingan rakyat yang dianggap kurang mampu.

Demikianlah gambaran bagaimana Islam menghadirkan solusi terbaik atas setiap persoalan dan memperhatikan perkara yang sesuai syariat Islam. Hal demikian tentu tidak akan ditemukan dalam sistem kapitalisme. Wallahua’lam.[]

Comment