Mampukah Sistem Zonasi Wujudkan Pemerataan Dunia Pendidikan?

Opini299 Views

 

 

Penulis: Eno Fadli | Pemerhati Kebijakan Publik

_________

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA- Musim liburan telah usai, anak-anak kembali pada aktivitas rutin mereka belajar di sekolah. Namun masuknya tahun ajaran baru diawali kisruh di berbagai tempat dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB).

Sebagian dari calon peserta didik baru mereka terkendala masuk sekolah yang hendak dituju. Beredar video di instagram seorang wali murid calon siswa di SMAN 5 kota Tangerang yang mengukur jarak pemukiman warga menuju sekolah secara manual dengan menggunakan meteran, hal ini dilakukan karena anaknya tidak diterima di sekolah tersebut, padahal seperti ditulis jawapos.com (14/7/2023) jarak antara rumah dan sekolah hanya terpaut 412 meter, sedangkan menurut jarak pada PPDB dengan jalur zonasi anak mereka dapat diterima di sekolah tersebut.

Sistem zonasi pertama kali diterapkan pada tahun 2017 dan disempurnakan pada tahun 2018. Di mana Kemendikbud telah mengupayakan pembentukan jalur zonasi untuk proses PPDB, dengan ditetapkan berdasarkan wilayah tempat tinggal calon peserta didik.

Terlampir dalam kutipan Permendikbud No. 14/2018 untuk daerah reguler bagi calon peserta didik SD maksimal berjarak 3 kilometer, SMP berjarak antara 5 sampai 7 kilometer, SMA/SMK berjarak antara 9 sampai 10 kilometer.

Namun di kalangan,  penerapan jalur zonasi ini ditemui banyak terjadi masalah, mulai dari siswa yang tidak diterima di sekolah negeri dekat tempat tinggal mereka, terjadinya migrasi domisili melalui kartu keluarga (KK) ke wilayah sekolah yang dituju dengan cara numpang KK, jumlah kuota penerimaan siswa di sekolah negeri yang terbatas padahal jumlah siswa yang mendaftar melebihi kuota, sekolah yang sepi peminat karena dianggap bukan sekolah favorit/unggulan sampai pada praktik jual beli kursi di beberapa sekolah.

Laman tempo.com (13/7/2023) menulis bahwa didapati praktik kecurangan jual beli kursi pada PPDB 2023 karena laporan salah satu orang tua siswa di Karawang dan Bengkulu yang mengaku bahwa mereka mengeluarkan sejumlah uang agar anaknya dapat diterima di SMP Negeri di wilayah mereka.

Jalur Zonasi sudah diterapkan 5 tahun belakangan ini. Kebijakan ini diterapkan dengan tujuan agar terjadi pemerataan layanan pendidikan dan pemerataan pada kualitas pendidikan, mengurangi status sekolah favorit/unggul, dan juga dalam rangka revitalisasi pelaksanaan penerimaan peserta didik baru agar dapat berlangsung secara objektif, transparan, non diskriminatif dan berkeadilan.

Namun semenjak diterapkan banyak timbul masalah saat pelaksanaan di kalangan. Ada beberapa hal yang luput dari perhatian pemerintah bahwa masalah yang timbul tentunya berkaitan dengan beberapa kondisi. Kondisi di mana masyarakat menilai pendidikan dengan paradigma sekuler kapitalistik yang menjadikan materi sebagai tolak ukur, sehingga menyebabkan berkembangnya pemahaman di tengah masyarakat kapitalistik terhadap status sekolah.

Masyarakat memandang bahwa sekolah yang baik dan berkualitas tempat anak mereka menimba ilmu adalah sekolah yang dilihat dari fasilitas gedung yang lengkap dan bagus dengan kepala sekolah dan guru-guru yang berkualitas, serta sarana dan prasarana yang unggul  tanpa melihat apakah sekolah tersebut dapat membentuk kepribadian dan karakter anak mereka agar beriman bertakwa dan berbudi luhur.

Inilah yang menyebabkan terjadinya polarisasi dalam sistem pendidikan negeri ini. Adanya perbedaan kasta pada dunia pendidikan didapati sekolah yang minim peminat dikarenakan tidak sesuai dengan kriteria masyarakat. Hal ini juga berpengaruh pada para pengajar, karena adanya kelas yang kosong mempengaruhi pencairan sertifikasi para pengajar.

Sehingga untuk memenuhi kewajiban pencairan sertifikasi, para pengajar membagi konsentrasi mencari sekolah-sekolah lain. Terbayangkan jika ini terjadi tentunya akan membagi fokus para pengajar terhadap anak didiknya, sehingga ditemui para siswa yang hanya diberikan tugas tanpa ada pembimbingan optimal dari guru mereka.

Kondisi lain juga ditemui adanya ketidak-seimbangan daya tampung sekolah dari jumlah pendaftar, sehingga menyebabkan banyak calon peserta didik yang tidak kebagian untuk masuk ke sekolah negeri yang dituju. Alih-alih menjadi solusi malah terjadi manipulasi dan kecurangan-kecurangan dalam pelaksanaannya.

Dari setiap masalah PPDB yang terjadi setiap tahunnya,  sistem zonasi dinilai tidak mampu menyentuh akar masalah dunia pendidikan dan tidak mampu mengatasi problem pemerataan pendidikan. Karena pada dasarnya akar masalah pemerataan bukan karena zonasi tapi karena perhatian dan tanggung jawab pemerintah yang harus dioptimalkan dalam mewujudkan pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negaranya, menyediakan layanan pendidikan berkualitas baik dalam hak Infrastruktur sekolah, tenaga pengajar berkualitas dan layanan lain yang menunjang aktivitas belajar mengajar di sekolah. Ini sejatinya diberikan merata pada setiap sekolah sehingga masyarakat tidak lagi menemui adanya perbedaan kualitas pada setiap sekolah.

Berbeda dengan Islam, kondisi ini tidak akan ditemui – karena dalam Islam, negara menyadari bahwa pendidikan merupakan hajat dan kebutuhan dasar bagi setiap warga negaranya. Pendidkan merupakan upaya terstruktur dan sistematis dalam rangka membentuk manusia yang berkepribadian Islam, menguasai pemikiran Islam dengan handal, serta menguasai ilmu-ilmu terapan dan memiliki keterampilan yang tepat dan berdaya guna. Semua ini membutuhkan infrastruktur sekolah yang dapat menampung peserta didik.

Peyelenggaraan pendidikan yang mudah diakses untuk semua kalangan, baik itu dari kalangan miskin ataupun yang kaya. Penyediaan fasiltas sarana dan prasarana pendidikan serta termasuk pembiayaan gaji tenaga pengajar, semua diambil dananya dari Baitul Mal dengan penerapan sistem ekonomi Islam.

Dengan demikian sangat jelas bahwa untuk mencapai pemerataan sistem pendidikan tidak dapat diterapkan dengan cara zonasi yang hanya menjadi solusi tambal sulam dalam dunia pendidikan. Pasalnya untuk pemerataan sistem pendidikan diperlukan penerapan sistem pendidkan yang menggunakan mekanisme terstruktur dan sistematis dan ini hanya didapati dalam penerapan sistem pendidikan Islam, dan bukn pada sistem pendidikan sekularisme kapitalistik. Wallahu a’lam bishshawab.[]

Comment