Menyoal Korupsi Dana Desa dan Masa Jabatan Kepala Desa 9 Tahun

Opini243 Views

 

 

 

Penulis : Diana Nofalia | Penggiat Literasi

__________

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Jabatan dan tindakan korupsi di era kapitalisme sekan sebagai suatu hal yang susah dipisahkan. Bagaimana tidak, untuk meraih jabatan membutuhkan banyak uang. Bahkan banyak pihak menghalalkan segala cara, menjual dan menggadaikan apa yang dimiliki bahkan harga diri sekalipun untuk meraih jabatan atau kekuasaan yang diharapkan. Jadi tidak menutup kemungkinan ketika menjabat mereka juga menghalalkan segala cara untuk “balik modal” termasuk dengan cara korupsi.

Mengutip laporan Indonesia Corruption Watch (ICW), pada 2022 ada 155 kasus rasuah yang terjadi di sektor ini dengan 252 tersangka sepanjang tahun lalu.

Jumlah itu cukup membuat miris, karena angka korupsi dana desa setara dengan 26,77% dari total kasus korupsi yang ditangani penegak hukum pada 2022. Kemudian baru disusul korupsi di sektor utilitas, pemerintahan, pendidikan hingga sumber daya alam. Angkanya pun meningkat satu kasus dibandingkan pada 2021 yang sebanyak 154 kasus korupsi di sektor desa.

Berdasarkan pemantauan Indonesia Corruption Watch (ICW), kasus korupsi di sektor desa paling banyak ditangani oleh aparat penegak hukum pada 2022.

ICW seperti ditulis katadata.co.id juga mencatat sejak terbitnya UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, ada kenaikan kasus korupsi di desa yang konsisten. Undang-undang tersebut merupakan dasar penyelenggaraan dana desa.

Dari 155 kasus korupsi desa pada 2022, secara rinci 133 kasus berkaitan dengan dana desa, sementara 22 kasus berkaitan dengan penerimaan desa. Akibat korupsi terhadap dana desa tersebut menyebabkan kerugian negara sebesar Rp381 miliar.

Di samping maraknya korupsi dana desa, para kepala desa menuntut perpanjangan masa jabatan. Para kepala desa juga meminta pemerintah menaikkan anggaran dana desa. Mereka meminta alokasi dana desa sebesar 10% terhadap APBN atau mencapai Rp300 triliun dari total APBN 2023 yang mencapai Rp3.061,2 triliun.

Pakar politik Universitas Airlangga (Unair) Ucu Martanto sebagaimana ditulis republika.co.id menyebut revisi Undang-Undang nomor 6 tahun 2014 tentang Desa dapat berpengaruh pada sirkulasi dan hegemoni politik desa. Mengingat revisi yang dilakukan tersebut menyangkut perubahan periode masa jabatan kepala desa.

Revisi UU ini menurut Ucu, akan berpengaruh pada periode masa jabatan kepala desa yang pada awalnya satu periode hanya enam tahun, kemudian berubah menjadi sembilan tahun. Dan setelahnya dapat dipilih kembali untuk masa jabatan yang sama.

Ucu pun mengingatkan potensi terbentuknya politik dinasti akibat dilakukannya perpanjangan jabatan kepala desa. Pada konteks ini, petahana memiliki kesempatan lebih lama dalam upaya membangun reputasi dan mengumpulkan sumber daya pada putaran pemilihan selanjutnya.

Kapitalisme liberal yang dilandasi oleh sekularisme sarat dengan faktor kepentingan. Penerapan hukum yang sarat dengan kepentingan tentunya tidak akan melahirkan keadilan ataupun rasa jera kepada pelaku kejahatan, khususnya dalam hal ini para koruptor.

Jika kita telaah lagi kebobrokan hukum di Indonesia berawal karena penerapan kapitalisme liberal yang menyerahkan kewenangan membuat hukum kepada manusia. Penyusunan dan pengesahan undang-undang ada di tangan anggota dewan yang dipilih oleh rakyat.

Hal inilah yang menjadi akar permasalahan hukum di negara manapun, termasuk Indonesia. Maka wajar, praktik hukum yang bermasalah akan cenderung terjadi. Salah satu  contoh adanya kasus jual-beli pasal, konten UU yang memiliki banyak celah, kekurangan dan kepentingan kelompok termasuk asing akan terus mewarnai hukum negeri ini.

Di samping itu, banyaknya aparat dan birokrat yang bermental bobrok tidak terlepas dari penerapan hukum sekular yang menghilangkan peran agama untuk menjadikan aparat dan birokrat tidak merasa diawasi oleh Allah SWT. Merasa diawasi inilah sesungguhnya hal yang sangat penting bagi manusia untuk senantiasa amanah dalam menjalankan tugasnya sebagai pejabat yang mengurusi rakyat.

Maka dari itu, penerapan hukum Allah SWT (syariat Islam) secara totalitas akan menghentikan problem hukum yang selama ini terjadi dalam sistem sekular dan secara otomatis akan menjadikan aparat penegak hukum dan birokrat merasa diawasi oleh Allah SWT. Wallahu a’lam.[]

Comment