Oleh Ranti Nuarita, S.Sos, Aktivis Muslimah
___________
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Kasus kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) di Indonesia tak kunjung selesai. Bahkan informasi terbaru ada puluhan ribu hektare hutan dan lahan yang terbakar sepanjang tahun ini.
Mengutip dari Republika.com, Kamis (22/6/2023) Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Stasiun Balikpapan Kalimantan Timur mendeteksi 20 titik panas, BMKG mengimbau agar semua pihak waspada juga saling menjaga supaya tidak terjadi penambahan titik panas baru.
Koordinator Bidang Data dan Informasi Stasiun Meteorologi Kelas I Sultan Aji Muhammad Sulaiman Sepinggan mengatakan, setidaknya 20 titik panas tersebut terpantau pada Kamis mulai pukul 01.00 hingga 17.00 WITA.
Tidak hanya di Balikpapan karhutla juga kembali melanda Riau tepatnya di kawasan suaka Margasatwa di Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau. Menurut informasi diperkirakan sekitar 10 hektare habitat gajah Sumatra musnah terbakar sejak pertengahan Juni lalu.
Karhutla tampaknya sudah menjadi langganan di beberapa bagian wilayah di Indonesia terlebih saat musim kemarau. Pada tahun 2019 BNPB pernah menjelaskan bahwa karhutla tidak hanya dipicu cuaca, justru 99% dipicu karena manusia dan 1% terjadi karena alam. Pertanyaannya adalah, bagaimana bisa karhutla terus berulang bahkan terjadi dalam skala besar, bukankah sangat bisa dinalar bahwa ada kemungkinan bencana karhutla itu terjadi akibat kesengajaan? Bukan tidak mungkin, justru pertanyaan itu sangat masuk akal, sebab jika bentuk ketidaksengajaan akan muncul kembali pertanyaan mengapa karhutla hanya melahap lahan, tidak melahap hutan sawit atau tanaman industri?
Berulangnya karhutla menunjukkan rendahnya kesadaran masyarakat dan gagalnya edukasi masyarakat. Di sisi lain, perilaku masyarakat bisa jadi karena dorongan untuk memenuhi kebutuhan ekonominya yang tidak dijamin negara, sementara negara justru dengan mudah memberi konsesi hutan pada perusahaan besar, terlebih adanya kebutuhan untuk memperbanyak perkebunan sawit yang menjadi sumber biofuel.
Jika kita usut kenyataannya, negeri ini tak akan pernah bisa lepas dari bencana karhutla selama masih dikungkung dengan sistem kapitalisme. Mengapa demikian?
Karena penguasa dalam sistem ini hanya menjadi regulator yang menjaga kepentingan para oligarki yang menjalankan korporasi. Pemerintah pun hari ini seakan-akan memberikan karpet merah para korporasi dengan adanya pengaturan hak konsesi, yang akhirnya menjadikan hutan dan lahan gambut sebagai objek untuk dieksploitasi dan dikapitalisasi.
Bayangkan saja, korporasi selalu memiliki prinsip modal sekecil-kecilnya untuk keuntungan sebesar-besarnya. Pada akhirnya korporasi besar yang sudah mengantongi konsesi tentu akan sangat diuntungkan, sebab mereka dapat menebang kayu di hutan juga menjualnya.
Selanjutnya mereka akan memilih cara pembersihan (land clearing) dengan biaya paling murah dan praktis, yakni pembakaran. Jika hutan tadi sudah bersih maka mereka akan menanami dengan tanaman sawit atau tanaman industri. Bahkan Doni Manardo selaku kepada Badan Nasional Penanggulangan Bencana pernah menyatakan bahwa 80% hutan yang terbakar dikonversi menjadi perkebunan.
Hal yang paling buruk adalah para kapitalis tidak peduli lagi dampak deforestasi akan sangat buruk terhadap lingkungan, sebab yang mereka pikirkan hanya tentang bagaimana meraup keuntungan. Ini menjadi fakta tak terbantahkan, bahwa sistem kapitalisme telah berhasil melahirkan berbagai krisis lingkungan yang terus berulang salah satunya karhutla. Adanya karhutla adalah dampak nyata dari kebebasan kepemilikan juga berlepas tangannya penguasa dalam pengelolaan hutan.
Masalah karhutla akan terus terjadi apabila negeri ini masih dalam cengkeraman rezim kapitalis. Asas manfaat yang menjadi tolok ukur perbuatan dalam sistem kapitalisme, telah sukses mencetak sifat rakus sekaligus melenyapkan kepedulian terhadap sesama bahkan juga alam raya. Pengelolaan hutan berdasarkan sistem kapitalisme secara nyata telah merenggut keberkahan hutan sebagai paru-paru dunia. Justru hari ini, hutan seakan-akan berubah menjadi cerobong asap dunia.
Sungguh, keserakahan para kapitalis bukan hanya membuat rakyat menderita, alam porak-poranda, tetapi juga sukses merampas ketenangan hidup flora dan fauna, dengan kerusakan lingkungan yang kian mengkhawatirkan.
Perlu solusi teknis dan paragdigmatis untuk mengatasi masalah karhutla hingga ke akar. Dan solusi tersebut hanya ada dalam Islam.
Islam sebagai din yang turun langsung dari Allah Swt. memiliki aturan paripurna untuk mengakhiri seluruh masalah kehidupan manusia, termasuk dalam hal mengatasi karhutla, yakni dengan pengelolaan hutan.
Pengelolaan hutan dalam Islam akan dilakukan secara totalitas tanpa merusak lingkungan sekitar. Islam memandang hutan dan lahan gambut merupakan sumber daya alam yang terkategori sebagai kepemilikan umum, sehingga tidak boleh dikuasai oleh individu atau korporasi asing. Sebagaimana Rasulullah Saw. bersabda, “Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara : (Yaitu) air, padang gembalaan dan api.” (HR. Ibnu Majah no. 2464).
Merujuk hadits tersebut, Islam mengharamkan bagi siapa pun untuk menyerahkan kepemilikannya pada korporasi atau individu dengan alasan apa pun. Negara dalam Islam wajib mengelola kekayaan alam tersebut dengan totalitas juga optimal. Tujuannya agar umat dapat merasakan kemaslahatan dari pengelolaannya, dan agar keberkahannya dapat menaungi seluruh alam semesta.
Belum cukup sampai di situ, dalam Islam negara juga memiliki kewajiban untuk mendidik juga membangun kesadaran umat dalam rangka merealisasikan kelestarian hutan serta manfaatnya untuk generasi masa depan.
Adapun jika masih terjadi karhutla, negara akan memberlakukan mekanisme hukum yang bisa menjerakan pelaku. Penguasa dalam Islam serius dalam mengurus urusan umat juga menjaga kemaslahatan mereka. Karena pemimpin dalam Islam berperan sebagai “ra’in” atau penanggung jawab urusan umat.
Demikianlah solusi Islam dalam mengatasi masalah karhutla. Solusi tersebut hanya bisa diterapkan apabila Islam tegak dalam institusi negara. Maka, menjadi tugas kaum muslim menegakannya, agar umat dapat kembali menjalani kehidupan sesuai dengan fitrahnya. Begitu juga agar bumi sebagai lingkungan tempat hidup manusia dapat terselamatkan dari kerusakan yang berpangkal dari kerakusan.Wallahualam Bissawab.[]
Comment