Oleh: Rizka Adiatmadja, Praktisi Homeschooling
__________
RADARINDONESIANEWS CON, JAKARTA-Kerusakan Generasi Kian Menjadi-jadi. Betapa miris dan terlukanya hati kita, saat membaca informasi–terkait kerusakan terhadap generasi yang semakin menjadi-jadi. Dari kasus kenakalan ringan, bullying, perzinaan, pembunuhan, hingga penyimpangan seksual yang sulit ditanggulangi. Mengapa semua terus bertambah kasusnya dan tidak pernah tuntas? Padahal berbagai kebijakan dikeluarkan, tetapi tidak juga mengubah keadaan. Mengapa demikian?
Semua berawal dari sekularisme yang melahirkan degradasi moral. Apakah arti degradasi moral? Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) degradasi mengandung arti kemunduran, kemerosotan, atau penurunan, sedangkan moral artinya akhlak atau budi pekerti. Interpretasi (tafsiran) dari degradasi moral adalah sebuah fenomena kemerosotan dari budi pekerti seseorang atau kelompok.
Data-data kerusakan generasi yang dicatat oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) di antaranya:
1. KPAI mencatat 90% anak terpapar pornografi internet di usia sebelas tahun. (viva.co.id, 2/12/2014)
2. KPAI juga mencatat 54 kasus anak berhadapan dengan hukum sepanjang 2022. (republika.co.id, 28/2/2023)
3. KPAI membeberkan 23% penghuni Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) merupakan pelaku pencurian, 17,8% lainnya terjerat tindak pidana narkotika diikuti dengan kasus asusila sebanyak 13,2%. KPAI juga membeberkan hasil survei terhadap kasus penyalahgunaan narkoba oleh anak-anak. (bnn.go.id, 8/6/2021)
4. Sebuah studi yang diterbitkan di Jurnal Kewarganegaraan Volume 18, Nomor 2 (2021) memaparkan data peningkatan kelompok LGBT di Indonesia. Khususnya, kalangan gay di daerah perkotaan seperti Bali, Jakarta, Surabaya, dan Yogyakarta. (republika, 24 Mei 2023)
5. Dalam studi yang ditulis Toba dan timnya, ada paparan data lain dari United Nation Development Program (UNDP) 2014. Disebutkan bahwa pada 2013, ada dua jaringan nasional organisasi LGBT, dan 119 organisasi di 28 dari 34 provinsi Indonesia. Hal tersebut menunjukkan bahwa eksistensi LGBT tidak bisa dipandang sebelah mata. (republika, 24 Mei 2023)
Tiga Aspek Penyebab Kerusakan Generasi
Aspek keluarga
Hal pertama adalah rusaknya fungsi keluarga. Banyak orang tua yang salah memilih fondasi keluarga. Dasar kehidupan hari ini adalah sekuler atau memisahkan agama dari mengurusi kehidupan. Sehingga ruh ketakwaan tidak terbentuk dari rumah.
Banyak peran ayah dan ibu yang tidak lagi berada di rel yang seharusnya. Masalah pengasuhan ini senantiasa menjadi perdebatan panjang. Padahal di dalam Islam sudah jelas antara ayah dan ibu memiliki peranan penting masing-masing. Untuk masalah pengasuhan tentu menjadi hak dan kewajiban utama bagi seorang ibu, meskipun begitu, tidak berarti seorang ayah bebas tugas dari kewajiban pengasuhan. Tetap harus terlibat dan berkontribusi penuh.
Banyak orang tua yang terlalu fokus dengan perbaikan taraf ekonomi. Hari ini taraf ekonomi menjadi hal utama yang dikejar oleh setiap orang tua dalam sebuah keluarga, memang semua wajar adanya karena sistem perekonomian kapitalisme yang semakin memperlihatkan jurang besar antara si miskin dan si kaya.
Tren perselingkuhan hingga perceraian semakin tinggi kasusnya. Saat ayah dan ibu sibuk di dunia masing-masing, celah godaan semakin besar. Satu sama lain merasa tidak dipentingkan dan diperhatikan sehingga potensi perselingkuhan itu semakin memiliki peluang besar. Tak ayal menjadi penyumbang perceraian terbesar. Di saat fungsi keluarga semakin tidak kondusif maka anaklah yang menjadi korban. Dari merasakan broken home hingga broken family.
Aspek masyarakat
Gaya hidup individualistis membentuk masyarakat semakin tidak peduli dengan kondisi lingkungan dan generasi. Amar makruf nahi mungkar semakin terkikis. Abai terhadap kemungkaran dan kemaksiatan yang semakin tinggi. Masyarakat lebih mementingkan keluarga sendiri dan memandang lingkungan bukan urusan yang yang harus ditangani dengan serius.
Aspek negara
Negara keliru mengelola, dari kurilkulum pendidikan yang tidak berbasis akidah membentuk perangai manusia salah kaprah dan arah. Kurikulum pendidikan hari ini tidak membentuk anak didik menjadi insan yang bertakwa karena hal yang dibentuk adalah kebebasan demi kebebasan. Sandaran pendidikan lebih mengedepankan akademik dibanding moral dan akhlak. Faktor akademik ini menjadi hal utama yang harus dikejar, tak peduli lagi dengan urgensi kualitas moral atau akhlak.
Budaya disandarkan pada nilai-nilai kebebasan. Salah satu kondisi yang memuat kebebasan tanpa batas adalah internet. Tidak ada ketegasan untuk mengatur konten-konten yang merusak generasi. Tidak adanya hukuman yang memberikan efek jera untuk setiap pelaku pelanggaran.
Ekonomi yang berbasis kapitalisme. Perekonomian berbasis kapitalisme ini menjadikan manusia banyak melupakan kodrat sejati sebagai makhluk, menghalalkan segala cara, dan menjadikan gemerlap dunia sebagai tujuan hidup.
Mari bertanya, berpikir, dan bangkit. Apakah akan terwujud generasi terbaik di keadaan dekadensi moral yang semakin fatal? Apakah akan terwujud ayah yang menguatkan dan ibu yang menghangatkan dari kondisi karut-marut keadaan?
Sejatinya kita harus kembali pada solusi hakiki untuk menjaga generasi. Hanya sistem Islam yang sanggup memelihara ketakwaan individu dan masyarakat. Sinergisitas (bersatu dan bersama) mewujudkan generasi unggul, beriman, dan bertakwa akan terwujud karena ruh kuat dari keislaman.
Hanya Islam yang mampu membuktikan peranan orang tua terwujud dengan cemerlang tanpa saling mendakwa peranan satu sama lain. Seorang ibu akan berjuang fokus untuk memberikan pelayanan terbaik kepada suaminya, merawat buah hati dengan tulus karena Allah. Sehingga keinginan menimba ilmu itu akan terus ada agar bisa membentuk keluarga terbaik.
Begitu pun seorang ayah, ia akan gigih mencari nafkah. Tidak lupa juga memberikan perhatian dan dukungan proporsional kepada istri dan anak-anaknya karena ia sadar betul bahwa itu kewajiban yang harus ditunaikan sebagai pemimpin keluarga.
Islam berhasil menciptakan cinta ayah yang memberi kekuatan. Ia yang tak selalu ada setiap saat, tetapi akan hadir di momen tepat. Kehadirannya yang berkualitas akan membentuk teladan kepribadian. Ia harus mampu mendidik ibu dari anak-anaknya agar bisa memiliki kasih sayang yang memupuk kehangatan.
Sejatinya seorang ibulah yang setiap waktu mengasuh dan mendidik tanpa jeda, memberikan sandaran utuh di saat sang ayah jauh. Menjaga semua kewajiban di atas sandaran iman.
Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Maslamah, dari Malik dari Abdullah bin Dinar, dari Abdullah bin Umar bahwa Rasulullah ﷺ berkata, “Ketahuilah bahwa setiap dari kalian adalah pemimpin dan setiap dari kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya, seorang pemimpin umat manusia adalah pemimpin bagi mereka dan ia bertanggung jawab dengan kepemimpinannya atas mereka, seorang laki-laki adalah pemimpin bagi keluarganya dan ia bertanggung jawab atas mereka, seorang wanita adalah pemimpin bagi rumah suaminya dan anaknya, dan ia bertanggung jawab atas mereka. Seorang budak adalah pemimpin bagi harta tuannya, dan ia bertanggung jawab atasnya. Maka setiap dari kalian adalah pemimpin yang bertanggung jawab atas kepemimpinannya.” (HR. Abu Daud versi Al-Alamiyah No. 2539 versi Baitul Afkar Ad Dauliah No. 2928, sanad sahih menurut Muhammad Nashiruddin Al Albani). Wallahu a’lam bisshawab.[]
Comment