Oleh: Dinar Khair, Novelist
__________
RADARINDONESIANEWS.CONM, JAKARTA — Kabar bahwa banyak sekali anak-anak pedesaan yang bersekolah dalam kondisi memprihatinkan bukanlah isapan jempol belaka. Melihat banyaknya kasus serupa tentang kondisi sekolah yang sangat rusak, membuat kondisi pendidikan Indonesia makin menyedihkan karena kualitas yang tidak merata. Tak seperti di perkotaan yang bangunan sekolahnya kokoh, dilengkapi dengan kualitas pendidikan yang semakin ditingkatkan dari hari ke harinya, di kabupaten-kabupaten Indonesia tidak demikian kondisinya. Termasuk di Kabupaten Subang ini, di SDN Neglasari.
Dilansir dari Detikjabar, di Subang – Sekolah Dasar (SD) Negeri Neglasari yang berada di Kampung Cihonje, Desa Jabong, Kecamatan Pagaden, Kabupaten Subang, Jawa Barat, telah rusak parah. Mirisnya, rusaknya sekolah tersebut sudah puluhan tahun. Kondisi SDN Neglasari tersebut terlihat memprihatinkan. Seluruh ruangan kelas maupun ruang guru rusak parah serta tergolong rawan ambruk. Bagian atap baik atap luar ruangan maupun atap di dalam ruangan di sekolah itu pun juga mengalami kerusakan dan nyaris roboh.
Kepala sekolah tersebut pun sudah menunggu adanya perbaikan selama dua puluh tahun tetapi nihil. Tak ada bantuan untuk sekadar memperbaiki atap yang banyak sekali lubangnya tersebut.
Bagi masyarakat yang kurang mampu, tentu tidak ada pilihan bagi mereka untuk memasukkan anaknya ke sekolah yang kualitasnya lebih baik. Karena di era kapitalisme ini, semakin tinggi harga benda, maka akan semakin baik kualitasnya. Termasuk sekolah. Semakin mahal, maka akan semakin baik isi dan bangunannya. Begitu kira-kira “hukum” yang tidak tercatat itu. Sebaik apa kualitas sekolah anak-anaknya, sedikit banyaknya bergantung pula pada penghasilan orang tua.
Tak bisa kita lupakan, bagaimana kondisi sekolah roboh yang akhirnya menelantarkan para siswa di Bora, NTT, pada tahun 2021 lalu. Bangunan yang sejak awal sudah tidak layak itu ambruk diterjang angin. Kemudian rata dengan tanah. Para siswa terpaksa belajar dengan cara menumpang di rumah warga.
Kapitalisme yang berasaskan pada kebebasan kendali ekonomi pada pelaku pihak swasta untuk mengambil keuntungan ini menjadikan siapa pun yang memiliki harta lebih akan mendapatkan yang lebih baik. Entah itu barang, maupun kualitas pendidikan sekaligus bangunannya.
Rakyat mengurus diri mereka sendiri secara auto pilot. Banyak dari mereka yang tingkat ekonomi rendah bukan karena faktor kemalasan. Namun karena dihantam sistem yang hancur-hancuran. Saat garis keturunan mereka mencoba untuk memperbaiki keadaan, anak-anak malang ini dihadapkan pada kenyataan bahwa meraih pendidikan yang layak pun harus dibeli dengan uang.
Sebaliknya, di dalam Islam, ekonomi tidak dibebaskan. Bahkan diikat ketat oleh aturan syariat. Pendidikan, kesehatan, juga kebutuhan primer yang mendasar bagi warga wajib diatur dan ditanggung oleh pelaksana roda pemerintahan. Pendapatan negara yang didapat dari sumber-sumber syari seperti zakat, ghanimah, fay, kharaj dan jizyah harus dialokasikan untuk sebaik-baik kepentingan rakyat. Hal ini bukanlah isapan jempol atau utopia belaka karena telah dibuktikan dengan keberhasilan Rasulullah dan para sahabat, juga para khalifah setelahnya saat menjalankan roda ekonomi dalam koridor Syariat Islam. Sebuah catatan sejarah yang seharusnya menjadi pelajaran berharga.
Keberhasilan yang seharusnya menambah keimanan bahwa aturan Islam mengatur hajat hidup manusia bukan hanya untuk yang berislam saja, tetapi untuk semua makhluk yang diciptakan-Nya.
Maka sudah seharusnya kita semua kembalikan pada aturan Allah semata. Dialah Dzat Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Allah tak akan pernah lalai dalam menjaga makhluk-Nya. Saatnya kita meruntuhkan kesombongan dalam diri yang bangga dan merasa bahwa aturan buatan manusia jauh lebih baik daripada syariat-Nya yang sempurna.[]
Wallahualam bishawab.
Footnote:
https://apps.detik.com/detik/
Comment