Islam, Solusi Kekerasan Dalam Rumah Tangga 

Opini627 Views

 

 

Oleh: Siti Aminah, Aktivis Muslimah

__________

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — KDRT dipicu oleh beberapa hal, di antaranya kemiskinan, perselingkuhan, dan ketidakharmonisan yang terjadi dalam rumah tangga. Di samping itu, tidak adanya supporting system dari negara. Inilah efek penerapan sistem kehidupan sekuler liberal kapitalistik yang menjadikan laki-laki dan perempuan hidup tanpa aturan yang jelas. Sistem ini menjunjung tinggi nilai-nilai kebebasan, sehingga aturan laki-laki dan perempuan serba bebas dan bablas.

Ditambah lagi sistem ini telah melahirkan kemiskinan yang merajalela. Tak sedikit dari para istri yang mengambil peran pencari nafkah, sementara suaminya justru menghabiskan uang istrinya. Saat terjadi protes, suami yang tidak paham pun berlaku kasar, sehingga memicu terjadinya KDRT. Kondisi ini bukan semata karena kelalaian pasangan suami istri. Tekanan ekonomi, tidak pahamnya hak dan kewajiban, serta kebodohan dari hukum syariat seputar pergaulan dalam rumah tangga.

Semua disebabkan oleh tidak tersedianya fungsi negara dalam membentuk ketahanan keluarga. Inilah fakta negara dalam sistem kapitalisme yang tidak menjalankan perannya sebagai pengurus persoalan rakyat secara menyeluruh.

Berbeda dengan Islam. Telah kita pahami bahwa Islam memberikan kepemimpinan rumah tangga kepada laki-laki, artinya bahwa ayah memiliki tanggung jawab terhadap keluarga yang dipimpinnya. Sudah jelas akan dibawa ke mana istri dan anak-anaknya kelak.

Kepemimpinan tersebut bersifat mengatur dan melayani (ri’ayah), bukan kepemimpinan layaknya seorang penguasa terhadap rakyatnya, atau majikan terhadap pekerjanya. Sebagaimana Allah Swt. berfirman,

ٱلرِّجَالُ قَوَّٰمُونَ عَلَى ٱلنِّسَآءِ

“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita.” (QS An-Nisa‘: 34)

Kepemimpinan (al-qawamah) di dalam ayat ini merupakan kepemimpinan yang mengatur dan melayani (ri’ayah), bukan kepemimpinan instruksional dan penguasaan. Menurut bahasa Arab, makna kepemimpinan seorang laki-laki atas perempuan (qawamah ar-rijal ‘ala an-nisa`) adalah al-infaq ‘alayha wa al-qiyam bi ma tahtajuhu (menafkahi istri dan memenuhi apa yang ia butuhkan).

Pendapat mufasir adalah laki-laki merupakan penanggung jawab/pemimpin atas perempuan karena berdasarkan dua hal, yaitu laki-laki dijadikan lebih dari perempuan secara kodrati untuk melakukan pekerjaan di luar rumah dan laki-laki dibebani kewajiban memberikan nafkah kepada keluarganya.

Ibnu Katsir menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan “árrijalu qawwamuna ‘ala an-nisa” adalah laki-laki itu pemimpin kaum perempuan dalam arti pemimpin, kepala, hakim, dan pendidik bagi perempuan kala mereka menyimpang.

“Bima fadhalallahu ba’dhahum ‘ala ba’dhin” adalah karena laki-laki itu lebih utama daripada perempuan, dan laki-laki lebih baik daripada perempuan, maka kenabian pun dikhususkan kepada laki-laki. Begitu pula kepala negara, kehakiman, dan lain-lain.

Imam Ath-Thabari berkata, “Maksud ayat ini adalah bahwa lelaki merupakan pelindung (pemimpin) bagi kaum perempuan dalam mendidik dan mengajak mereka kepada apa yang telah diperintahkan oleh Allah SWT kepada mereka. Hal itu dikarenakan kelebihan yang telah diberikan kepada laki-laki atas perempuan, dari mahar, nafkah, biaya rumah tangga, dan yang lainnya. Itu merupakan kelebihan yang telah Allah SWT anugerahkan kepada laki-laki.

Dengan demikian, mereka menjadi qawwam (pemimpin) bagi kaum perempuan, yakni pelaksana (pengemban) tugas dari Allah Swt. untuk kaum perempuan.”

Ibnu Abbas ra. berkata, “Makna ayat ini bahwa laki-laki adalah umara’ (pemimpin) bagi kaum perempuan, dan perempuan diwajibkan untuk menaati suaminya pada perkara yang telah Allah perintahkan kepada mereka. Menaati suami adalah dengan berbuat baik kepadanya, menjaga hartanya, serta memuliakan suami atas nafkah dan penghidupan yang telah diberikannya kepada istri karena Allah SWT telah melebihkan suami dengan itu.”

Imam Adh-Dhahak berkata, “Ayat ini bermakna bahwa lelaki adalah pemimpin bagi kaum perempuan. Mereka memerintahkan kepada para istri untuk menaati Allah. Jika mereka enggan untuk menaatinya, maka kaum laki-laki boleh memukul mereka dengan pukulan yang tidak menyakitkan (membuat cacat), dan Allah SWT telah melebihkan laki-laki atas perempuan lantaran nafkah dan penghidupan yang diberikannya kepada mereka.”

Allah menggunakan kalimat “ba’dhahum ‘ala ba’dhin”, tidak menggunakan kata yang lain, misalnya “bima fadhala ar-rijaalu ‘ala an-nisaa”.

Di sinilah letak ketinggian balaghah atau sastra Al-Qur’an. Kalimat itu memberikan makna bahwa kebaikan atau kelebihan itu dimaksudkan untuk kebaikan dan maslahah kedua belah pihak. Maka, di sini sedikit pun tidak tersirat mendiskriminasikan atau merendahkan perempuan karena suami sama dengan istri, dan sebaliknya

Gambaran riil tugas suami sebagai qawwam adalah bahwa ia adalah nakhoda dalam bahtera rumah tangga. Dengan kesempurnaan hikmah-Nya, Allah SWT telah mengangkat suami sebagai qawwam (pemimpin). Suamilah yang kelak akan ditanya dan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah SWT tentang keluarganya, sebagaimana diberitakan oleh Rasulullah saw.,

“Laki-laki (suami) adalah pemimpin bagi keluarganya dan kelak ia akan ditanya (dimintai pertanggungjawaban) tentang mereka.” (HR Al-Bukhari Muslim).

Dalam menjalankan fungsinya ini, seorang suami tidak boleh bersikap masa bodoh, keras, kaku, dan kasar terhadap keluarganya. Bahkan sebaliknya, ia harus mengenakan perhiasan akhlak yang mulia, penuh kelembutan, dan kasih sayang. Sikap lemah lembut ini merupakan rahmat dari Allah Swt. sebagaimana kalam-Nya ketika memuji Rasul-Nya yang mulia,

فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللّٰهِ لِنْتَ لَهُمْ ۚ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيْظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوْا مِنْ حَوْلِكَ ۖ

“Karena disebabkan rahmat Allahlah engkau dapat bersikap lemah lembut dan lunak kepada mereka. Sekiranya engkau itu adalah seorang yang kaku, keras, lagi berhati kasar, tentu mereka akan menjauhkan diri dari sekelilingmu.” (QS Ali ‘Imran: 159).

Seorang suami yang dipercaya menjadi pemimpin, berkewajiban membawa rumah tangganya ke arah yang diridai Allah SWT. Untuk menuju ke sana, diperlukan kesabaran yang luar biasa. Namun, namanya manusia, tidak luput dari perbuatan dosa. Suami bisa saja khilaf dan melampiaskan kemarahannya kepada istri ketika ia melihat ada hal yang tidak pantas dilakukan oleh istrinya, misalnya.

Di sinilah Islam memberikan rambu-rambu yang melarang keras para suami membentak istrinya dan sebaliknya Islam memerintahkan suami untuk memperlakukan istrinya dengan baik, sebagaimana firman Allah,

وَالَّذِيْنَ يُؤْذُوْنَ الْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنٰتِ بِغَيْرِ مَا اكْتَسَبُوْا فَقَدِ احْتَمَلُوْا بُهْتَانًا وَّاِثْمًا مُّبِيْنًا

“Dan orang-orang yang menyakiti mukmin laki-laki dan mukmin perempuan tanpa perbuatan yang mereka lakukan, maka sesungguhnya mereka telah menanggung kebohongan dan dosa yang nyata.” (QS Al-Ahzab: 84).

Selain itu Rasulullah saw. juga bersabda, “Orang yang imannya paling sempurna di antara kaum mukminin adalah orang yang paling bagus akhlaknya di antara mereka, dan sebaik-baik kalian adalah yang terbaik akhlaknya terhadap istrinya.” (HR At-Tirmidzi dan Ibnu Majah).

Hadits lain yang diriwayatkan oleh Maisarah bin Ali, “Barang siapa menggembirakan hati istrinya, maka seakan-akan ia menangis takut kepada Allah. Barang siapa menangis karena takut kepada Allah, maka Allah mengharamkan tubuhnya masuk neraka. Sesungguhnya ketika suami istri saling memperhatikan, maka Allah akan memperhatikan mereka berdua dengan penuh rahmat. Saat suami memegang telapak tangan istri, maka bergugurlah dosa-dosa suami istri itu lewat sela-sela jari mereka.”

Perbuatan suami membentak istri tentu saja akan menyakiti istri, sedangkan Islam memerintahkan suami untuk menggembirakan istri. Membentak istri merupakan aktivitas yang menyalahi beberapa hadits Rasulullah saw. yang telah dibahas sebelumnya. Karena Islam memerintahkan kepada para suami untuk bergaul secara ma’ruf kepada istrinya, sebagaimana dicontohkan Rasulullah saw. dalam sebuah hadits, “Sebaik-baik kalian, (adalah) yang terbaik bagi istrinya dan aku adalah orang yang terbaik di antara kalian terhadap istriku.” (HR Tirmidzi).

Demikian halnya Islam memerintahkan kepada suami untuk memperlakukan istri dengan baik, tidak memaksanya, dan juga tidak menyusahkannya. Terlebih lagi memperlakukannya secara kasar, termasuk dalam hal ini membentaknya. Bagaimanapun istri adalah ibu dari anak-anaknya yang telah dengan susah payah dan pengorbanan yang luar biasa diasuh oleh istrinya sejak kecil, bahkan sejak masih dalam kandungan. Sudah seharusnya diperlakukan dengan sangat baik.

Selain membina internal rumah tangga sesuai syariat Islam, upaya mencegah terjadinya konflik dalam rumah tangga juga membutuhkan support system. Sebab faktor eksternal seperti himpitan ekonomi, godaan laki-laki atau perempuan lain, dan sejenisnya juga menjadi pemicu konflik. Islam hadir untuk menuntaskan pemicu eksternal konflik rumah tangga secara komprehensif, pencegahan dan penindakan. Pencegahan itu berupa penegakan sistem pergaulan Islam. Negara menutup rapat pintu-pintu yang memicu naluri jinsiyah seperti konten-konten porno. Penerapan sistem ekonomi Islam juga dipastikan akan menjamin kesejahteraan orang per orang.[]

Comment