Lapangan Kerja Langka, Nasib Pencari Kerja Dipertaruhkan

Opini464 Views

 

 

Oleh: Puput Hariyani, S.Si, Business  Woman

_________

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA —  Sungguh mencengangkan, tingkat kesenjangan para pencari kerja dan lapangan kerja yang tersedia sangat besar. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat ada 937.176 orang yang mencari kerja di Indonesia pada 2022, sementara di tahun yang sama hanya terdapat 59.276 lowongan kerja (DataIndonesia.id).

Perbandingan ini tentu sangat jauh, jika dihitung-hitung sekitar 16 orang pekerja harus berebut untuk satu pekerjaan.

Meskipun secara data, jumlah pengangguran menurun setiap tahunnya, namun tidak kita pungkiri bahwa jumlahnya masih banyak. Berdasarkan data yang dilansir liputan6.com, dari catatan BPS tahun 2023, jumlah pengangguran mencapai angka 7,99 juta.

Hal ini tentu berkorelasi dengan efek domino yang ditimbulkan, tingkat kesejahteraan dan tingginya kemiskinan karena belum terpenuhinya kebutuhan masyarakat.

Kondisi ini tentu menjadi sebuah problem bangsa yang harus dituntaskan. Kesenjangan yang terjadi harus diurai ujung pangkalnya agar dapat dirumuskan solusi yang tepat. Mengapa lapangan kerja bisa langka? Mengapa lapangan kerja belum bisa mengcover jumlah pencari kerja sehingga pengangguran tetap tinggi?

Minimnya lapangan kerja berpulang pada persoalan sistemik yang didasari pada cara pandang yang tidak mendasar, tidak komprehensif dan ketidakmandirian bangsa dalam melakukan pengelolaan asset yang dipunya. Paradigma ini bisa kita “link and match” kan dengan konsep ekonomi kapitalis yang diadopsi negeri ini.

Kapitalisme memandang bahwa sistem perekonomian menekankan peran pada kapital (modal), yakni kekayaan dalam segala jenisnya, termasuk barang-barang yang digunakan dalam produksi barang lainnya (Bagus, 1996).

Ebenstein (1990) menyebut kapitalisme sebagai sistem sosial yang menyeluruh, lebih dari sekedar sistem perekonomian. Ia mengaitkan perkembangan kapitalisme sebagai bagian dari gerakan individualisme.

Sedangkan Hayek (1978) memandang kapitalisme sebagai perwujudan liberalisme dalam ekonomi.
Menurut Ayn Rand (1970), kapitalisme adalah “a social system based on the recognition of individual rights, including property rights, in which all property is privately owned”. (Suatu sistem sosial yang berbasiskan pada pengakuan atas hak-hak individu, termasuk hak milik di mana semua pemilikan adalah milik privat).

Berdasarkan konsep-konsep inilah, bisa kita saksikan peran negara memang harus dipinggirkan. Kapitalisme dalam kerangka rezim demokrasi semakin membuka kran liberalisasi investasi, tenaga kerja asing dan atas nama kebebasan negara menanggalkan peran utamanya sebagai pengurus urusan rakyat.

Kebijakan yang ada diarahkan untuk tidak bergantung pada belas kasih negara. Negara berperan sebagai fasilitator. Rakyat didorong untuk mandiri dan kreatif berinovasi untuk menciptakan pekerjaan sendiri. Pada saat yang sama serbuan tenaga kerja asing tinggi, rakyat yang minim modal juga harus bersaing dengan pengusaha besar dalam mengumpulkan pundi-pundi rupiah.

Padahal asset dan kekayaan negeri ini sangat melimpah, semestinya tidak sulit bagi negara untuk membuka lapangan kerja bagi rakyatnya. Ketika semua kekayaan tersebut dikelolas secara mandiri oleh negara maka hasilnya juga bisa dirasakan sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat, bukan malah diserahkan pengelolaannya kepada asing.

Pembiaran kepemilikan umum yang dicaplok menjadi kepemilikan privat semakin memperparah kondisi yang ada. Iklim usaha tidak berpihak pada rakyat kecil.

Jelaslah bahwa pengangguran merupakan masalah yang timbul akibat penerapan system ekonomi kapitalis yang tidak menjadikan negara pemeran utama dalam melayani dan memenuhi seluruh kebutuhan rakyatnya.

Bertolak belakang dengan pengaturan ekonomi kapitalisme, sistem Islam menghadirkan teladan berbilang abad lamanya dalam menyejahterakan rakyatnya.

Pertama, Islam memiliki konsep tentang kepemilikan. Baik kepemilikan individu, kepemilikan negara dan kepemilikan umum. Jika kapitalis menganggap bahwa semua manusia atau asing boleh memprivatisasi kepemilikan umum seperti air dan barang tambang yang melimpah, Islam justru melarang individua tau asing menguasai SDA milik umat. Negaralah yang akan mengelolanya dan dikembalikan untuk kesejahteraan rakyat.

Kedua, dengan mengembalikan pengelolaan barang milik umum kepada negara maka akan menyerap banyak tenaga kerja. Sehingga asing tidak diberi ruang utnuk mengambil alih pengelolaan. Dan tenaga kerja domestic akan diprioritaskan ketimbang mangambil tenaga kerja asing.

Ketiga, negara akan hadir sebagai penanggujawab urusan umat. Menjamin terpenuhinya seluruh kebutuhan warganya. Tampil sebagai problem solver dan menciptakan lapangan kerja untuk warganya. Mendorong para laki-laki untuk bekerja maksimal memenuhi seluruh kebutuhan orang-orang yang berada di bawah tanggung jawabnya.

Dengan demikian, akan tercipta kehidupan yang baldatun toyyibatun wa robun ghofur. Wallahu’alam bi ash-showab.[]

Comment