Oleh: Rizka Adiatmadja, Praktisi Homeschooling
__________
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Sejatinya menjadi orang tua terbaik itu tentu butuh pengorbanan yang sedemikian rupa.Tidak bisa sekejap mata dan perjuangan yang biasa-biasa saja. Setiap manusia, baik laki-laki ataupun perempuan yang telah dianugerahi buah hati oleh Allah, sebenarnya sudah otomatis terinstal pula fitrah keayahan dan keibuan padanya. Namun, ternyata tak banyak orang dewasa yang aware terhadap fitrah ini.
Padahal, proses mengasuh putra dan putri tercinta itu, perlu membersihkan hati–dari seluruh ambisi sebagai orang tua–serta inner child yang tertinggal. Apakah arti inner child tersebut?
Ia adalah bagian dari diri kita yang membuat kita memiliki perilaku kekanak-kanakan. “Suara-suara” yang tidak bisa kita ekspresikan di masa kecil, tertinggal di tubuh dewasa. Banyak fakta, orang yang dewasa secara usia, tetapi memiliki pola pikir dan sikap masih seperti anak-anak.
Ada bagian masa kecil, suara batin yang terhambat berkembang sehingga menciptakan rasa tertekan dan emosional sampai kondisi berat yang terlahir dari rasa trauma. Banyak di antara orang tua masa kini yang dibesarkan orang tua yang tidak memperhatikan warna perasaan.
Mereka sering dilarang untuk merasakan warna sedih, senang, dan marah. Semuanya jadi serba mengambang. Pola asuh orang tua masa ini, cenderung mengikuti pola asuh yang mereka terima saat kecil dahulu.
Ada yang dibesarkan dengan sering dipukul, dibentak, dijewer, ditekan, direndahkan, dan dimanjakan. Kebiasaan tersebut ternyata dilakukan secara turun-temurun. Terus berulang dan berulang, membentuk pola yang sama. Dan betapa menyedihkannya hingga menjadi sebuah kesalahan yang panjang.
Inner child ini memiliki beberapa tingkatan. Tingkatan paling rendah adalah beberapa reaksi dari rasa kecewa dan marah. Biasanya hanya bisa disembuhkan oleh diri sendiri dalam waktu yang prosesnya mungkin tidak terlalu lama.
Adapun tingkatan terberat, ini menunjukkan batin yang terluka, tidak pernah punya kesempatan memiliki ruang untuk mengendalikan emosi hingga melahirkan rasa trauma. Ini tentu membutuhkan bantuan dari orang yang kompeten di bidangnya, seperti psikolog.
Bagaimana memberhentikan siklusnya agar hanya sampai di diri kita saja, tidak sampai ke keturunan kita? Terlebih di zaman ini, inner child akan lebih potensial menjangkiti siapa pun. Sebab, aturan kehidupan tak melindungi secara utuh dan agama terpisah dari urusan kehidupan.
Jawabannya, tentu hanya diri kita yang mampu memberhentikannya. Bisa dimulai dengan lebih aware dan memperhatikan kebutuhan psikis diri sendiri. Sungguh, tak mudah menjadi orang tua. Celakanya banyak insan yang tak tergerak untuk mau tahu ilmunya dari jauh-jauh hari, sebelum pernikahan terjadi. Cenderung mengikuti alur dan pola yang sama.
Sejenak, mari renungkan. Adakah inner child itu di dalam diri kita? Seberapa berpengaruh kepada buah hati jika dibiarkan terus mengendap tanpa sedikit pun lindap?
Apakah karena kebiasaan ibu kita memukuli dengan sapu lidi di waktu kecil, lalu itu pun akan meniru dalam memperlakukan anak? Atau hal lain yang semacamnya? Adakah yang terasa berat dalam jiwa kita sehingga sulit untuk melepas inner child?
Bayangkan jika urusan rumah tangga didelegasikan kepada anak kecil, tentu semua akan berantakan.
Mulailah membersihkan jiwa dan berdamai dengan kesedihan masa kecil, memaafkan kesalahan orang tua, bisa jadi mereka pun adalah korban di masa kecilnya. Mengingat-ingat semua kebaikan. Ibu yang melahirkan dan ayah yang menjadi wasilah kita ada dalam kehidupan. Semua sudah tergaris sebagai takdir yang berharga.
Birrul Walidain
Jadilah anak yang baik untuk orang tua kita. Sedewasa apa pun usia kita, kita tetaplah anak di mata mereka. Jangan karena mereka yang memperlakukan buruk di masa lalu hingga kita tega membalas dengan perangai tidak baik di masa sekarang.
Keduanya adalah orang tua yang berhak mendapatkan bakti dari indahnya budi pekerti buah hati. Berbakti kepada kedua orang tua adalah amal yang teramat dicintai oleh Allah, bahkan merupakan ukuran penentu rida dan murkanya Allah. Bahkan disebutkan dalam hadis sahih bahwa berbakti kepada orang tua adalah salah satu pintu surga.
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin as-Shabbah, ia berkata: Telah menceritakan kepada kami Sufyan bin ‘Uyainah, dari ‘Atha, dari Abu Abdurrahman, dari Abu ad-Darda, ia mendengar Nabi ﷺ bersabda, “Orang tua adalah pintu surga paling tengah.
Oleh karena itu, (jika engkau berkehendak), sia-siakanlah pintu tersebut atau jagalah baik-baik.” (HR. Ibnu Majah No. 3653 versi Maktabatu al Ma’arif Riyadh No. 3663, sanad sahih menurut Muhammad Nashiruddin Al Albani)
Kita wajib menyayangi dan melindungi orang tua sebagaimana mereka berkorban dalam membesarkan kita. Janganlah membentak, berlemah lembutlah, dan penuh pengertian. Meluaskan hati selapang-lapangnya jika ada hal yang terasa bersinggungan. Menjaga mereka di masa senjanya, merawat dengan sepenuh rasa hormat.
Cinta kepada orang tua adalah bagian dari ketaatan kepada Allah dan pembuka keberkahan yang luas, termasuk kekuatan dalam mendidik anak kita.
Pendidikan Anak dalam Islam
Sembuhnya diri kita dari inner child, insyaallah akan melahirkan birrul walidain yang kokoh, tentunya semua itu menjadi wasilah lapangnya hati kita dalam mengimani takdir yang kurang baik di masa kecil.
Untuk pendidikan buah hati, kita tidak bisa serta-merta mengambil rujukan sembarangan dan mendidik tidak sekadar hanya merasa cukup dengan menyekolahkan saja, tetapi yang harus kita garisbawahi adalah hal apa sajakah yang sudah kita berikan agar anak memiliki bekal yang cukup dari rumah sebelum ia beranjak mengarungi dunia yang luas?
Hal yang harus kita kuatkan adalah fondasi akidah agar buah hati menjadi manusia yang bertakwa. Beriman kepada Sang Khalik itu bisa diajarkan dari sejak dini, bahkan sedari mereka dalam kandungan.
Akidah Islam adalah konsep pemikiran yang mudah dicerna oleh semua insan, termasuk oleh anak-anak. Dunia ini dengan segala isinya, tentu tidak berdiri begitu saja, tetapi ada Sang Pencipta di balik itu semua.
Pendidikan berbasis akidah akan meneguhkan segala prinsip. Dengan penyampaian yang penuh kasih sayang karena Allah, ketegasan yang bukan kekerasan, sehingga akidah Islam bukanlah doktrin yang menyesatkan, tetapi menjernihkan akal pikiran dan menguatkan keimanan.
Akidah Islam akan memberikan sandaran yang hakiki. Seperti halnya konsep qada dan kadar akan menjadikan anak bermental kuat, tidak mudah terjerat tipuan syahwat.
Hari ini pendidikan dikuasai oleh pemahaman sekularisme sehingga satu-satunya penangkal yang kuat adalah pendidikan berbasis akidah. Mereka akan rela taat kepada syariat, tidak rentan bermaksiat, lapang hati dalam menerima nasihat, dan menjadikan bakti kepada orang tua adalah kunci selamat.
Sejatinya hanya Islam saja yang mampu memberikan pendidikan terbaik untuk generasi. Wallahualam bissawab.[]
Comment