Oleh: Nani, S.PdI, Praktisi Pendidikan
__________
RADARINDONESIANEWS.CIM, JAKARTA -Miris banget ya. Korupsi enggak hanya menimpa Laki-laki ternyata Perempuan juga sudah ada dan bahkan jadi tersangka. Ada Apa dengan Negeri ini?
Sebagaimana dilansir CNN Indonesia — Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir bersuara soal langkah Kejaksaan Agung menetapkan Direktur Utama PT Waskita Karya (Persero) Destiawan Soewardjono menjadi tersangka kasus dugaan korupsi penyimpangan penggunaan fasilitas pembiayaan. Ia menghormati proses hukum yang dilakukan Kejaksaan Agung tersebut.
Erick menambahkan peristiwa ini sudah sepatutnya menjadi peringatan bagi BUMN lain untuk bekerja secara profesional, transparan dan bersih.
Korupsi terus terjadi bahkan meski ada badan khusus menyelsaikan korupsi, korupsi seolah sudah menjadi tradisi tak terpisahkan dalam sistem kapitalisme demokrasi. Di sisi lain menjadi bukti rusaknya moral individu dan nasionalisme di negeri ini.
Problem korupsi memang masih menjadi PR besar di Indonesia, baik dalam kelembagaan, maupun korupsi politik yang terkait dengan kekuasaan. Bukan saja melibatkan satu dua lembaga, tetapi sudah mewabah di semua lembaga.
Terbukti, sudah banyak pejabat, mulai dari wakil rakyat, kementerian dan lembaga, pemimpin dan pejabat daerah, pejabat BUMN, bahkan aparat hukum dan pejabat perguruan tinggi yang terjerat kasus korupsi. Mereka yang masih aman dan malang melintang jumlahnya tidak terhitung.
Dengan demikian, Indonesia sah termasuk negara yang korup. Dalam skala global, Indonesia ada di peringkat ke 110 dari 180 negara yang dinilai. Sedangkan di antara negara-negara Asia Tenggara, Indonesia masuk sebagai negara terkorup ke-5 setelah Myanmar, Laos, Kamboja, dan Filipina.
Sulitnya mengeliminasi kasus korupsi dipengaruhi banyak faktor. Selain soal personalitas atau integritas para pejabat, faktor budaya yang diwariskan turun temurun bahkan sejak zaman penjajah, serta lemahnya birokrasi dan sistem hukum, juga turut berperan dalam melembagakan perilaku koruptif. Terlebih, teknologi terus berkembang sehingga modus korupsi pun makin beragam.
Tindak pencucian uang yang lumrah mengikuti tindak korupsi tidak lagi hanya menyangkut pembelian harta bergerak dan tidak bergerak, tetapi sudah masuk dalam kegiatan transaksi elektronik yang menyulitkan untuk dilacak.
Berbagai perangkat hukum, baik lembaga maupun undang-undang, seakan mandul untuk memberantas korupsi hingga ke akar. Padahal tidak kurang-kurang, Indonesia memproduksi begitu banyak UU dan peraturan, sekaligus memiliki lembaga antirasuah—yakni KPK—sebagai senjata untuk memerangi kejahatan korupsi.
Dampak Buruk Korupsi
Korupsi merupakan perbuatan busuk budaya kapitalisme sekularisme yang mempunyai daya rusak yang sangat luar biasa, antara lain memengaruhi perekonomian nasional, meningkatkan kemiskinan dan ketimpangan sosial, merusak mental dan budaya bangsa, mendistorsi hukum, dan memengaruhi kualitas layanan publik.
Makin tinggi korupsi di suatu negara, bisa dipastikan negara tersebut tidak sejahtera/maju dan layanan publiknya memprihatinkan. Sebaliknya, negara yang sangat rendah tingkat korupsinya, negara tersebut cenderung sejahtera/maju, kehidupan sosial dan pelayanan publiknya pun baik.
Parahnya, efek buruk dari tindak pidana ini justru tidak banyak berdampak pada pelakunya, melainkan pada rakyat yang uangnya dikorupsi. Bahkan, ada kasus yang bisa mengancam nyawa, seperti korupsi dana pembangunan.
Dana pembangunan yang dikorup menyebabkan kualitas materiel-materiel bangunan yang digunakan tidak sesuai dengan kebutuhan. Ini membuat kondisi infrastruktur yang dibangun berkualitas buruk. Akibatnya, sewaktu-waktu infrastruktur tersebut dapat roboh dan merenggut nyawa orang-orang yang di sekitarnya.
Di sisi lain, “budaya” ini jelas bertentangan dengan ajaran Islam. Korupsi ibarat lingkaran setan yang harus segera dihentikan.
Solusi dalam Islam
Satu-satunya cara adalah dengan mencari alternatif sistem yang dapat memperkecil kemungkinan, bahkan menutup peluang korupsi, dengan sistem yang sesuai fitrah manusia, yakni sistem Islam. Sistem Islam mampu mencegah dari awal keinginan untuk korupsi dan mampu mengantisipasi terjadinya korupsi.
Dengan mengimplementasikan Islam secara kafah di berbagai aspek kehidupan, akan tercipta individu-individu bertakwa yang memiliki rasa takut untuk bermaksiat karena mereka selalu merasa diawasi oleh Allah Taala.
Dari sisi ini, ketakwaan individu inilah yang sekarang telah hilang. Bahkan, harus diakui, sengaja ada pengondisian individu untuk tidak bertakwa melalui berbagai macam program sekuler liberal, liberalisasi pendidikan, dan liberalisasi sosial ekonomi. Orientasi kehidupan diarahkan semata-mata untuk materi, bukan untuk meraih ridho Ilahi.
Mereka juga akan difasilitasi dengan gaji. Kebutuhan pokoknya akan dipenuhi. Di sisi lain, mereka memiliki kepribadian Islam yang akan mencegah mereka untuk korupsi. Kalaupun kemudian terjadi korupsi, pelakunya akan mendapatkan hukuman setimpal tergantung dari dampak korupsi pelaku tersebut. Hukumannya termasuk kategori takzir. Kalau dampaknya berakibat keparahan bagi publik, sanksinya bisa sampai pada hukuman mati.
Selain individu yang bertakwa, terdapat penegakan hukum syariat dan transparansi pendapatan para pemangku jabatan. Hal ini sebagaimana dilakukan oleh Umar bin Khaththab sebelum para pejabatnya berkuasa. Harta kekayaan mereka diaudit terlebih dahulu dan akan diaudit lagi setelah berkuasa. Kalau ada harta yang tidak wajar, bisa jadi indikasi sebuah penyalahgunaan kekuasaan.
Inilah upaya Islam sejak awal untuk mencegah budaya korupsi, yakni dengan mencetak individu-individu bertakwa dengan semangat tanggung jawab dan orientasi untuk melayani umat; yang memahami bahwa semua itu akan dihisab oleh Allah Swt kelak.
Sikap budaya dan ekosistem seperti inilah yang akan mencegah terjadinya korupsi. Wallahu a’lam bish-shawabi.[]
Comment