Oleh: Sarah Ainun, M.Si, Pegiat literasi
__________
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — “Agama dan negara merupakan saudara kembar, di mana agama merupakan pondasi dan negara sebagai penjaga. Jika pondasi (agama) runtuh maka peran penjaga (negara) pun akan sirna” (Imam Al-Ghazali).
Paradigma (pandangan) seorang imam besar ini mengisyaratkan bahwa meskipun agama dan negara merupakan dua identitas yang berbeda, namun merupakan satu kesatuan yang menyeluruh dan tidak bisa dipisahkan atau dipecah-pecah (al-Islām kullu lā yatajazā). Hal ini dibangun di atas landasan syariat Islam.
Seperti yang disampaikan oleh Prof. Abdul Wahab Khallaf dalam kitab ‘IIm Ushul al-Fiqh memaparkan bahwa dari keseluruhan jumlah 6.360 ayat dalam Al-Quran, 5,8% (368 ayat) menjelaskan tentang hukum, yang terdiri dari hukum shalat, puasa, haji, zakat dan lain-lain dalam 140 ayat, hukum keluarga dalam 70 ayat, perdagangan 70 ayat, kriminal 30 ayat, relasi Islam-non Islam 25 ayat, pengadilan 13 ayat, hubungan kaya-miskin 10 ayat dan kenegaraan 10 ayat.
Jadi, sejak Al-Quran diturunkan 1400 Tahun yang lalu oleh Allah Swt melalui malaikat Jibril kepada Nabi yang terakhir Muhammad Saw. untuk disebarkan dan disampaikan kepada seluruh umat manusia di bumi ini, sampai datangnya hari kiamat, kandungan Al-Quran merupakan aturan hidup yang paripurna. Bukan hanya perkara ibadah semata yang mengatur hubungan manusia dengan Penciptanya Allah Swt.
Namun lebih dalam dan luas, ajaran Islam memuat syariat yang lengkap di seluruh segi/lini kehidupan manusia yang juga mengatur hubungan atau interaksi manusia dengan manusia lainya (sistem mu’amalah), menjadi petunjuk terhadap nilai-nilai moral, aklak, sistem sosial, politik, ekonomi, sistem pemerintahan, hubungan luar negeri, dan sistem sangsi (uqubat).
Hal ini segaris dengan apa yang disampaikan oleh ulama besar buya Hamka. Menurutnya, Islam bukanlah sekadar agama, tetapi juga sebuah ideologi dan sebuah weltanschaung yang meliputi langit bumi, benda nyawa, dan dunia akhirat. Bila saja ajaran-ajaran Islam itu dipelajari dengan sungguh sungguh dan disertai kecintaan, bukan dengan kebencian, nyatalah bahwa ajaran Islam tidak mengenal sama sekali apa yang disebut perpisahan agama dan negara.
Maka ketika Islam dipandang sebagai sebuah agama sekaligus sebuah Ideologi (mabda), relasi antara negara dan agama tidak bisa dipisahkan. Hal ini jika kita ibaratkan negara sebagai tubuh dan jantungnya adalah agama. Maka tubuh dan jantung adalah dua hal yang berbeda, namun tubuh tidak akan bisa hidup tampa adanya jantung begitupun sebaliknya jantung saja tanpa adanya tubuh tidak akan bisa hidup.
Sehingga Islam merupakan sistem kehidupan (manhaj al-hayat) bagi setiap muslim di mana saja mereka berada tanpa dibatasi oleh waktu dan ruang. Agama membutuhkan negara untuk menjaga, melestarikan dan menyebarkannya ke seluruh alam. Sementara negara membutuhkan agama yang membawa nilai-nilai kebenaran dan keadilan dalam sistem kehidupan bernegara yang bersumber dari syariat Islam.
Namun mengapa fenomena penghinaan dan penistaan terhadap pemeluk dan syariat Islam terus saja berulang kali terjadi? Seperti yang terjadi di kota Bandung baru-baru ini, seorang warga negara asing (WNA) Autralia, entah karena kebenciannya terhadap Islam atau karena merasa terganggu mendengar suara murottal Al-Quran yang disetel oleh Imam Masjid Muhammad Basri Anwar, tiba-tiba melakukan tindakan tidak menyenangkan dengan meludahi, mengucapkan kata-kata kasar hingga akan memukul imam masjid tersebut (Republika, 29/04/2023).
Begitupun apa yang dilakukan oleh seorang selegram yang notabene adalah seorang muslim, mendapatkan kecaman hingga berujung pelaporan dirinya yang sudah masuk pada ranah penistakan agama saat membuat konten makan olahan babi dengan melafazkan kata Bismillah (CNNIndonesia, 29/04/2023).
Kedua kasus penghinaan dan penistaan agama Islam diatas merupakan segelintir dari sekian banyak kasus penghinaan dan penistaan agama yang sering terjadi di seluruh dunia. Mulai dari pembakaran, perobekan hingga menjadikan lembaran-lembaran Al-Quran sebagai tissu toilet, penghinaan terhadap Nabi Saw. memplesetkan ayat-ayat Al-Quran sebagai bahan candaan, serta tidak jarang melebeli pemeluknya serta simbol-simbol Islam dengan lebel atau stigma negatif.
Hal ini terjadi tentu saja tidak terlepas dari bagaimana negara membangun paradigma relasi antara agama dan negara. Berbeda dengan sistem Islam yang membangun paradigma relasi antara agama dan negara yang merupakan satu kesatuan yang tidak bisa terpisahkan dimana agama sebagai pondasi dan negara sebagai seperangkat instrument (alat) yang menerapkan hukum atau aturan yang berlandaskan syariat Islam yang diwahyukan oleh Allah Swt.
Sistem sekuler yang sekarang dianut oleh hampir seluruh negara di dunia termasuk Indonesia justru memisahkan dan membedakan antara negara dengan agama. Jadi tidak ada relasinya antara agama dan negara. Agama hanya sebatas mengatur hubungan manusia dan Penciptanya (urusan akhirat) sementara negara yang mengatur hubungan atau urusan manusia dengan manusia lainnya (urusan dunia).
Sehingga, hukum yang mengatur sistem kehidupan dalam sistem sekuler adalah hasil kesepakatan antar manusia bukan berdasarkan nilai-nilai norma agama (syariat Islam) yang diwahyukan oleh Allah Swt. Alhasil, banyaknya hukum yang mengatur sistem kehidupan manusia dihasilkan dari kesepakatan tersebut bertentangan dengan norma agama.
Seperti sekularisme yang melahirkan banyak paham kebebasan, di antaranya adanya kebebasan berperilaku dan kebebasan berpendapat yang melekat pada setiap individu dan dijamin dalam payung hukum internasional yaitu Hak Asasi Manusia (HAM), yang diamini oleh seluruh negara di dunia.
Di satu sisi HAM juga menjamin kebebasan individu untuk memeluk agama dan menjalankan ajaran agamanya amun, di sisi lain is tidak mampu membendung dan menghentikan penghinaan dan penistaan terhadap suatu agama bahkan membunuh pemeluk agamanya karena identitasnya sebagai muslim, baik yang dilakukan oleh individu, kelompok maupun negara seperti yang terjadi di Palestina, India, Ugyur, Rohingya, Perancis dan negara lainya.
Hal ini membuktikan bahwa sistem sangsi yang dihasilkan dari sistem sekuler tidak mampu memberikan efek jera terhadap pelaku penistaan agama. Sehingga lahirlah pelaku-pelaku penista agama dari masa ke masa. Berbeda dengan negara dalam sistem Islam. Negara adalah salah satu pilar penjaga kemuliaan agama. Mekanisme sangsi yang diberikan sebagai Jawabir (pembebas azab akhirat) dan Jawazir (pencegahan).
Hal ini dapat kita telusuri dari jejak sejarah penerapan Islam dalam bernegara yang dilakukan oleh Rasulullah Saw dan diikuti oleh generasi setelahnya yang menerapkan sebuah sistem institusi politik Islam. Baginda Rasulullah Saw. Pernah menindak tegas pelaku penistaan agama dengan sangsi hukuman mati. Hingga masa Ustmaniyyah negara bersikap tegas dengan menyiapkan pasukan untuk menyerang Perancis ketika diketahui akan mengadakan pertunjukan opera yang isinya menghina Nabi Saw.
Dengan demikian mengembalikan penerapan Islam dalam bernegara akan mengembalikan fungsi agama dan negara yang saling terintegrasi. Agama akan menjaga akidah umat, nilai-nilai moral, etika, akhlak, kebenaran dan keadilan yang hakiki.
Begitupun dengan negara akan menjadikan agama sebagai satu-satunya hukum tertinggi dalam sistem kehidupan yang menjaga setiap pemeluk agama, ajaran agama dan kemuliaan Islam serta menerapan Islam secara kaffah di setiap lini kehidupan.
“Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentu mereka akan menjawab: “Sesungguhnya kami hanya bersenda-gurau dan bermain-main saja”. Katakanlah: “Apakah dengan Allah, ayat-ayatNya dan RasulNya, kamu selalu berolok-olok?” (QS. At-Taubah: 66). Wallahu a’lam bishawab.[]
Comment