Prihatin atas Bayi Hasil Perzinaan, Abai pada Akar Persoalan

Opini477 Views

 

 

 

Oleh: Ima Husnul Hotimah, Ibu Rumah Tangga

__________

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA- Maraknya bayi yang ditelantarkan oleh kedua orangtuanya menambah deretan persolan di negri ini. Padahal balita merupakan calon pemegang tongkat estafet pembangunan bangsa yang seharusnya dijaga kualitas pengasuhannya.

Jika sudah sedari dini mereka ditelantarkan, kurang gizi dan kurang kasih sayang, bukankah ini berpotensi menambah dan menumbuhkan generasi yang lemah?

Di sepanjang tahun 2022, kita mendengar ada 20 kasus ditemukannya bayi terlantar yang terjadi di sejumlah wilayah di Provinsi Banten (9/12/2022). Menurut Ketua Komnas Anak Banten Hendri Gunawan. Dari 20 kasus tersebut, 1 bayi ditemukan di Kota Serang, 7 bayi di Kabupaten Serang, 6 bayi di Kota Tangerang, 3 bayi di Kota Tangsel, 1 bayi di Pandeglang, dan 2 di Lebak. Untuk kasus meninggal terjadi di Kota Serang, Kota Tangerang, dan Kabupaten Tangerang, beliau juga mengungkapkan bahwa pelaku atau orang tua yang membuang bayi kebanyakan masih berusia remaja.

Menurutnya, bayi yang dibuang adalah hasil hubungan meeka di luar pernikahan. Dan di awal bulan April kemarin, tepatnya tanggal 8 April 2023 di Jakarta, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) Rini Handayani bergerak cepat melakukan koordinasi dengan pemerintah daerah terkait kasus penelantaran bayi di Kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan.

Beliau prihatin atas terjadinya kasus penelantaran bayi di Banjarmasin. Terlebih lagi, hal tersebut diduga akibat hubungan di luar pernikahan.

KemenPPPA berkomitmen terus memantau kasus ini agar hak korban sebagai anak tetap terpenuhi ke depannya. Beliau juga menyatakan bahwa degan adanya kasus ini, memberikan gambaran nyata masih adanya pengasuhan tidak layak anak di Indonesia. KemenPPPA menilai perlu gerakan masif bersama agar kasus serupa tidak terjadi lagi. Yakni, adanya sinergi antara Pemerintah, tokoh agama, tokoh adat, masyarakat, hingga keluarga dalam memberikan edukasi reproduksi kepada anak dan remaja serta edukasi ketahanan keluarga bagi calon orang tua.

Dijelaskan juga olehnya, bahwa sepanjang Januari-April 2023 telah terjadi dua kasus bayi yang dibuang oleh orang tuanya di Kota Banjarmasin. Salah satunya adalah seorang balita yang sudah dikembalikan kepada orang tuanya yang belum berstatus menikah. Di mana bayi lainnya telah dibuang dalam kardus. Saat ini masih dalam penyelidikan kepolisian.

Sementara sang bayi mendapatkan perawatan intensif dari rumah sakit. Solusi yang diberikan untuk pengasuhan bayi tersebut , nanti akan diasuh oleh Calon Orang Tua Angkat (COTA) sementara yang ditunjuk oleh Dinas Sosial Kota Banjarmasin. Alternatif lainnya dalam upaya penanganan kasus di atas, apabila orang tua korban tidak ditemukan, maka korban akan diserahkan kepada panti perawatan bayi milik Dinas Sosial Provinsi Kalimantan Selatan paling lama selama enam bulan.

Selanjutnya dilakukan prosedur pengangkatan anak atau COTA dibantu oleh lembaga asuhan yang ditunjuk. Untuk kasus ini KemenPPPA menegaskan, pentingnya upaya pencegahan tindakan pengasuhan tidak layak anak secara lebih intensif. Sebab strategi pencegahan harus dilakukan sebagai salah satu upaya mewujudkan Indonesia Layak Anak Tahun 2030. Di antaranya penyelenggaraan program kesehatan reproduksi maupun program pencegahan perkawinan anak melalui satuan pendidikan, kelurahan, RT/RW.

Apakah solusi tepat dan bisa menuntaskan persoalan hingga akar masalah? Bagaimana pandangan Islam dan apakah solusi yang mengakar dalam islam? Agar tidak ada lagi kasus seperti ini lagi.

Pengabaian pada akar persoalan

Memang benar, kasus penelantaran bayi di Banjarmasin, menunjukkan masih adanya pengasuhan tidak layak anak, terlebih diduga akibat hubungan di luar pernikahan. Penelantaran anak dimungkinkan juga banyak terjadi mengingat banyak kasus dispensasi menikah yang disebabkan karena hamil di luar nikah.

Sebenarnya, perhatian besar terhadap penelantaran anak dan upaya-upaya edukasi reproduksi dan ketahanan keluarga dalam rangka pencegahan, merupakan perhatian terhadap masalah cabang yang bukan menjadi akar permasalahan. Ini karena akar persoalannya adalah pergaulan bebas remaja.

Kasus di atas, misalnya, jika anak tersebut sudah dikembalikan kepada orang tuanya yang ternyata belum berstatus menikah. Konseling seperti apa yang akan diberikan pada mereka? Menikah saja tidak, sedangkan diduga kuat anak hasil perzinahan tersebut tidak diinginkan keberadaannya.

Maka dari itu, seharusnya fokus pemerintah dalam pencegahan adanya penelantaran anak adalah upaya agar anak-anak tidak terjebak pergaulan bebas. Sayangnya, alih-alih dijauhkan, pergaulan bebas malah seperti dibiarkan. Bahkan, “pacaran sehat” dinisbahkan kepada sepasang pemuda dan pemudi yang menggunakan kondom dalam berhubungan. Lihatlah fenomena kohabitasi (hidup bersama tanpa status pernikahan) yang malah dianggap sebagai fenomena kehidupan modern. Astagfirullah.

Padahal, dampak pergaulan bebas bukan hanya pada penelantaran anak, tetapi juga pada angka aborsi yang tinggi yang ini pun menyebabkan pada tingginya angka kematian ibu (AKI). Belum lagi persoalan kesehatan, sebab perilaku seks bebas menjadi faktor terbesar penyumbang HIV/AIDS.

Belum lagi pergaulan bebas dekat dengan narkoba, miras, judi, dan kemaksiatan lainnya. Inilah yang menjadi akar persoalan.

Mirisnya, alih-alih dihukum, pelaku pergaulan bebas malah makin mendapat perlindungan. Sebut saja UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) yang malah seolah melegalkan perzinaan dengan adanya sexual consent. Jikapun kena hukuman, hukuman pezina sangat ringan, yaitu maksimal setahun penjara. Begitu pun pelaku aborsi, maksimal 10 tahun penjara.

Sekularisme

Angka pergaulan bebas pada remaja makin memprihatinkan. Bahkan, kasus penelantaran anak diduga jauh lebih besar mengingat kasus dispensasi menikah anak usia sekolah akibat hamil di luar nikah, angkanya sangat tinggi. Walhasil, urgen bagi semua pihak untuk menjauhkannya dari umat, khususnya generasi.

Perlu diketahui, pergaulan bebas lahir dari kehidupan yang sekuler, yaitu terpisah dengan ajaran agama. Agama hanya dijadikan porselen cantik yang disimpan di satu sudut ruangan. Fungsinya tidak lebih dari hiasan ruangan tanpa berpengaruh dalam kehidupan seseorang.

Kehidupan yang seperti ini meniscayakan kehidupan yang serba bebas, liberal. Manusia dianggap bebas berbuat sesuatu tanpa ada ikatan apa pun, termasuk dengan agama. Manusia bebas mengejar apa pun yang mereka inginkan, tidak peduli entah dapat menjerumuskannya pada kemaksiatan ataupun kemudaratan pada sesama.
Kehidupan liberalistis tidaklah dikenal dalam Islam karena kehidupan masyarakat Islam terikat sepenuhnya dengan syariat.

Manusia diberikan oleh Allah Swt. akal, semata untuk makin mendekatkan dirinya pada Allah, bukan malah membuat aturan yang bertentangan dengan kalamullah.

Kehidupan liberal ini lahir dari peradaban Barat yang diimpor secara paksa kepada negeri-negeri muslim. Jadilah umat muslim, terutama anak mudanya, terpapar pemikiran demikian. Anak-anak remaja muslim terlibat pergaulan bebas. Para muslimahnya memamerkan auratnya, berlengga-lenggok di depan laki-laki yang bukan mahramnya. Kehormatannya dijatuhkan sendiri dengan gaya kehidupan bebas.

Bayangkan, mereka adalah calon ibu yang seharusnya mengerti agama untuk diberikan pada anak-anak mereka. Namun, mereka kini hanyut dengan kesenangan jasadi saja, hilang fitrah keibuannya.

Islam sebagai solusi

Islam adalah agama rahmatan lil ‘alamin. Aturannya yang komprehensif akan mampu menyelesaikan seluruh persoalan manusia, termasuk persoalan penelantaran anak. Setidaknya ada empat ajaran Islam yang dapat menyelesaikan persoalan ini dengan tuntas.

Pertama, larangan perzinaan yang telah jelas Allah Swt. sampaikan dalam QS Al-Isra: 17, “Janganlah kalian mendekati zina. Sesungguhnya zina itu perbuatan keji dan jalan yang buruk.”

Berdasarkan larangan ini, peredaran film atau konten apa pun yang berbau pornografi akan dilarang karena dapat mengantarkan kepada perzinaan. Seberapa besar pun keuntungan dari bisnis pornografi, industri ini tetap tidak diperbolehkan berdiri.

Islam juga melarang laki-laki dan perempuan nonmahram untuk berdua-duaan (khalwat) yang notabene ini menjadi aktivitas utama muda-mudi saat pacaran. Bukan malah membuat taman yang memang didesain untuk tempat berpacaran.

Islam pun melarang para perempuan membuka auratnya karena dapat menstimulus syahwat. Islam akan benar-benar memperhatikan kehormatan perempuan dengan mewajibkannya menutup aurat secara sempurna, bukan malah diperkarakan (ingat kasus seragam sekolah muslimah).

Kedua, Islam mewajibkan negara untuk memupuk keimanan dan ketakwaan pada diri rakyatnya sejak dini. Sistem pendidikan akan berbasis pada akidah sehingga anak didik akan terbentuk kepribadian Islamnya, berpola pikir dan sikap yang ajek, yaitu Islam. Begitu pun sistem media, akan dipenuhi dengan edukasi, bukan bisnis pornografi.

Ketiga, bukan hanya tindakan preventif pencegahan, Islam pun memiliki cara kuratif dalam menyelesaikan persoalan ini, yaitu dengan menghukum berat para pezina berupa jilid atau rajam bagi pezina laki-laki atau perempuan.

Keempat, untuk melindungi rakyatnya, negara akan menghukum berat bagi siapa saja yang menyebarkan paham sesat, seperti sekularisme, liberalisme, kapitalisme, pluralisme, termasuk yang mempropagandakan pelegalan seks. Negara akan melindungi umat dari buasnya pemahaman kufur.

Khatimah

Demikianlah kesempurnaan Islam dalam mengatur umat manusia. Dengan aturan yang menjerakan bagi pelaku perzinaan, angka perzinaan akan menurun dan secara otomatis akan mengurangi kasus penelantaran anak. Ditambah ajaran mengenai keluarga bahwa anak adalah amanah orang tuanya sehingga tidak akan ada seorang ibu yang tega membuang anak-anaknya.

Dengan menggunakan pengaturan Islam atas tata pergaulan dan menjadikan akidah Islam sebagai asas kehidupan akan mampu mencegah terjadinya seks bebas dan penelantaran anak.

Sayangnya, kehidupan hari ini begitu kental dengan sekularisme liberalisme. Walhasil, untuk mewujudkan sistem kehidupan Islam, umat muslim harus bersungguh-sungguh dalam berdakwah menyampaikan kesesatan pemahaman liberal sekuler, serta sabar dalam menyampaikan urgensi tegaknya Islam secara kafah.[]

Comment