Oleh : Susi Susila, S.E, Muslimah Purwakarta dan Pemerhati Kebijakan Publik
__________
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Akhir bulan Februari kita dikejutkan dengan kasus penganiayaan yang dilakukan oleh anak pejabat pajak kepada anak ketua GP Ansor. Penganiayaan yang terjadi pada Senin (20/2/2023) itu, bahkan direspons para Menteri hingga membuat ayah MDS yang merupakan pejabat di Ditjen Pajak Kemenkeu mengundurkan diri dari posisinya. (Republika.co.id 26/03/2023)
Selain itu publik dibuat geram dengan penganiayaan dan perilaku flexing anak seorang Dirjen Pajak tersebut yang senantiasa dia posting di akun media sosial pribadinya. Flexing kekayaan tidak hanya dilakukan oleh masyarakat umum, bahkan sekelas artis atau selebgram juga melakukan hal itu.
Memang sejak dulu pun ada saja orang yang mengekspos kekayaannya, namun istilah flexing sendiri muncul seiring dengan berkembangnya media sosial. Inti dari aksi flexing untuk mendapatkan pengakuan dan opini publik, bahwa yang bersangkutan merupakan orang kaya. Imbas dari flexing ini, bermunculan fenomena crazy rich atau sultan yang merujuk pada orang yang suka memakai barang bermerek, kendaraan mewah, uang yang bergelimpangan, dan pakaian mewah.
Flexing atau tindakan memamerkan harta ini kerap kali tumbuh subur dalam sistem sekuler kapitalis yang menempatkan makna kebahagiaan hidup pada usaha untuk mendapatkan sebanyak-banyaknya kenikmatan materi.
Oleh karena itu wajar sekali kita menemukan bahwa dalam sistem sekuler kapitalis para pejabat berupaya memperoleh harta sebanyak-banyaknya karena harta dianggap sebagai salah satu sarana yang bisa mendapatkan kebahagiaan.
Dalam sistem sekuler kapitalis, harta menjadi ukuran kebahagiaan dan tingkat status sosial seseorang. Mereka berlomba-lomba untuk memperoleh harta sebanyak-banyaknya dan dipamerkan pada masyarakat agar eksistensinya diketahui dan diakui.
Ini tentu sangat berbeda dengan standar kebahagiaan dalam Islam, di mana kebahagiaan itu adalah dalam rangka mencapai ridho Allah SWT. Harta atau kekayaan merupakan titipan Allah yang akan dimintai pertanggung – jawaban kelak di yaumil akhir. Allah akan bertanya dari mana dan untuk apa harta itu dibelanjakan.
Sebagai seorang muslim harta atau kekayaan adalah sarana yang digunakan untuk taqarrub kepada Allah, seperti bersedekah, infaq, memberi fakir miskin dan bukan untuk berfoya-foya.
Islam memandang bahwa flexing bagian dari gaya hidup foya-foya dan bentuk sikap kesombongan. Keduanya adalah bentuk perbuatan yang dicela oleh Allah dan tindakan dosa.
Allah sangat mengecam orang yang mementingkan kemewahan untuk diri sendiri tanpa memedulikan orang lain.
Sebagaimana Allah berfirman dalam QS Almuzzammil ayat 11-12 yg artinya :
“(11) Dan biarkanlah Aku (saja) bertindak terhadap orang-orang yang mendustakan itu, orang-orang yang mempunyai kemewahan dan beri tangguhlah mereka barang sebentar. (12) Sungguh, di sisi Kami ada belenggu-belenggu (yang berat) dan neraka yang menyala-nyala”. (TQS. Al-Muzzammil ayat 11-12)
Ibnu Katsir menjelaskan dalam tafsirnya – orang yang mempunyai banyak harta seharusnya kata oknum dalam kondisi 77lebih taat dibandingkan orang lain. Karena mereka banyak sarana dan fasilitas yang bisa menunaikan hak-haknya yang tidak dimiliki orang lain.
Flexing adalah tindakan sombong dan ujub, karena kesombongan disebabkan adanya kedudukan dan ujub disebabkan adanya keutamaan. Orang yang sombong dan ujub tidak mau mendengarkan nasihat, pun tidak mau menerima pendidikan adab.
Flexing yang dilakukan oleh pejabat adalah tindakan yang diktegorikan sebagai tidak beradab di tengah-tengah kesulitan rakyat. Oleh karena itu negara harus bersikap tegas terhadap mereka berperilaku flexing yang sangat menyakiti hati rakyat.
Negara tersebut harus melindungi umat dari segala budaya liberal yang merusak seperti flexing. Ini semua bisa terwujud ketika ada yang menerapkan Islam kaffah dalam semua dimensi kehidupan . Wallahu ‘alam bishowab. []
Comment