Oleh: Ika Mayasari, S.ST, Aktivis Muslimah
__________
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Kesehatan mental saat ini tengah menjadi sorotan karena kondisinya yang semakin memprihatinkan. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya kasus bunuh diri dengan pelaku dari berbagai kalangan.
Pada awal Maret ini diberitakan seorang mahasiswi Universitas Indonesia (UI) berinisial MPD (21) ditemukan tewas di sebuah apartemen kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Korban diduga bunuh diri dengan melompat dari lantai 18 apartemen tersebut, Rabu (8-3-2023).
Dihari berikutnya juga dikabarkan seorang warga Dusun Wirokerten RT 02 Kelurahan Wirokerten Kapanewon Banguntapan, Bantul, DIY, ditemukan gantung diri di dapur rumahnya, Kamis (9-3-2023).
Pada tahun 2022, yayasan kesehatan mental dan pencegahan bunuh diri berbasis riset terdepan, Emotional Health for All Foundation (EHFA) merilis informasi mengejutkan. Risetnya mengungkapkan bahwa angka kejadian bunuh diri di Indonesia yang tidak dilaporkan diperkirakan lebih dari 300 persen, atau angka sesungguhnya bisa minimal 4 kali lipat dari yang dilaporkan.
EHFA juga mengemukakan bahwa dalam kasus bunuh diri, kemungkinan terdapat delapan hingga dua puluh empat kali upaya percobaan bunuh diri. Tekanan psikologis, penyakit kronis, dan masalah keuangan adalah penyebab tertingginya, seperti disampaikan Ketua EHFA, Sandersan Onie pada laman tribunnews.com (9-9-2022).
Berdasarkan data kemkes.go.id, sebanyak 55% penderita depresi mempunyai ide untuk bunuh diri. Depresi ditandai dengan adanya perasaan sedih, murung dan iritabilitas. Indonesia diperkirakan menjadi negara dengan jumlah kematian akibat bunuh diri tertinggi di Asia Tenggara. Hal tersebut yang kemudian perlu diwaspadai, karena depresi bisa menyerang siapa saja tanpa terkecuali.
Mirisnya, pemicu depresi justru muncul dari berbagai arah. Hidup dalam sistem kapitalisme liberal saat ini meniscayakan munculnya bibit-bibit depresi ditengah masyarakat. Sistem ini berprinsip bahwa kebahagian hidup adalah dengan meraup kepuasan materi sebanyak-banyaknya. Masyarakat dibentuk menjadi individu serakah, namun disisi lain juga bermental lemah.
Saat materi menjadi tujuan kehidupan, pola asuh materialistikpun dalam keluarga terbentuk. Banyaknya tuntutan orang tua kepada anak atau anak yang kurang perhatian karena kesibukan orang tua sehingga menimbulkan luka pengasuhan yang berpengaruh pada rapuhnya mental generasi.
Pendidikan juga berorientasi materi di mana kecerdasan hanya dipandang dari nilai diatas kertas. Alhasil pendidikan saat ini menghasilkan generasi pengejar materi tetapi tidak mampu menyelesaikan masalah hidup yang dihadapi.
Dari aspek sosial ekonomi, sistem kapitalisme sekular membentuk masyarakat yang hedonis, permissif dan konsumtif. Para pemilik modal diberikan ruang sebesar-besarnya untuk memfasilitasi perilaku konsumtif masyarakat dengan mendirikan pusat-pusat perbelanjaan dan tempat hiburan. Sementara, masih banyak masyarakat hidup di bawah garis kemiskinan.
Keadilan sejahtera yang dicita-citakan hanyalah sebatas untaian kata, sebab kesenjangan sosial justru semakin kentara. Orang kaya semakin kaya sedangkan yang miskin semakin berat menanggung beban menyambung nyawa.
Ditambah prinsip agama yang sekular, yakni memisahkan agama dari kehidupan sehingga menyebabkan mental lemah, mudah stress, cemas akan rejeki, takut menghadapi masa depan, tidak sabar, emosi yang mudah meledak, dan sebagainya.
Semua itu menunjukkan betapa buruknya sistem katalisme yang ada saat ini serta abainya penguasa dalam mengurus rakyatnya. Sungguh sistem ini tidak ramah terhadap mental health rakyatnya.
Oleh karena itu, sistem kapitalisme yang destruktif ini harus segera dicampakkan. Sistem ini harus diganti dengan sistem mulia yakni sistem yang tidak memisahkan agama dari kehidupan. Sebab agama adalah faktor protektif yang dapat menjaga jiwa masyarakat. Sistem itu tidak lain adalah sistem Islam.
Terkait bunuh diri, Islam menegaskan dalam QS. An Nisaa ayat 29 ahwa Allah berfirman yang artinya : … Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu”
Larangan bunuh diri juga terdapat dalam hadits riwayat Bukhari nomor 6105 dan riwayat Muslim nomor 110. Rasulullah bersabda yang artinya barangsiapa yang membunuh dirinya dengan sesuatu, maka dia akan disiksa dengan benda tersebut di neraka jahannam.
Larangan tersebut adalah bentuk penjagaan Islam terhadap nyawa dan jiwa manusia. Negara dalam Islam harus mengupayakan segenap upaya agar rakyatnya bermental kuat, sehingga rakyatnya tidak mudah untuk melakukan bunuh diri.
Dimulai dari lingkungan keluarga. Keluarga muslim adalah madrasah pertama bagi anak-anaknya. Anak-anak pada usia emas bisa dibentuk menjadi pribadi tangguh dalam suasana iman. Mereka bisa diajarkan menghafal dan memahami Al-Qur’an, berbagai kitab hadis, serta dibiasakan untuk mengerjakan salat, puasa, zakat, infak, bahkan berjihad.
Berikutnya, negara dalam Islam harus membangun suasana kehidupan yang berlandaskan syari’at dalam semua aspek. Pengaturan harta agar tidak berputar pada kalangan tertentu dan juga pengaturan lainnya, mewujudkan ekonomi Islam yang adil tanpa adanya kesenjangan di tengah masyarakat.
Negara juga menciptakan kehidupan sosial masyarakat yang terbiasa beramar makruf nahi mungkar, saling tolong dan penuh rasa empati, juga kasih sayang.
Selain itu, sistem pendidikan Islam akan mewujudkan generasi unggul bukan hanya menguasai berbagai ilmu pengetahuan, tetapi juga beriman serta bermental kuat seperti yang tercatat dalam sejarah peradaban Islam.
Demikianlah Islam memandang manusia secara utuh, dan universal. Kelurga, masyarakat dan Negara dalam Islam bersatu padu membangun manusia tidak hanya dari aspek fisik namun juga mental. Menjadikan akidah islam sebagai asas sehingga menghasilkan manusia yang tangguh, sabar akan cobaan dan yakin terhadap akhirat yang kekal. Wallahu ‘alam.[]
Comment