Haruskah Harga Naik Jelang Ramadan?

Opini231 Views

 

Oleh: Novita Mayasari, S.Si, Aktivis Muslimah

__________

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Dunia perdapuran hari ini sedang tidak baik-baik saja. Apalagi ketika mendekati bulan suci Ramadhan. Bulan yang dinanti-nanti kehadirannya oleh segenap kaum muslim di berbagai belahan dunia, namun diiringi dengan kenaikan harga berbagai bahan makanan khususnya sembako. Alhasil kaum muslim pun harus ekstra sabar menghadapi ujian kenaikan harga setiap tahunnya.

Sebut saja “minyak goreng”, yang kali ini sedang naik daun. Sebagaimana dilansir dari katadata.co.id (Jumat, 3/3/2023) bahwasanya rata-rata harga minyak goreng bermerek mencapai Rp21.750 per kilogram pada Jumat (3/2). Angka tersebut naik dibandingkan posisi bulan lalu Rp20.100 per kilogram.

Sedangkan untuk rata-rata harga daging ayam ras segar secara nasional mencapai Rp33.800 per kilogram. Angka tersebut naik dibandingkan posisi bulan lalu Rp 34.100 per kilogram. Tidak hanya itu gula pasir, cabai merah, cabai rawit dan teman-temannya pun ikutan naik.

Terjadinya kenaikan harga sembako sangat membebani rakyat dan menambah panjang penderitaan rakyat. Terlebih lagi rakyat kecil dengan upah yang tidak menentu setiap harinya. Sehingga semakin sulit untuk sekadar memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari. Walhasil ada sebagian rakyat yang rela mengutang kesana kemari hanya untuk sesuap nasi.

Tradisi Buruk yang Terus Berulang

Malang sungguh nasib rakyat di negara kapitalis yang melahirkan liberalisme alias paham kebebasan seperti hari ini. Di mana banyak oknum yang dengan leluasanya berlaku curang dengan melakukan penimbunan dan memonopoli perdagangan terhadap bahan kebutuhan pokok. Wajar saja harga-harga bergejolak semakin parah dan sulit untuk dikendalikan.

Seharusnya negara dengan segala kekuasaannya dapat melakukan upaya pencegahan untuk meredam harga yang terlanjur naik. Sistem ekonomi kapitalisme yang diterapkan hari ini memosisikan penguasa sebagai regulator saja, sehingga tidak memiliki fungsi untuk menjamin kebutuhan dan kesejahteraan masyarakat.

Alhasil ketika kebutuhan masyarakat diserahkan pada swasta sudah tentu orientasinya pastilah keuntungan. Maka tidak heran penimbunan dan praktek monopoli perdagangan ini berulang kali terjadi.

Ini membuktikan bahwa, dengan penerapan sistem ekonomi kapitalis, negara pasti gagal menciptakan kestabilan harga serta tidak bisa menyediakan pasokan makanan yang cukup untuk rakyat yang kesulitan memenuhi kebutuhan hidupnya.

Justru solusi yang digaung-gaungkan oleh negara adalah dengan mematok harga. Padahal ini bukanlah solusi malah menambah masalah.

Bagaikan sebuah tradisi, harga bahan makanan pokok selalu naik menjelang bulan puasa dan hari raya idul fitri. Lantas masih maukah kita terus menerus berada pada tradisi buruk ini yang berulang setiap tahunnya?

Mekanisme Islam Menjaga Kestabilan Harga

Islam bukan hanya sekadar agama namun juga sebagai ideologi (pandangan hidup) yang memancarkan aturan-aturan untuk menyelesaikan semua permasalahan dalam kehidupan, termasuk permasalahan ekonomi.

Di dalam Islam telah jelas terkait penimbunan, memonopoli perdagangan dan mematok harga adalah suatu keharaman. Karena hal itu adalah cara-cara terlarang dalam pengembangan hak milik bagi individu.

Dalam Islam, berbagai upaya dikerahkan demi menjaga kestabilan harga. Pertama, mengadakan pasar sehat, nyaman dan kondusif. Kedua, negara menjamin ketersedian kebutuhan masyarakat tentunya dengan mendukung sarana produksi dan inovasi. Ketiga, negara mengawasi mekanisme pasar dan terjadinya penentuan harga agar berjalan sebagaimana mestinya. Keempat, di dalam Islam negara melarang dan tentunya memberi sanksi terhadap segala bentuk kecurangan dalam rangka mengembangkan harta, seperti penimbunan, monopoli perdagangan dan mematok harga.

Sebagaimana diriwayatkan Shahih Muslim dari Said bin Al-Musayyab, dari Ma’marbin Abdullah al-Adawi ra, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda:

“Tidak akan melakukan penimbunan selain orang yang salah”. (HR. Muslim)

Dari hadits di atas menunjukkan adanya tuntutan untuk meninggalkan penimbunan, dan tentu saja bagi orang yang melakukan larangan tersebut termasuk orang yang berdosa dan bermaksiat. Nau’dzubillahi mindzalik.

Terkait mematok harga, dahulu pernah terjadi masa paceklik yang disebut dengan ‘Am ar Ramadah pada masa Khalifah Umar bin al-Khaththab ra. Akibatnya terjadi kelangkaan makanan pada tahun tersebut yang hanya terjadi di Hijaz.

Maka harga makanan pun melambung tinggi, namun beliau tidak lantas mematok harga untuk makanan tersebut bahkan Khalifah Umar melakukan pengiriman dan penyuplaian makanan dari Mesir dan wilayah Syam ke Hijaz. Dengan tersedianya pasokan makanan, maka berakhirlah krisis tanpa harus melakukan pematokan harga. Sehingga rakyat pun tidak kesulitan lagi memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari.

Begitulah ketika sistem ekonomi kapitalisme masih diterapkan maka “tradisi buruk” yakni naiknya harga bahan pokok makanan menjelang ramadan dan hari raya agama akan terus berulang.

Hanya dengan penerapan Islam insya Allah rakyat akan sejahtera, aman, nyaman dan tentram dalam menjalani hidup. Wallahu’alam bisshowab.[]

Comment