Gaza Kembali Mencekam, Dunia Lagi Lagi Hanya Bisa Mengecam

Opini251 Views

 

 

 

Oleh : Ika Mayasari, S.ST, Aktivis Muslimah

__________

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA  — Rudal Israel mengudara di bumi para anbiya dan Palestina pun kembali membara. Anak-anak dan lansia menjadi syuhada. Puluhan jiwa luka-luka. Sungguh pembantaian manusia terpampang nyata. Lantas kita bisa apa?

Laman cnbcindonesia.com mewartakan bahwa serangan tentara Israel yang menewaskan 11 warga Palestina termasuk seorang remaja di Nablus pada Rabu (22/2/2023 itu merupakan kejadian yang menjadi eskalasi paling mematikan di Tepi Barat yang diduduki sejak 2005.

Kementerian kesehatan Palestina mengatakan mereka yang tewas sebagai akibat dari agresi pendudukan di Nablus itu berusia antara 16 dan 72 tahun.

Beberapa jam setelah penggerebekan, kementerian mengumumkan kematian seorang pria berusia 66 tahun akibat menghirup gas air mata.

Pejabat tinggi Palestina Hussein Al Sheikh mengecam serangan itu sebagai pembantaian dan menyerukan perlindungan internasional untuk rakyat Palestina.

Bagaimana Reaksi Dunia?

Dilansir AFP, Kementerian Kesehatan Palestina mengatakan lebih dari 80 warga Palestina menderita luka tembak, dalam apa yang disebut tentara Israel sebagai operasi “kontra-terorisme”, yang memicu perhatian internasional.

Respons Keras berupa kecaman pun bermunculan. Liga Arab mengatakan serangan itu merupakan kejahatan keji.

“Otoritas pendudukan dan pemerintah sayap kanan Israel bertanggung jawab atas pembantaian yang mengerikan ini,” kata Saeed Abu Ali, asisten sekretaris jenderal Liga untuk urusan Palestina.

Sementara itu, Juru bicara Departemen Luar Negeri AS Ned Price mengatakan Washington sangat prihatin dengan tingkat kekerasan.

“Kami menyadari masalah keamanan yang sangat nyata yang dihadapi Israel. Pada saat yang sama, kami sangat prihatin dengan banyaknya korban luka dan hilangnya nyawa warga sipil.”

Adapun, Uni Eropa “sangat khawatir dengan meningkatnya kekerasan di Tepi Barat,” kata kepala kebijakan luar negeri Uni Eropa Josep Borrell.

Dia meminta semua pihak untuk bekerja memulihkan kedamaian dan menghindari hilangnya nyawa lebih lanjut.

Komentar keras dilontarkan Prancis. Negara itu mengutuk tindakan kekerasan yang dilakukan terhadap warga sipil dan menegaskan kembali kewajiban Israel untuk menghormati hukum humaniter internasional dengan menggunakan kekuatan secara proporsional.

Sementara itu, tetangga Israel dan Palestina, Yordania, mengatakan akan bekerja secara intensif dengan semua pihak untuk mencapai ketenangan.

Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Antonio Guterres mengatakan situasi di wilayah Palestina tersebut sangat rawan selama bertahun-tahun. Menurutnya, ketegangan kian memuncak karena proses perdamaian mandek.

“Prioritas utama kami harus mencegah eskalasi lebih lanjut, mengurangi ketegangan dan memulihkan ketenangan,” kata Guterres kepada Komite PBB tentang Pelaksanaan Hak Rakyat Palestina yang Tidak Dapat Dicabut.

Sejak awal tahun ini, konflik Israel-Palestina telah merenggut nyawa 60 orang dewasa dan anak-anak Palestina, termasuk militan dan warga sipil.

Pertolongan Nyata untuk Palestina

Sudah 74 tahun berlalu, nasib bumi para nabi tidak jua menentu. Palestina terus menjadi sasaran kekejaman Israel dan terus diburu. Lansia bahkan anak-anak pun menjadi korban kebiadabannya, mereka tidak pandang bulu.

Kecaman demi kecaman dari berbagai negara tidak berpengaruh terhadap nasib Palestina. Pun kecaman dari Negeri muslim jelas tak mampu mencegah apalagi menghentikan kekejaman Israel.

Mengutip dari laman kompas.com bahwa Dosen Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada (UGM) Siti Mutiah Setiawati menilai, ada 3 alasan utama mengapa konflik Israel dan Palestina sulit dihentikan.

1. Klaim agama dan sejarah. Mutiah menuturkan, sejumlah pendapat mengatakan bahwa bangsa Yahudi berhak atas tanah Palestina karena mereka pernah tinggal di sana. “Kemudian diusir di zaman Romawi dan tersebar di Eropa, Amerika, dan sebagian Asia. Mereka sudah ribuan tahun terusir,” kata Mutiah.

Pada 1897, bangsa Yahudi ingin kembali ke wilayah Palestina. Alasannya, tanah itu telah dijanjikan oleh Tuhan mereka.

Klaim agama itu kemudian didukung Inggris melalui Deklarasi Balfour pada 1917 dengan mengizinkan wilayah Palestina menjadi national home bagi bangsa Yahudi.

2. Hukum internasional yang dilanggar. Menurut dia, sampai saat ini Israel belum diakui sebagai negara oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Pasalnya, Israel tak mau menaati Resolusi PBB 242 dan 338 yang mengharuskan mereka keluar dari wilayah pendudukan di Gaza, West Bank, dan dataran tinggi Golan.

“Jadi Israel ini tidak mentaati kesepakatan hukum dan hubungan internasional. Itu dilanggar semua. Akan tetapi mereka didukung Amerika yang menawarkan konsep-konsep politik modern, seperti kedaulatan dan perbatasan,” kata dia.

Dukungan negara superpower seperti Amerika Serikat membuat mereka merasa aman, meski terus mencaplok wilayah Palestina. Sebab, semua konflik di dunia ini tergantung pada political will dari negara superpower. Jika negara itu membiarkan, maka konflik akan terus berjalan.

Selain itu, salah satu syarat perdamaian adalah jaminan keamanan dari dua pihak, sementara Israel tidak pernah menjamin keamanan Palestina. Konflik antara penjajah dan yang dijajah  mengharuskan adanya janji kemerdekaan pun tidak pernah ada. Sebab, Israel tidak pernah menjanjikan kemerdekaan, tetapi otoritas terbatas.

3. Minimnya dukungan Liga Arab. Mutiah mengatakan, hal itu dikarenakan adanya kepentingan masing-masing, sehingga membuat mereka terpecah.

“Misalnya Mesir yang terobsesi Jalur Gaza dan Sinai tetap miliknya. Yordania menghendaki West Bank miliknya. Jadi negara arab yang tidak bersatu itu menyulitkan penyelesaian konflik,” ujar dia.

Dalam catatan sejarah, Palestina dua kali diperjuangkan oleh kaum muslim sebelum Israel datang dengan klaim agamanya. Pertama oleh Khalifah Umar bin Khaththab. Kedua oleh Shalahuddin al-Ayubi. Hingga akhirnya Palestina menjadi tanah kharajiah, yakni selamanya tanah Palestina milik kaum muslim. Atas dasar itulah Khalifah Abdul Hamid II mati-matian mempertahankan Palestina yang akan direbut Yahudi.

Mengenai pelanggaran hukum internasional, ini menunjukkan watak asli Israel alias Yahudi adalah bangsa yang tidak mau taat, suka melanggar janji dan mengkhianati kesepakatan. Bahkan kepada nabi mereka, Mūsā, mereka terbiasa mempermainkan perjanjian dengan Allah (Qs. al-Baqarah (2): 62).

Kejadian yang paling mendalam yang harus dikenang umat Islam sepanjang sejarah adalah kasus di al-Madīnah al-Munawwarah sendiri. Ketika kaum Yahudi melanggar perjanjian yang mereka sepakati dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam. Di mana mereka dilindungi Rasulullah dan sepakat untuk tidak saling membantu terhadap musuh yang akan menyerang kota al-Madīnah. Namun perjanjian itu rupanya dikhianati.

Mereka bersekongkol dengan Bangsa Quraisy di Makkah untuk menyerang kota al-Madīnah dan menghancurkan umat Islam dari belakang.

Peristiwa pengkhianatan mereka ini direkam oleh sejarah dalam Perang Khandaq (Perang Aḥzāb), yang terjadi pada tahun ke-5 Hijrah. Perang Aḥzāb ini memberikan pelajaran penting kepada Rasulullah bahwa Bangsa Yahudi sebagai manusia yang tak pernah jujur memegang janji-janjinya.

Dari catatan sejarah di atas, terlihat bahwa Rasulullah dan Khalifah setelahnya sangat tegas terhadap kebebalan kaum Yahudi dan tidak pernah secuil pun memberikan ruang bagi kaum israel untuk merebut tanah Palestina. Bagi kaum muslim, sangat jelas bahwa Palestina adalah warisan Islam, sedangkan Israel tidak berhak atas tanah itu.

Adalah sebuah kenyataan pahit jika saat ini Palestina berjuang sendiri tanpa dukungan dari negeri – negeri kaum muslim. Bukan hanya negeri Arab yang harus bersatu menolong Palestina tetapi seluruh negeri kaum muslim harus bersatu. Karena umat Islam diibaratkan satu tubuh. Jika ada yang sakit, maka yang lain ikut merasakannya.

Sejak keruntuhan Khilafah Islamiyah, kaum muslim hidup di tengah sistem sekuler kapitalisme yang mewujudkan sekat-sekat nasionalisme antar negeri muslim. Paham nasionalisme inilah yang menjadi batu sandungan sehingga umat Islam bercerai-berai dan akhirnya tidak lagi menganggap masalah Palestina sebagai persoalan dunia Islam, tetapi dipandang sebagai problem internal Palestina yang harus diselesaikan sendiri.

Bahkan pengkhianatan negeri-negeri muslim terang-terangan dilakunan melalui normalisasi hubungan diplomatik dengan Israel yang didukung negeri kapitalis dan penjajahan barat, membuat para pemimpin negeri-negeri muslim lepas tangan terhadap nasib Palestina.

Melihat ketidakpastian yang dihadapi negeri muslim, maka bisa disimpulkan bahwa negeri-negeri muslim membutuhkan seorang pemimpin (Imam) yang mampu menyatukan seluruh dunia Islam. Pemimpin sebagaimana yang digambarkan Rasulullah, dicontohkan para sahabat, dan para khalifah setelahnya. Keberadaan pemimpin ini dapat menyatukan kaum muslim sekaligus sebagai junnah (perisai) yang melindungi dan mengayomi umat Islam.

Imam Bukhari dan Muslim telah meriwayatkan hadits dari Abu Hurairah ra, bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa Sallam, bersabda:

“Sesungguhnya seorang imam itu [laksana] perisai. Dia akan dijadikan perisai, dimana orang akan berperang di belakangnya, dan digunakan sebagai tameng. Jika dia memerintahkan takwa kepada Allah ‘Azza wa Jalla, dan adil, maka dengannya, dia akan mendapatkan pahala. Tetapi, jika dia memerintahkan yang lain, maka dia juga akan mendapatkan dosa/adzab karenanya.”

Setelah umat muslim bersatu, selanjutnya akan dikerahkan segala daya dan upaya untuk membebaskan Palestina serta negeri-negeri muslim yang membutuhkan pertolongan  melalui jihad dan perang. Bukan dengan perjanjian-perjanjian semu apalagi sebatas kecaman. Wallahualam bisshawab.[]

Comment