Oleh: Rizki Utami Handayani, S.ST, Pengajar di Pesantren Pengkaderan Da’i Quran
__________
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Kehidupan hari ini masih menyimpan berbagai masalah yang belum terselesaikan, rasa aman yang kini terasa semakin mahal. Berbagai peristiwa kriminalitas semakin sering teliga kita mendengarnya. Bagaikan fenomena gunung es, yang terdata mungkin hanya sebagain kecilnya saja, realitanya bisa jadi beberapa kali lipat dari yang hanya sekedar masuk ke dalam data.
Banyak peristiwa yang menunjukkan adanya ancaman bahaya pada perempuan dan anak termasuk anak perempuan. Beberapa waktu lalu masyarakat kembali dihebohkan oleh kejadian penculikan anak bernama Malika yang pada akhirnya anak tersebut ditemukan setelah kurang lebih satu bulan bersama pelaku, mirisnya pelaku adalah tahanan yang baru bebas dari penjara karena kasus pelecehan seksual.
Ada pula kasus yang menimpa seorang anak perempuan berusia 12 tahun yang tengah hamil 8 bulan diduga akibat kekerasan seksual yang dialaminya.
Kasus lain yaitu wanita korban mutilasi di Bekasi bernama Angela Hindriati Wahyuningsih yang ternyata merupakan mantan aktivis Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) yang dinyatakan hilang sejak Juni 2019.
Kenapa kasus miris seperti demikian kerap terjadi padahal berbagai regulasi sudah banyak dibuat sedemikian rupa, baik itu dalam bentuk pencegahan dan penanganan yang tercantum pada aturan yang telah disahkan.
Pemisahan antara agama dan kehidupan (sekulerisme) yang kini dianut secara sadar maupun tidak sadar oleh masyarakat kapitalis, telah melahirkan kebebasan tanpa batas, yang pada akhirnya menyebabkan rusaknya kondisi masyarakat. Kehormatan dan kemaslahatan yang seharusnya menjadi dasar interaksi di tengah masyarakat, seringkali ternodai oleh perilaku yang serba bebas. Hubungan interaksi laki-laki dan perempuan seringkali mengandung unsur ketertarikan jasmani, tanpa mempertimbangkan aspek apapun.
Rusaknya tatanan tersebut, menjadikan perempuan dan anak yang seharusnya dilindungi, justru menjadi korban atas kerusakan tatanan sosial yang ada hari ini. Hal inilah yang mebuat keamanan yang terasa kian mahal. Pelecehan seksual, kekerasan dan kriminalitas yang menimpa perempuan dan anak terus menjadi momok.
Bila kita coba analisa faktor yang menyebabkan masalah demi masalah yang menimpa khususnya perempuan dan anak tak kunjung usai, di antaranya adalah :
Pertama, diterapkannya produk hukum yang bermasalah, produk hukum yang dipengaruhi faham sekularisme telah jelas nyata mencampakkan aturan Allah dan hanya mengandalkan akal manusia dalam memutuskan perkara.
Kedua, faktor oknum aparat hukum yang bermasalah. Fenomena hukum tajam ke bawah tapi tumpul ke atas seolah menjadi hal yang lumrah terjadi di masyarakat.
Ketiga, materi dan sanksi hukum juga bermasalah. Keempat, sanksi hukum tidak menimbulkan efek jera. Tidak jarang sanksi hukuman yang dituntut oleh pengadilan tidak sesuai dengan kejahatan yang sudah dilakukan pelaku dari sudut pandang korban ataupun keluarga korban.
Jika kita simpulkan, penyebab utamanya adalah masyarakat yang mengadopsi hukum-hukum sekuler yang banyak diadopsi dari Barat. (Sumber : Artikel www.muslimahnews.net)
Pemerintah tidak pernah ragu untuk mengambil konvensi internasional. Seruan yang datang dari PPB dan Amerika sebagai penguasa peradaban saat ini selalu disambut hangat. Bahkan saat AS (sebagai pusat ide kesetaraan gender) tidak mau meratifikasi CEDAW (Convention on the Elimination of all Form of Discrimination Againts Women), pererintah Indonesia telah meratifikasinya dalam UU No. 7 Tahun 1984.
Sepuluh tahun kemudian, ikut menyetujui dan mengadopsi program aksi 20 tahun Konferensi Internasional Kependudukan dan Pembangunan di Kota Kairo. Indonesia juga berkomitmen melaksanakan BPfA (Beijing Declaration and Flatform for Action) yang telah ditanda-tangani pemerintah tahun 1995 dan melakukan Refleksi 20 tahun Implementasi BPfA.
Dalam masalah anak, Indonesia termasuk negara yang meratifikasi KHA (Konvensi Hak Anak) yang ditetapkan 1989. Meskipun 193 negara meratifikasinya, AS tidak meratifikasinya.
Padahal KHA ini dilaksanakan dalam rangka melakukan perlindungan terhadap anak dan menegakkan hak anak di dunia. Berbagai pertemuan untuk mengokohkan kesetaraan gender pun dihadiri Indonesia, di antaranya adalah Global Leaders Meeting on Gender Equality and Women’s Empowerment, yang diselenggarakan di sela-sela sidang umum PBB tahun 2015.
Deklarasi planet 50:50 pun dihadiri, yang menjadi regulasi yang mengharuskan pemerintah untuk membuat komitmen nasional untuk mengatasi tantangan yang dihadapi perempuan dan anak perempuan untuk mengoptimalisasi potensi mereka hingga tahun 2030.
Sayangnya, meskipun berbagai konvensi dan pertemuan tersebut digadang-gadang bisa melindungi perempuan dan anak dari segala bentuk diskriminasi dan mengentaskan mereka dari kemiskinan, klaim tersebut tidak pernah terbukti baik di negara maju apalagi di negara berkembang.
Meskipun ada pihak yang menyatakan bahwasannya sanksi hukum di Indonesia amat lemah, namun solusi yang diajukan tidak pernah beralih dari pembuatan aturan yang dinilai lebih baru.
Bukan keluar dari pengaturan sistem yang rusak, bahkan justru menambah kerusakan. Belum lagi dengan disahkan UU Penghapusan Kekerasan Seksual yang penuh dengan kontroversi karena dinilai mengandung nilai-nilai konsep sexual consent yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip Islam.
Kenyataan inilah yang harus direnungkan agar umat berjuang untuk merubah keadaan yang menyengsarakan ini. Sistem sekuler tidak akan pernah mampu memberikan jaminan kesejahteraan dan perlindungan, justru kebalikannya menyimpan banyak bahaya, sistem tersebut tidak akan mampu menjadi perisai umat.
Umat harus mengkaji kesempurnaan syariat Islam yang memberikan jaminan kesejahteraan dan perlindungan.
Jaminan yang diberikan Sang Pencipta Allah SWT kepada manusia, yang akan melimpahkan berkah dari langit dan bumi jika negeri-negeri yang ada di dunia mau beriman dan bertakqa, menjalankan syariat-Nya.
Islam merupakan agama sempurna dengan konsep dan metode yang khas dalam menyelesaikan berbagai macam permasalahan kehidupan. Islam memandang bahwa perempuan dan anak wajib mendapatkan perlindungan.
Pandangan tersebut direalisasikan dalam beberapa bidang kehidupan. Pertama adalah jaminan terhadap kehormatan, jaminan terhadap kesejahteraan, jaminan untuk memperoleh pendidikan, jaminan untuk berpolitik, jaminan untuk kelangsungan keturunan, jaminan ketika perempuan berada di ruang publik.
Dengan stategi menempatkan perempuan dalam posisi mulia dan terhormat, dengan mekanisme yang lahir dari hukum syariat di antaranya Islam menempatkan posisi laki-laki sebagai pemimpin keluarga.
Islam memiliki konsep syariat yang tegas berkaitan dengan penjagaan kehormatan perempuan dan keluarga, menjamin terlaksananya tugas utama perempuan sebagai ibu dan manajer rumah tangga, Islam mewajibkan pihak-pihak yang bertanggung jawab kepada perempuan dan anak untuk memenuhi hak-hak mereka dengan baik, termasuk negara.
Negara wajib menyediakan fasilitas yang diperlukan (pendidikan dan kesehatan) agar peran mulianya berjalan dengan baik, juga penerapan sanksi yang tegas agar keamanan bisa terwujud di tengah masyarakat, dan memastikan media massa tidak memproduksi konten yang bisa merusak masyarakat. (Sumber : Makalah Kongres Ibu Nusantara ke-3)
Perempuan dan anak hanya akan aman dalam naungan syariat Islam dengan aturan menyeluruh yang mampu menimbulkan efek jera dan juga mekanisme terbaik karena berasal dari Dzat yang Menciptakan manusia. Wallahu’alam bishowab.[]
Comment